Menuju konten utama

Proses Menguburkan Jemaah Haji Tempo Dulu di Tengah Laut

Bagi mereka yang pergi haji di masa kolonial, pertaruhan meninggal di tengah laut sudah menjadi risiko yang harus ditanggung pribadi.

Proses Menguburkan Jemaah Haji Tempo Dulu di Tengah Laut
Ka'bah, Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi, circa 1885. FOTO/Chr. Snouck Hurgronje

tirto.id - Berhaji bukan hal mudah di zaman kolonial Hindia Belanda. Tak hanya butuh uang besar, tapi juga tenaga.

Sebelum pesawat menjadi angkutan utama haji, hanya kapal laut yang tersedia menuju Tanah Suci bagi orang-orang dari Hindia Belanda. “Perjalanan haji dengan menggunakan kapal layar seperti dialami Abdullah Munsyi, selain lama, juga menghadapi kondisi alam yang menyulitkan,” tulis Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007).

“Setelah menggunakan kapal api, perjalanan menjadi lebih singkat dan mudah [….] Waktu yang diperlukan hanya sekitar 20 hingga 25 hari.”

Meski masa perjalanan telah terpangkas, tetapi kematian masih mengintai jemaah haji. Sepanjang pelayaran, menurut Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), banyak “jemaah yang meninggal dunia karena kelelahan, kekurangan sarana, atau mengidap penyakit.”

Pembrita Betawi (edisi 1 Februari 1909) mengisahkan bagaimana Promathens, yang mengangkut 937 orang dari Tanah Suci selepas ibadah haji, telah membuang setidaknya dua jenazah penumpang karena penyakit pes.

Pada 1928, menurut catatan Jan Hendrik Ziesel dalam De Pelgrims-Quarantaine in de Roode Zee (1929), Rotterdamsche Lloyd—perusahaan pelayaran Belanda—yang memberangkatkan ribuan orang penumpang (dalam beberapa kapal), menelan 177 orang meninggal menuju Jeddah, dan 32 orang tewas saat perjalanan pulang ke Hindia Belanda.

Sementara dari maskapai Oceaan Maatschappij, 148 meninggal saat pergi ke Tanah Suci dan 29 orang tewas dalam perjalanan pulang.

Pada satu perusahaan pelayaran Belanda lain, bernama Nederland, 170 orang meninggal saat berangkat dan 45 orang saat pulang ke Hindia Belanda.

Kekhawatiran soal penularan penyakit dari jenazah—dan masih jauh daratan untuk menguburkan jenazah—membuat langkah menenggelamkan jenazah ke dasar laut adalah pilihan terbaik.

Itu tercantum dalam Ordonansi tahun 1922 tentang Peraturan Pelayaran Haji Bab VII Ayat 48. Isinya: “Jenazah penumpang kapal yang meninggal di laut, karena tertular penyakit, dicuci dengan air keras, dikafani, ditali, dan selanjutnya ditenggelamkan ke dasar laut.”

Pada pasal lain: “Apabila seorang penumpang di kapal meninggal, nakhoda harus memberitakan dalam jurnal kapal: nama, usia, tempat lahir, dan tanggal meninggal, bahkan mungkin juga sebab-sebab kematian sesuai penjelasan dokter kapal.”

Ternyata, apa yang tercantum dalam Ordonansi 1922—dibuat pada masa Gubernur Jenderal Dirk Fock dan Sekretaris Umum CH Welter pada 10 November di Bogor—ini masih diterapkan pada 1948.

Infografik HL Indepth Haji

Dalam catatan perjalanan Kyai Haji Abdussamad dalam Melawat ke Mekkah (1948), seperti termuat dalam Naik Haji di Masa Silam Tahun 1900-1950 (2013), langkah membuang jenazah penumpang haji di kapal masih berlaku.

“Jarak antara Tanjung Priok-Kolombo kurang lebih 2.500 mil, dilayari dalam tempo 7 hari. Selama itu ada 3 kali kami melepaskan saudara kita, membuang jenazahnya ke laut,” tulis Abdussamad. Jarak yang harus ditempuh jemaah di kapal itu masih cukup jauh untuk mencapai Jeddah.

Menurut catatannya, “Sesudah mayat dimandikan, dikafani, dan disembahyangkan, lalu diletakkan di atas suatu tempat.”

Menurut catatan Dien Madjid, “Upacara pemakaman di kapal tempo dulu maupun sekarang adalah sama.”

Setelah melalui ketentuan-ketentuan Islam, kecuali dikuburkan, seorang “awak kapal yang sudah berpengalaman membungkus jenazah dengan kain layar putih bersih, diikat pada kepala dan kaki, lalu dibebani beberapa kepingan baja dan timah hitam seberat antara 30-50 kg.”

Proses penguburan ke dasar laut itu dilakukan di buritan kapal.

Menurut catatan Madjid, penenggelaman itu di saat kapal dalam kecepatan lambat atau berhenti sama sekali. Dengan posisi yang telah ditentukan oleh mualim, “kapal bertahan. Tempat mayat diangkat perlahan-lahan ke sisi badan kapal, dan dengan segala kehormatan, jenazah diulur ke laut."

Setelahnya, “Jenazah ditempatkan ke dalam sekoci kecil. Kepalanya dihadapkan ke haluan kapal. Dengan penuh khidmat, sekoci diturunkan. Tali sekoci bagian kepala ditarik ke atas sehingga posisinya miring dan jenazah tenggelam ke dalam laut,” tulis Madjid.

“Ketika sampai ke permukaan air, tali jenazah dilepaskan, tangga diangkat, jenazah melayang-layang ke samudera Hindia. Sebagian hadirin mengucurkan air mata,” tulis Abdussamad.

Baca juga artikel terkait IBADAH HAJI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam