tirto.id - Legenda samudera sohor Melayu, Hang Tuah, pernah dikisahkan pergi ke Tanah Suci. Ia mendapat tugas negara dari Sultan Melaka.
Hang Tuah jadi laksamana armada untuk melakukan muhibah, terdiri 42 kapal dan 1.600 awak. Kapal yang ditumpanginya bernama Mendam Birahi.
Ketika tahu posisi armada itu tengah melintasi Negeri Judah (alias Jeddah), pangkalan dari Mekkah, Hang Tuah sebagai laksamana memberi perintah: “Beloklah Mendam Birahi ini, hamba hendak singgah mengunjungi kubur Siti Hawa untuk mengambil berkatnya.”
Sesuai perintah, Mendam Birahi berlabuh dan disambut syahbandar setempat. Penguasa setempat lantar mengantar mereka ke Mekkah dan Madinah. Tak lupa, Laksamana Hang Tuah menciumi Hajar Aswad, si batu hitam. Kisah Hang Tuah yang tiba di Tanah Suci pada 1482 itu diselipkan dalam seri pertama Naik Haji di Masa Silam (2013).
Setelah Hang Tuah, ada tokoh cendikia Islam terkenal macam Sunan Gunung Jati (1520), Syech Yusuf dari Makassar (1650), dan Raja Ali Haji dari Riau (1828).
Pada buku seri kedua, banyak kisah orang naik haji pada masa akhir zaman kolonial Belanda. Ada kisah orang sohor macam Bupati Bandung zaman kolonial (yang pernah jadi Menteri Dalam Negeri Indonesia) RAA Wiranatakusuma (1924), KH Abdussamad (1948), Ali Hasjmy (1949), dan Hamka yang dua kali naik haji dan dua kali mencatat (1927 dan 1950).
Kisah Wiranatakusuma naik haji diterbitkan di koran Bandung, Algemeen Indisch Dagblad de Preangerbode (1925), yang diberi judul: "Mijn reis naar Mekka, naar het dagboek van den regent van Bandoeng Raden Adipati Aria Wiranatakoesoema, door GA van Bovene" (Perjalanan Saya ke Mekka, menurut buku harian Bupati Bandung Raden Adipati Aria Wiranatakoesoema, oleh GA van Bovene).
Setahun berikutnya, edisi bahasa Melayu memoarnya diterbitkan oleh Balai Poestaka berjudul Perdjalanan Saja ke Mekkah, dan dalam bahasa Sunda: Lalakon Kandjeng Dalem Bandoeng Angkat Djarah ka Mekah—yang disadur oleh R. Memed Sastra Hadi Prawira. Wiranatakusuma belakangan dikenal sebagai Dalem Haji.
Wiranatakusuma berhaji ketika Tanah Suci dikuasai oleh Raja Hussein bin Ali—yang diakui kekuasaan oleh Kerajaan Belanda pada 1920—dan telah menjadi Amir Mekkah sejak 1908. Namun, tahun kunjungan Wiranatakusuma itu adalah tahun terakhir Hussein berkuasa.
Pada bagian akhir cerita perjalanannya berhaji, Wiranatakusuma menulis: “bulan September 1924 itu (Abdul Azis) bin Saud, Sultan Kaum Wahhabi, telah menyuruh laskarnya menyerang kota Taif.” Dari Taif, laskar suruhan Saud yang dipimpin Khalid Masyur itu bergerak ke Mekkah.
Wiranatakusuma yang hormat pada Syarif Hussein menulis: “Supaya di kota itu jangan ada pertumpahan darah, Syarif Hussein lari meninggalkan Kota Mekkah, dan pemerintahan negeri Hijaz diserahkan kepada anaknya Ali yang dahulu menjadi amir kota Madinah.”
Belakangan, daerah-daerah itu dikuasai dinasti Saud. Langkah Abud Azis bin Saud melapangkan wangsa Saud membentuk negara Arab Saudi. Dinasti ini berdiri di atas penghancuran lebih dari 7.000 makam keluarga dan sahabat Nabi Muhammad.
Kisah Orang Naik Haji di Masa Republik
Ali Hasjmy berhaji sambil melakukan tugas diplomatik untuk mendukung perjuangan Indonesia. Ali Hasjmy naik pesawat KLM. Ia berangkat pada 27 September 1949 dan tiba pada 30 September 1949. Ali dan rombongannya disambut Duta Besar Indonesia untuk negara-negara kawasan Arab, Haji M. Rasjidi. Kisah naik haji Ali Hasjmy dibukukan dalam Kerajaan Arab Saudi (1951).
Adapun Hamka, dalam perjalanan keduanya pada 1950, mengisahkan bagaimana ia merayakan upacara hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-5 di atas kapal laut.
“Dapatkan Tuan rasakan bagaimana perasaan kami kala itu? Melihat Sang Saka Merah Putih dinaikkan di tiang kapal?” tulis Hamka.
Seri ketiga buku Naik Haji di Masa Silam mengisahkan orang-orang yang naik haji dari golongan terpelajar tapi bukan pemuka agama. Ada dua wartawan: Saiful UA (1954) Medan dan Rosihan Anwar (1957).
Saiful UA menuliskan pengalamannya berhaji dalam buku tipis Hati Terpikat di Tanah Sutji (1954), yang diterbitkan Firma Saiful di Medan. Saiful naik kapal pulang-pergi. Ia merayakan 17 Agustus di sana.
“Kenanganku kembali melayang kepada tanggal 17 Agustus 1945 ketika kemerdekaan kita diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta ke seluruh dunia atas nama bangsa Indonesia,” tulis Saiful.
Seperti Saiful, Rosihan juga menerbitkan bukunya soal pengalaman berhaji: Naik di Arafat (1957).
“Pada 26 Juni 1957, saya berangkat ke Mekkah untuk naik haji pertama kali, dalam usia 35 tahun. Saya menumpang pesawat Garuda Indonesia Airways (GIA) jenis Convair, yang mengangkut rombongan keempat jemaah haji udara,” tulis Rosihan.
Rosihan menjadi saksi akan kekacauan jemaah haji Indonesia yang “sukar membedakan mana kakus untuk pria dan mana kakus untuk wanita.” Suhu panas saat wartawan dari Minang ini ke Tanah Suci mencapai 41 derajat celsius. Ia berhaji ketika Masjidil Haram diperluas.
“Kota Mekkah bagaikan sebuah kuali, terletak dalam lembah, dikelilingi batu-batu hangat dan tandus,” tanggap Rosihan.
Ia pun menggambarkan bagaimana jalanan Mekkah pada 1950-an. “Jalan-jalan di Kota Mekkah, terutama di daerah yang terletak dekat dan sekitar Masjidil Haram, sangat sempit.”
Ia menambahkan: “Mekkah mempunyai bau yang istimewa. Bau itu menusuk ke dalam bulu-bulu hidung, mengejar dan hinggap di badan kita […] Mulanya pada perkenalan pertama, perut kita terbalik dibuatnya, kemudian kita seolah-olah menjadi satu dengannya."
"Yang spesifik pada bau itu ialah bau feses atau kotoran manusia yang telah mengering,” lanjut Rosihan.
Selanjutnya ada dua sutradara: Asrul Sani (1963) dan Misbach Yusa Biran (1964).
Di bagian akhir seri ketiga, buku Naik Haji di Masa Silam menyajikan tabel data jumlah orang Indonesia yang pergi haji: dari ribuan pada awal abad 19 hingga puluhan ribu pada awal abad 20.
Di tahun-tahun selanjutnya jemaah haji dari Indonesia terus bertambah. Berdasarkan sumber Arsip Nasional dari Departemen Agama, yang merekam jemaah haji dari 1969 hingga 1986, ada 790.455 orang yang pergi ke Tanah Suci selama rentang 17 tahun tersebut.
Menurut sumber yang sama, pada 1978, perjalanan haji dengan kapal laut sudah tidak ada sama sekali. Ini membebaskan jemaah haji dari risiko dikuburkan di tengah laut. Di masa kolonial, orang berhaji yang meninggal di kapal harus dibuang ke dasar laut sesuai Ordonansi tahun 1922.
Namun, risiko perjalanan lewat pesawat pun tetap tak terhindarkan. Pada 1974 dan 1978 terjadi petaka di Sri Lanka yang menewaskan ratusan calon jemaah haji Indonesia.
Tahun 2017 ini, berdasarkan ketetapan kuota haji dari Kementerian Agama, ada 221.000 jemaah yang berangkat ke Tanah Suci.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam