tirto.id - Tiap tahun, ribuan jemaah haji dari seluruh dunia meninggal di Tanah Suci. Pemerintah Arab Saudi mengharuskan jenazah dimakamkan di sana dan tidak boleh dibawa pulang ke negara asal. Peraturan ini merujuk keyakinan bahwa muslim sebaiknya dimakamkan di tempatnya meninggal. Jarak yang jauh dari tanah asal dikhawatirkan bisa merusak kondisi jenazah jika nekat dibawa pulang.
Selalu ada pengecualian, terutama jika yang meninggal adalah tokoh atau pembesar. Jenazah Bung Tomo, misalnya, yang meninggal di Mekkah pada 1981, berhasil dibawa pulang lewat serangkaian lobi antarpemerintah.
Baca juga: Memulangkan Jenazah Bung Tomo dari Tanah Suci
Pengurusan pemakaman jemaah haji yang meninggal sesungguhnya mudah. Tinggal melapor kepada ketua kloter, lalu ketua kloter mengurusnya ke Maktab. Setelah itu, petugas pemulasaran jenazah datang menjemput. Jenazah kemudian dibawa ke tempat reservasi pemakaman. Dari situ, jenazah dimandikan di gedung khusus pemandian. Lalu disalati di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.
Bagi seorang muslim, meninggal di Tanah Suci adalah kehormatan. Apalagi jika bisa dimakamkan bersama sahabat dan keluarga terdekat Nabi.
Hampir semua Muslim yang menunaikan ibadah haji memang biasanya sudah “mempersiapkan diri” untuk meninggal di sana. Tak heran, jika keberangkatan jemaah haji di Indonesia diupacarakan seperti hendak melepas kepergian seseorang untuk selamanya.
Masalahnya bagi para peziarah, tak ada nisan atau penanda yang jelas tentang siapa yang dimakamkan di liang itu. Susah sekali untuk menemukan makam sanak-kerabat mereka.
Apalagi, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan peraturan bahwa tiap tiga tahun sekali, jenazah baru akan menempati liang yang sama dengan jenazah-jenazah lama. Itu artinya, setelah sekian tahun, satu liang bisa dihuni puluhan jenazah.
Penghancuran Makam oleh Rezim Wahabi
Di Mekkah, ada dua kompleks pemakaman yang disediakan khusus untuk jemaah haji: Jannatul Mu’alla (Taman Mu’alla, biasa disebut “al-Ma’la”) dan Tsurayya. Yang disebut pertama adalah pemakaman tua yang sudah ada sebelum Islam datang.
Tidak ada sumber memadai yang menerangkan pada tahun berapa al-Ma’la mulai digunakan sebagai tempat pemakaman. Diperkirakan, pemakaman itu sudah ada sejak awal abad ke-6 ketika suku Quraisy mulai menguasai Mekkah.
Tapi, jika dilihat dari sosok yang dimakamkan, bisa disimpulkan bahwa al-Ma’la adalah kuburan para pembesar. Beberapa elite suku Quraisy dari Bani Hasyim, klan asal Nabi Muhammad, dimakamkan di sini.
Beberapa sahabat dan keluarga terdekat Nabi, termasuk istri pertamanya, Siti Khadijah, dimakamkan di al-Ma’la. Aminah (ibunda Nabi) dan Abdul Muthalib, kakek yang mengasuh Nabi sejak bayi, dimakamkan di situ. Begitu pula paman kesayangannya, Abu Thalib.
Sejak Mekkah mulai menjadi tujuan jemaah haji umat Islam di seluruh dunia, penguasa-penguasa yang memerintah Mekkah, dari Bani Umayyah sampai Bani Saud, selalu menggunakan al-Ma’la sebagai tempat pemakaman haji. Sebelum Islam datang pun, al-Ma’la sudah dianggap sebagai tempat keramat karena lokasinya begitu dekat dengan bangunan suci di kota Mekkah: Kabah.
Bagi umat Islam, di situ pula letak keistimewaan al-Ma’la. Hanya perlu berjalan beberapa ratus meter dari Masjidil Haram ke arah timur, maka sampailah di kompleks pemakaman.
Kompleks al-Ma’la tampak seperti pemakaman lain di Arab Saudi. Terlihat sebongkah-dua bongkah batu di setiap liang. Semuanya tanpa nama. Agaknya sudah ada ratusan ribu bahkan jutaan jenazah yang dimakamkan di sana. Sudah 15 abad lebih makam ini menyaksikan bagaimana Mekkah berkembang dari sebuah kota kecil yang tak berarti menjadi pusat spiritual orang-orang Islam di seluruh dunia.
Lantaran lahan al-Ma’la sudah tidak sanggup lagi menampung jenazah, pemerintah Saudi membangun kompleks pemakaman baru di pinggiran kota Mekkah, sekitar 20 kilometer ke arah utara. Pada 2002, komplek pemakaman ini diresmikan dengan nama Tsurayya.
Saat ini, semua jemaah haji yang wafat, yang berasal dari luar Arab Saudi, dimakamkan di Tsurayya. Al-Ma’la hanya menerima jemaah haji berkewarganegaraan Saudi Arabia.
Sementara itu, jemaah haji yang meninggal di Madinah dimakamkan di kompleks pemakaman al-Baqi. Kompleks ini sangat terkenal karena sangat dekat dengan makam Nabi Muhammad.
Al-Baqi adalah kompleks pemakaman istimewa karena Nabi sendirilah yang pertama kali membukanya. Pada 622, ketika Masjid Nabawi masih dalam proses pembangunan, salah seorang sahabatnya, As’ad Bin Zararah, meninggal dunia. Nabi menunjuk sebuah titik di lahan dekat Masjid Nabawi sebagai tempat pemakaman bagi salah satu sahabatnya yang setia itu. Lahan itu dibeli dari sepasang anak yatim ketika Nabi baru tiba di Madinah. As’ad Bin Zararah menjadi orang pertama yang dimakamkan di al-Baqi.
Dua tahun kemudian, saat Nabi melaksanakan Perang Badar, anak perempuannya yang bernama Ruqayyah meninggal dunia dan dimakamkan di situ.
Sejak itu, al-Baqi menjadi kompleks pemakaman bagi seluruh orang Islam di Madinah. Ketika agama Islam mulai menyebar ke seluruh dunia dan kota Madinah semakin ramai dikunjungi, al-Baqi mulai dibuka untuk pemakaman haji hingga hari ini.
Baca juga: Perang Badar, Kemenangan Besar Kaum Muslim di Bulan Ramadan
Selama berabad-abad, dua makam itu ramai dikunjungi orang-orang yang hendak berziarah. Makam para keluarga terdekat Nabi dipercantik penguasa-penguasa dua Tanah Suci itu dengan bangunan dan ornamen indah. Tujuannya mulia: menampung para peziarah yang hendak memanjatkan doa bagi arwah para kekasih Nabi.
Lalu, bencana pun melanda dua kompleks makam keramat itu.
Pada awal Bani Saud yang berhaluan Wahabi berkuasa atas Mekkah dan Madinah pada 1806, mereka menghancurkan banyak sekali bangunan keagamaan. Tidak terkecuali makam dan masjid, baik di Madinah maupun di Mekkah.
Di Madinah, mereka menghancurkan makam-makam para sahabat Nabi di al-Baqi. Bangunan-bangunan yang menaungi makam tak luput dari tangan-tangan Bani Saud. Di waktu hampir bersamaan, mereka juga meluluhlantakkan kompleks pemakaman al-Ma’la.
Penghancuran bangunan makam adalah salah satu wujud paling nyata dari doktrin ikonoklastik Wahabi. Bangunan-bangunan dan dekorasi penuh keindahan dianggap berhala yang bisa mereduksi makna keimanan seorang muslim dan mengarah kepada sikap syirik (menyekutukan Tuhan). Mereka tak hanya menghancurkan, tapi juga menjarah barang-barang berharga di sekitar makam.
Baca juga: Mengapa ISIS Keranjingan Menghancurkan Masjid
Seorang pengelana dan ahli geografi asal Swiss, Johann Ludwig Burckhardt, tiba di Madinah setahun setelah destruksi terjadi. Ia menggambarkan betapa parah kerusakan makam al-Baqi yang ditimbulkan kaum Wahabi itu. Seperti diceritakan Adeel Mohammadi dalam "The Destruction of Jannat al-Baqi", Burckhardt juga mengisahkan tentang reruntuhan bangunan yang masih berserakan di sekitar makam.
Melihat keganasan pasukan Bani Saud, penguasa Ottoman Sultan Mahmud II memerintahkan Gubernur Mesir Muhammad Ali Pasha untuk mengambil alih dua Tanah Suci dari tangan mereka. Lewat peperangan panjang selama lebih dari 10 tahun (Perang Ottoman-Wahabi), akhirnya Mekkah dan Madinah berhasil direbut lagi oleh Ottoman. Pembangunan kembali makam al-Baqi dan al-Ma’la dilaksanakan atas perintah Sultan Mahmud II. Sejak itu, kedamaian bersemi lagi di Tanah Suci. Tapi itu tidak lama.
Satu abad kemudian, Bani Saud kembali ke jazirah Hijaz. Pada 1924, mereka berhasil menguasai lagi Mekkah dan Madinah. Tahun berikutnya, Abdul Aziz bin Saud, pendiri negara Saudi Arabia, mengeluarkan izin resmi menghancurkan dua kompleks pemakaman di Mekkah dan Madinah. Izin resmi ini mendapatkan legitimasi dari fatwa yang dikeluarkan Abdullah Bin Bulayhid, seorang ahli hukum Islam terkemuka.
Penghancuran dimulai pada 21 April 1926 oleh pasukan Wahabi yang menamakan diri sebagai “Ikhwan” (saudara). Destruksi ini begitu ganas: dari nisan yang kecil sampai cungkup makam dirubuhkan tanpa sisa. Pasukan yang terlibat dalam penghancuran menerima upah yang besar dari Abdul Aziz.
Makam orang-orang terdekat Nabi yang dihancurkan antara lain Abdullah (bapak), Aminah (ibu), Abbas dan Hamzah bin Abdul Mutalib (paman), Ibrahim (anak), dan Usman bin Affan (sahabat). Diperkirakan, lebih dari 7.000 makam keluarga dan sahabat Nabi lain luluh lantak dalam hitungan hari.
Seperti dikutip dalam Encyclopedia Islamica terbitan Brill (2016), Eldon Rutter, mualaf asal Inggris yang mengunjungi al-Ma’la pada 1926, mendeskripsikan kerusakan tersebut dalam gambaran yang mirip suasana pasca-gempa bumi:
“Semua yang ada di pemakaman tak terlihat seperti apa pun kecuali gundukan tanah dan kerikil yang tak berhingga, potongan kayu, batangan besi, bongkahan batu, marmer dan batu bata yang hancur, berserakan di mana-mana.”
Meski protes terdengar dari mana-mana, rezim Wahabi seakan-akan menutup telinga. Hingga saat ini, penghancuran situs dan makam bersejarah masih berlangsung. Tapi di balik motif agama, ada motif lain yang lebih utama: uang.
Redaksi Tirto pernah menurunkan wawancara dengan Irfan al-Alawi, peneliti dari Islamic Heritage Research Foundation, soal perusakan situs-situs bersejarah di Arab Saudi. Ia mengkritik pembangunan hotel dan mal di sekitar tempat-tempat suci umat Islam.
Katanya: “Mereka (pemerintah Saudi) tahu akan mendapatkan uang yang lebih banyak karena banyak orang yang ingin melihat Ka’bah atau Masjid Nabawi dari kamar hotel. Banyak orang dari Afrika Selatan, atau orang kaya dari Qatar, Bahrain, Dubai, akan sengaja datang dan rela membayar untuk fasilitas ini.”
Al-Baqi dan Al-Ma’la menjadi saksi bisu bagaimana Bani Saud dan para pengikutnya menghancurkan warisan nenek moyang mereka sendiri.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Fahri Salam