tirto.id - Lorong Haratul Lisan di Mina itu penuh sesak. Ratusan ribu jemaah haji bergerak, saling berebut langkah. Situasi kian rumit ketika datang rombongan dari arah berlawanan, yang jumlahnya tak kalah banyak. Terpusatnya sejumlah besar manusia dalam waktu berbarengan dan nyaris tak terkendali itu pun berdampak fatal.
Hari itu, 2 Juli 1990, terjadi musibah di Mina, Arab Saudi. Tidak kurang dari 1.426 orang meninggal karena terinjak-injak. Sebagian besar korban tewas adalah jemaah haji asal Indonesia yang mencapai 649 orang (Darul Aqsha, et.al., Islam in Indonesia: A Survey of Events and Developments from 1988 to March 1993, 1995:161).
Insiden di Terowongan Mina itu disebut-sebut sebagai tragedi haji dengan korban meninggal dunia terbesar sepanjang era modern (P. Bambang Siswoyo, Tragedi Haji Terowongan Mina, 1991:12).
Kontroversi Musibah Mina 2015
Namun, selang 15 tahun kemudian, tepatnya 24 September 2015, musibah serupa berulang lagi, juga di Mina. Kali ini korbannya lebih banyak.
Kantor berita Associated Pressmerilis laporan mengenai korban jiwa dalam peristiwa itu, dari 1.470 orang meningkat jadi 2.177 orang, dan yang terbaru disebutkan sedikitnya 2.411 orang tewas.
Wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, Hamad Bin Mohammed Dhuwalia, bahkan sempat mengumumkan jumlah korban tewas dalam insiden itu mencapai 4.173 orang. Namun, keterangan yang diunggah di situs resmi Kementerian Kesehatan Arab Saudi itu langsung dihapus tiga jam kemudian.
Setelahnya, Khalid A. Al-Falih sebagai Menteri Kesehatan Arab Saudi memberikan sangkalan sekaligus klarifikasinya terkait informasi tersebut. Ia berdalih, data jumlah korban tewas yang sempat diumumkan oleh kementeriannya itu tidak valid karena hanya berasal dari sebuah postingan di Twitter.
Dikutip dari Arabnews.com, otoritas resmi Arab Saudi mencatat “hanya” 769 korban yang tewas dalam petaka di Mina itu, sedangkan 934 lain mengalami luka-luka. Dari Indonesia, jemaah haji yang meninggal berjumlah 126 orang.
Saling menyalahkan segera terjadi usai kejadian tragis itu. Iran, yang memang kerap bersitegang dengan Arab Saudi, paling lantang berteriak dan menuding pemerintah Arab Saudi tidak becus mengelola penyelenggaraan haji. Ada 464 jemaah haji asal Iran tewas, korban terbanyak dalam insiden Mina tersebut.
“Arab Saudi telah menyempitkan haji sebagai ritual wisata-religi, dan menyembunyikan permusuhan serta kedengkian terhadap orang-orang Iran yang setia dan revolusioner dengan dalih mempolitisasi haji,” tukas Ali Khamenei, pemimpin agung sekaligus Presiden Republik Islam Iran periode 1981-1989.
“Mereka sebenarnya setan kecil dan lemah yang gemetar karena takut akan membahayakan kepentingan dari setan besar, yakni Amerika Serikat," lanjutnya.
Otoritas Arab Saudi tidak mengakui tuduhan itu, dan justru menyatakan penyebab peristiwa Mina karena "ketidakdisiplinan" jemaah haji. Lebih khusus lagi, tudingan ditujukan kepada ratusan jemaah asal Iran yang dianggap melanggar aturan karena tidak mengikuti rute yang semestinya.
Dua Pekan, Dua Bencana
Ada kabar mengejutkan yang beredar belakangan. Ad-Diyar, media Lebanon berbasis di Arab Saudi, menyebutkan bahwa penyebab tragedi Mina pada 2015 itu lantaran ada rombongan Pangeran Muhammad bin Salman, yang berjumlah 350 orang, di terowongan yang sama.
Iring-iringan Pangeran Arab dikawal oleh ratusan polisi dan tentara. Guna memberi jalan, petugas membalikkan arah arus jemaah sehingga memicu kebingungan dan kepanikan, dan terjadilah insiden tragis tersebut.
Lagi-lagi, pemerintah Arab Saudi berkelit dan mengatakan tudingan itu tidak berdasarkan bukti-bukti kuat. Kerajaan Arab Saudi pun menegaskan saat itu tidak ada keluarga kerajaan yang melaksanakan ibadah haji.
Dua pekan sebelumnya, insiden berdarah juga terjadi. Crane alias mesin derek atau alat berat yang digunakan untuk proyek perluasan dan perbaikan areal Masjidil Haram di Mekkah, jatuh dan menimpa ratusan jemaah haji yang tengah menunaikan salat Magrib.
Crane yang ambruk pada Jumat petang menjelang malam, 11 September 2015, ini disebabkan badai dan hujan deras yang mengguyur Mekkah. Sedikitnya 107 orang meregang nyawa.
Korban insiden crane dari jemaah haji Indonesia ada 36 orang: 10 orang di antaranya meninggal dunia, satu orang cacat permanen, 19 orang luka berat, dan 6 orang lain luka ringan. Jumlah korban ini tertera dalam nota diplomatik dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi kepada Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, pada 28 Agustus 2017.
Setelah peristiwa itu, pemerintah Kerajaan Arab Saudi memang berjanji akan memberikan uang santunan sebesar 1 juta riyal atau Rp3,8 miliar untuk korban meninggal dunia.
Sementara untuk yang cacat fisik menerima 500.000 riyal atau Rp1,9 miliar. Meskipun begitu, proses pencairan dana santunan itu memakan waktu cukup lama, dan baru pada musim haji 2017 ini ada tanda-tanda bakal segera terealisasi.
Baca juga: Sudah Tertimpa Crane, Tak Mendapat Asuransi Layak Pula
Petaka di Sri Lanka 1978
“Saya tidak punya jimat atau ilmu apa pun. Ini memang pertolongan Allah,” ujar M. Syahril.
Syahril adalah salah satu dari 75 jemaah haji asal Kalimantan Selatan yang selamat dari kecelakaan maut jatuhnya pesawat di wilayah Sri Lanka pada 15 November 1978.
Rabu malam itu, pesawat milik Icelandic Airlines yang dicarter Garuda Indonesia terbang dari Jeddah dengan tujuan Surabaya. Pesawat yang mengangkut 262 orang, sebagian besar adalah rombongan haji asal Indonesia, bermaksud transit sejenak di Bandara Katunayake di Kolombo, kota terbesar Sri Lanka, untuk mengisi bahan bakar, sebelum kembali ke Tanah Air.
“Semula, kami dijadwalkan siang hari harus sudah menuju Jeddah dari Mekkah Al Mukararrahmah. Ternyata baru malam hari diberangkatkan. Kondisi kami pun sudah sangat lelah dan letih,” kenang Syahril.
Lantaran cuaca buruk di langit Kolombo, sang pilot gagal mendaratkan pesawat dengan sempurna. Pesawat itu jatuh sebelum menyentuh landasan, menghantam pepohonan kelapa di perkebunan yang berjarak sekitar 3 kilometer dari bandara. Dan, pukul 22.53 waktu setempat, terdengar ledakan hebat. Burung besi bertipe Douglas DC-8 itu pun hancur dan pecah menjadi tiga bagian.
“Braak! Saya kira pesawat salah mendarat atau roda pesawat pecah,” kata Syahril mengingat detik-detik mencekam itu.
Penyebab pesawat jatuh jadi perdebatan. Pemerintah Sri Lanka menuding kesalahan terletak pada awak pesawat karena gagal mengikuti prosedur. Faktor usia pesawat juga dipermasalahkan oleh otoritas Sri Lanka. Sebagai catatan, pesawat DC-8 buatan McDonnell Douglas dari Amerika Serikat terbang kali pertama pada 30 Mei 1958.
Di sisi lain, Islandia sebagai pemilik pesawat menyalahkan otoritas bandara yang fasilitasnya kurang menjamin faktor keamanan. Klaim ini didukung oleh otoritas Amerika Serikat, negara pembuat pesawat tersebut (Edgar A. Haine, Disaster in the Air, 2000:76).
Sedikitnya 174 jemaah haji Indonesia tewas, ditambah 11 kru pesawat. Beruntung, ada 75 jemaah yang selamat. Ajaibnya, 46 orang di antaranya bahkan tidak mengalami luka serius, dan Syahril adalah salah satunya.
Ini membuat Menteri Agama RI saat itu, Alamsjah Ratu Prawiranegara, terkesima dan segera terbang ke Kolombo untuk menjemput para penumpang yang selamat.
Tragedi Kolombo 1974
Tragedi di udara Kolombo yang menelan korban (calon) jemaah haji dari Indonesia bukan sekali itu saja. Pada 4 Desember 1974, kecelakaan serupa terjadi di negara yang sama.
Pesawat yang menjadi tumbal pun bertipe sama, DC-8, dan dibuat oleh perusahaan yang sama pula kendati dari maskapai berbeda. Pesawat Martin DC-8 buatan tahun 1968, yang disewa Garuda Indonesia, gagal mencapai Katunayake, lalu jatuh di Maskeliya, Sri Lanka Tengah—berjarak sekitar 70,8 kilometer dari Kolombo.
Burung besi kepunyaan maskapai penerbangan asal Belanda itu meledak setelah menabrak perbukitan sebelum sempat mendarat di Kolombo untuk mengisi bahan bakar. Sama seperti kejadian setelahnya, ada beberapa versi asal-muasal kecelakaan, termasuk kesalahpahaman komunikasi antara pilot dan petugas Bandara Katunayake.
Insiden ini terjadi setelah pesawat selama 4,5 jam meninggalkan Surabaya menuju Tanah Suci dengan membawa 182 calon jemaah haji. Tragisnya, seluruh penumpang meninggal dunia dalam kecelakaan ini, termasuk kru pesawat.
Sebagian besar korban tewas berasal dari Blitar (separuh total penumpang), juga 50 orang dari Sulawesi Selatan, 16 orang dari Lamongan, 3 orang dari Kalimantan Timur, dan satu orang dari Surabaya.
Tragedi Kolombo 1974 menjadi sorotan luas karena tidak ada yang selamat. Kepedihannya begitu terasa dan menyisakan duka amat mendalam, khususnya bagi bangsa Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang jemaah haji terbesar di dunia.
Sastrawan Y.B. Mangunwijaya pun turut mengenang peristiwa tragis itu dalam roman Burung-burung Manyar (terbit pertama pada 1981), yang menampilkan pasangan Teto dan Atik sebagai tokoh sentral dengan segala dinamikanya.
Atik—teman kecil sekaligus perempuan yang dicintai Teto—dan suaminya dikisahkan menjadi korban kecelakaan pesawat di Kolombo itu dalam perjalanan ke Tanah Suci. Mereka meninggalkan tiga anak di Tanah Air.
“… Ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang terindah dari Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari depan mereka yang sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening mungkin,” ucap Teto pada akhir roman tersebut.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Fahri Salam