tirto.id - Pemuda tinggi kurus berusia 27 tahun itu tiba dengan menumpang kapal. Berdiri di anjungan, jenggot dan kumisnya melambai-lambai diterpa angin Laut Merah. Perjalanan tiga minggu di atas kapal membuat tubuh cekingnya kelelahan. Pada 28 Agustus 1884, ia akhirnya menginjakkan kaki di negeri yang selama ini hanya dikenal lewat manuskrip dan buku-buku di perpustakaan.
Lima tahun ia menanti kesempatan ini. Pemerintah negaranya berbaik hati memberi sangu buat pemuda berbakat yang mampu omong lughatul ‘Arabiyyah seperti ngobrol dengan tetangga di kampungnya. Kelak ia bukan hanya mahir bahasa Arab, tetapi juga belasan bahasa Timur lain.
Poliglot macam dia memang sangat berguna. Negara butuh jasanya, kampus perlu ilmunya. Si kurus butuh duitnya. Meski uang saku dipotong hampir dua per tiga oleh pemerintah gara-gara penghematan, ia tetap nekat.
“Uang segitu cukup, yang penting bisa berangkat,” pikirnya.
Sejak umurnya masih belasan, ia sudah dianggap ganjil. Ia lebih sering menyendiri di perpustakaan ketimbang nongkrong dengan teman sebaya. Dibuka, diendus, dan dipelototinya naskah-naskah berbahasa “aneh” dari dunia Timur. Ia meresapi pengetahuan, imajinasi, dan eksotisme yang menguar dari halaman-halaman yang mengisahkan dunia Timur. Obsesi intelektualnya pun tertuju di satu titik: Dunia Arab serta seluruh kerumitan kulturalnya.
Saat tiba, Jeddah sudah mulai ramai oleh orang-orang yang datang dari jauh. Saat itu memang menjelang musim haji. Ia menyaksikan manusia dari pelbagai ras dan suku bangsa datang berbondong-bondong bersama para kerabat. Kadang, kalau kebetulan orangnya kaya, mereka membawa satu rombongan yang memenuhi seperempat lambung kapal. Sebagian besar berasal dari Hindia Belanda.
Baca juga: Haji Kere, Wabah Kolera, dan Radikalisme dari Mekkah
Di kota itu, si kurus menemui beberapa rekan yang sudah ia kenal jauh sebelumnya. Salah satu rekannya adalah pria setengah baya yang baik hati, yang menyediakan semua keperluan si kurus selama tinggal di kota itu. Sebagai pegawai kantor konsulat, rekannya itu menyediakan salah satu ruangan untuk ditempati si kurus.
Beberapa pekan kemudian, ia pindah ke rumah salah satu kenalannya. Kedua orang ini dengan lekas nyambung, terutama karena sama-sama tertarik kajian Islam.
Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, begitu nama lengkapnya, adalah santri-priayi dari tatar Sunda. Mereka banyak berdiskusi ilmu-ilmu keislaman dan pengetahuan dari negara asal Aboe Bakar yang belum banyak diketahui si kurus. Ia juga mengajari si kurus pelbagai bahasa dari tanah kelahirannya: Melayu, Jawa, Sunda, dan Aceh. Dasar poliglot, si kurus dengan cepat menguasai bahasa-bahasa tersebut dan menambah perbendaharaan bahasa dari Timur.
Informasi mengenai jemaah haji yang datang dari negeri Aboe Bakar juga menarik perhatian tersendiri bagi penjelajahan intelektual si kurus. Ia diperkenalkan dengan beberapa jemaah dan ulama-ulama dari Hindia Belanda.
Dunia Arab-Islam rupanya bukan sekadar obsesi intelektual, tetapi bahkan bagian dari perjalanan spiritualitasnya. Tidak terhindarkan perdebatan apakah anak pendeta dari Oosterhout ini benar-benar memeluk Islam lantaran dorongan rohaniah atau demi kepentingan akademik belaka. Atau, bahkan lebih jauh lagi: Ia masuk Islam untuk mempelajari kelemahan-kelemahan agama ini dan kemudian menghancurkannya.
Para penentangnya menganggap ia cuma berpura-pura masuk Islam agar penelitian yang dilakukannya lancar. Rekan-rekannya sendiri bahkan meragukan ketulusannya memeluk Islam.
Tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti soal ini lantaran si kurus cenderung tertutup menceritakan semesta internalnya. Apa pun motif utama di balik kemualafannya, masuknya dia ke dalam dunia Islam adalah faktual semata.
Catatan harian yang ia tulis pada 5 Januari 1885 menceritakan kunjungan rahasia seorang tukang sunat ke kediamannya di Jeddah. Dalam catatannya ia menyebut orang itu sebagai “tukang cukur”.
Masih dalam catatan harian yang sama, si kurus juga menyinggung perawatan luka yang dilakukan “si tukang cukur”. Sangat mungkin kulup si kurus memang benar-benar dipangkas pada hari ia menulis catatan tersebut.
Yang jelas, sejak pindah ke rumah Aboe Bakar, ia punya nama baru yang kelak digunakan di mana-mana tatkala meneliti soal Islam: Abdul Ghaffar, atau Gofur—kelak ia kerap dipanggil Haji Gofur.
Pembacaan atas arsip-arsip korespondensi selama ia tinggal di Jeddah mengarah pada kesimpulan bahwa ia menunaikan dua kalimat syahadat sekitar Desember 1884.
Dengan modal itu, ia bisa memasuki Mekkah—kota yang terlarang untuk non-muslim. Tujuan utama Gofur ke Mekkah memang untuk penelitian. Agar risetnya lebih mendalam, ia harus menyaksikan secara langsung proses ibadah haji dari awal sampai akhir.
Pada 21 Februari 1885, Gofur memulai perjalanannya ke Mekkah didampingi Aboe Bakar. Ada empat ekor onta yang mengiringi: tiga ekor khusus membawa perbekalan dan barang-barang serta satu ekor dinaikinya bersama Aboe Bakar. Esok harinya, Gofur berhasil memasuki Mekkah. Ia adalah akademisi Eropa pertama yang masuk ke Tanah Suci itu.
Ada insiden kecil terjadi di pos penjagaan kota. Lantaran curiga dengan tampang bulenya, si penjaga melarang Gofur memasuki Mekkah. Akhirnya, dengan cara luar biasa, si penjaga mengambil jalan tengah: Gofur mesti menunjukkan jika kulup di ujung penisnya memang telah dipangkas. Apa boleh buat, Gofur terpaksa buka celana. Dengan mata kepala sendiri, penjaga perbatasan bisa memastikan bahwa bule kurus itu memang telah disunat.
Setelah memasuki Mekkah, Gofur aktif menjalin korespondensi dengan rekan-rekan akademisi untuk melaporkan pengamatannya, termasuk pengalaman pribadinya. Dalam salah satu surat, ia bercerita soal kehidupan sehari-hari para ulama dan jemaah haji dari Hindia Belanda yang tinggal di sana. Dan ia menjadi kian tertarik.
“Sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan dari buku-buku,” katanya dalam salah satu surat yang ia kirim kepada koleganya.
Baca juga: Merindukan sekaligus Mengabaikan Mekkah
Di situ pula ia membeli seorang budak perempuan asal Etiopia meski secara prinsip ia sebenarnya menolak perbudakan. Seks memang naluri yang sangat manusiawi. Dan para budak, menurut hukum Islam, boleh digauli sang majikan.
Dengan kalimat yang sangat personal, dalam salah satu suratnya, Gofur menegaskan betapa tergila-gilanya ia dengan budak Ehiopia itu.
“Tak ada bedanya [budak Etiopia] yang masih perawan atau tidak, cantik atau buruk rupa, tua ataupun muda, selama ia memiliki vagina yang hangat, keset, dan bersih,” tulis si Gofur.
Tidak heran jika Gofur kian betah di Mekkah. Hampir setiap hari ia berkeliling di Mekkah. Ia menjumpai banyak orang, bercakap-cakap dengan manusia dari pelbagai bangsa. Ia memang punya keterampilan berbahasa, dan perjumpaan-perjumpaan dengan ragam manusia membuat keterampilannya semakin terasah.
Tapi kesialan tiba-tiba datang. Seorang Aljazair yang dari awal memohon untuk dijadikan asisten tapi ditolaknya, membuat pengkhianatan. Ia menyebarkan rumor bahwa Gofur adalah seorang muslim palsu dan karena itu harus diusir dari Mekkah. Rumor dengan cepat menyebar dan memaksanya segera cabut dari Mekkah.
Akhirnya, pada 5 Agustus 1885, Gofur terpaksa meninggalkan Mekkah saat musim haji belum dimulai. Untungnya, ia masih sempat melakukan umrah dan mendapat bahan-bahan soal Mekkah dalam mempersiapkan musim haji.
Ia sempat mampir ke beberapa tempat, salah satunya Kairo. Setelah tiba di tanah airnya, ia mulai menggarap bahan-bahan yang dikumpulkan di Mekkah untuk menyelesaikan studi. Ia lulus dengan meyakinkan. Disertasi yang ia pertahankan mendapatkan pujian karena kekayaan data dan kedalaman interpretasi. Disertasi itu berjudul “Het Mekkansche Feest” (Perayaan Mekkah).
Tiada lain tiada bukan, pemuda kurus dengan kulup yang terpangkas itu adalah Snouck Hurgronje!
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS