Menuju konten utama
Imajinasi Nusantara Atas Mekah

Haji Kere, Wabah Kolera, dan Radikalisme dari Mekah

Bagaimana pemerintah kolonial mengatur siasat untuk menjinakkan wabah kolera dan radikalisasi jemaah haji sejak awal abad 19?

Haji Kere, Wabah Kolera, dan Radikalisme dari Mekah
Ibadah haji pada tahun 1920. FOTO/Alamy

tirto.id - Suci atau tidak suci bukan soal yang terlalu relevan dalam politik, bahkan seandainya itu terjadi di tanah suci Mekah. Sebagai tempat sakral umat Islam, Mekah dan kota-kota sekitarnya adalah medan sengketa banyak pihak, yang tak ada urusannya dengan keselamatan akhirat, mulai dari bisnis haji, rebutan wilayah dagang hingga adu klaim kepemimpinan umat.

Pembicaraan historis tentang Mekah tentu juga bukan sekadar kesucian citra haji yang serba putih, tetapi juga menyangkut cairan-cairan tubuh lain yang jauh dari citra suci seperti darah dan kotoran manusia, yang menyesaki catatan-catatan sejarah pemberontakan anti-kolonial dan epidemi kolera sepanjang abad 19.

Pada akhir abad ke-19, Mekah adalah salah satu titik perjumpaan beragam aktor gerakan anti-kolonialisme serta Pan-Islamisme, sebuah ideologi yang menghendaki persatuan kaum muslim sedunia. Pemberontakan Sepoy di India, misalnya, yang meletus ratusan kilometer dari Mekah, seringkali dikisahkan berawal dari penolakan para serdadu kolonial berdarah India untuk menggunakan magasin bedil yang mengandung lemak sapi dan babi (yang pertama suci bagi penganut Hindu, yang kedua haram bagi muslim). Latar belakang peristiwa itu lebih kompleks, melampaui India, dan melibatkan pertautan kepentingan kekuatan-kekuatan imperial Eropa, baik yang sedang tegak seperti Inggris maupun yang hampir mangkrak macam Turki.

Sejak awal abad 19, Inggris mulai memperluas imperiumnya mulai dari India, Yaman, hingga semenanjung Malaya. Ekspansi teritori Kerajaan Britania diikuti intensifikasi kekuatan maritim di sekujur Samudera Hindia sampai ke Laut Merah—jalur penghubung India dengan Inggris—via Jedah. Pada 1839, Inggris mencaplok Aden, kota pelabuhan yang kini masuk dalam teritori Yaman. Tiga dasawarsa kemudian, Kanal Suez dibuka dan berfungsi sebagai tempat persinggahan kapal-kapal Inggris. Dalam konteks yang lebih luas, penguasaan Inggris atas titik-titik niaga terpenting di Laut Merah yang bersinggungan dengan arus lalu lintas haji didahului oleh persaingan ekonomi dan penaklukan teritori yang melibatkan kekuatan-kekuatan imperial Eropa, termasuk Perancis dan Turki Usmani pada awal abad.

Setelah menguasai Iskandariyah, kota pelabuhan utama di Mesir, sejumlah laporan yang beredar secara publik mencurigai Napoleon tengah meretas jalan ke India, kendati tak terbukti benar. Adapun jalur haji, bagi Turki Usmani yang pelan-pelan mulai rontok, beserta penguasa-penguasa kecil di bawahnya, adalah sekaligus jalur dagang yang menghubungkan Asia dengan kawasan Maghreb (Afrika Utara). Kapal-kapal yang mampir di pelabuhan sekitar wajib membayar pajak tinggi yang menjadi tulang punggung ekonomi negeri-negeri bawahan Turki saat itu, termasuk Hijaz (dan Mekah di dalamnya). Ketika Iskandariyah jatuh ke tangan Napoleon pada 1798, pundi-pundi para pangeran Hijaz pun surut.

Beberapa tahun kemudian, Inggris merebut Iskandariyah dari Perancis. Persaingan antara Inggris dan Perancis serta Rusia, membuat Inggris bersekutu dengan Turki. Kemesraan keduanya memuncak pada masa Perang Krimea tatkala Inggris mengambil peran sebagai pelindung Turki melawan Rusia. Ketika Inggris secara perlahan mencaplok India, relasi kedua negara pun naik-turun.

Haji dan Krisis Kolera

Penemuan kapal uap pada awal abad 19 menjelaskan peningkatan arus manusia dan barang antara Hijaz dan India. Profil jemaah haji pun berubah. Sejarawan Michael Christopher Low dari Georgia State University menyebutkan, penemuan mesin uap membuat ongkos perjalanan haji bisa diakses oleh masyarakat yang bukan dari golongan elite. Lalu lintas jemaah haji, yang perjalanannya bisa berlangsung selama berbulan-bulan dengan risiko besar akan keamanan, kini bisa dicapai dalam waktu lebih singkat. Akibatnya, jumlah rombongan haji membeludak.

Membeludaknya jemaah haji, khususnya dari India, sempat membuat resah para teknokrat di Eropa Barat dan pengambil kebijakan di tanah koloni. Muncullah apa yang dinamakan “haji kere” (pauper pilgrims). W.W Hunter, salah seorang dirjen yang mengepalai lembaga statistik pemerintah Inggris di India, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa “jemaah haji asal India itu bondo nekat … saking nekatnya membahayakan nyawa orang-orang lain yang jauh lebih berharga dari nyawa mereka sendiri.” Di balik keprihatinannya yang bernada rasis, komentar Hunter mencerminkan rendahnya prioritas kesehatan dan keselamatan dalam aktivitas haji pada waktu itu.

Pada 1860-an, kekhawatiran para birokrat koloni terbukti. Setelah lama ditutup-tutupi, pemerintah Inggris mengakui hubungan antara merebaknya kolera di Mekah dan arus jemaah haji dari India. Dalam “Empire and the Hajj: Pilgrims, Plagues, and Pan-Islam under British Surveillance, 1865–1908” (2008), sejarawan MC Low menyebut jumlah korban awal sebanyak 15 ribu jiwa di Hijaz dan 60 ribu di Iskandariyah. Jenazah yang mati di atas kapal segera dibuang ke laut.

Pada 1865, kolera menyeberang ke Eropa melalui pelabuhan Marseilles, kemudian sampai di New York dalam hitungan pekan. Kolera menjadi topik yang mendunia. Jurnal-jurnal ilmiah kedokteran Britania pada waktu itu seperti British Medical Journal disesaki oleh laporan dan perdebatan seputar kebijakan pengawasan jemaah haji India. Puncak dari krisis wabah kolera global itu adalah jumlah korban jiwa yang melampaui angka 200 ribu.

Pada saat bersamaan, persebaran wabah kolera memberikan legitimasi bagi otoritas kolonial Inggris untuk turut campur dalam urusan haji. Dalam makalah berjudul “Sanitation and Security: The Imperial Powers and the Nineteenth Century” (1982), sejarawan Timur Tengah William Roff menyebut faktor “infeksi kembar” (twin infections) yang mendorong intervensi Inggris: wabah kolera dan radikalisme.

Pemerintahan kolonial Inggris di India baru saja diguncang pemberontakan Sepoy pada 1857. Jejaring pemberontakan ini melibatkan kalangan diaspora India, termasuk di jazirah Arab, serta dukungan dari Turki Usmani. Pemberontakan ini tidak saja menggunakan simbol-simbol Islam, tapi juga didorong oleh ideologi dan kepentingan politik dari luar India.

Para pengamat Eropa, kurang lebih mirip hari ini, mengalamatkannya pada penyebaran Wahabisme yang tumbuh pesat di kawasan Hijaz. Namun faktor dukungan sultan Turki Abdul Hamid II, yang mengkampanyekan Pan-Islamisme, sulit dibantah. Dalam lanskap geopolitik saat itu, memburuknya hubungan Inggris dan Turki semakin memperkuat relasi India-Turki. Khususnya setelah keruntuhan kerajaan Mughal di India, warga Muslim India mengalihkan perhatian mereka kepada Turki Usmani sebagai kiblat spiritual dan politik. Kendati demikian, tak boleh dilupakan pula kedekatan kultural antara pedagang India dan komunitas Hadrami yang bermukim di Jedah dan pesisir Afrika Timur, yang turut menjelaskan basis material dari radikalisme anti-kolonial pada abad tersebut.

Pengalaman pahit pemberontakan Sepoy memicu Inggris untuk melakukan penyelidikan akar-akar radikalisme di tanah jajahan. Wilayah Hijaz kemudian ditengarai sebagai biang kerok pemberontakan, tempat bersemainya gagasan-gagasan subversif. Namun persepsi bahwa Hijaz adalah kiblat gagasan-gagasan subversif, sungguhan maupun dibayangkan, dimungkinkan oleh peraturan tutup pintu untuk non-muslim, sehingga akses aparatus keamanan dan birokrasi Inggris untuk beroperasi di Hijaz menjadi sangat terbatas. Di sisi lain, bagi sebagian warga muslim jajahan, Hijaz punya makna lain: berhaji adalah cara untuk sejenak lepas dari kontrol otoritas kolonial. Dalam komentar sinis Bartle Frere, seorang pejabat Departemen Luar Negeri Inggris di India, Hijaz adalah “rumah sakit jiwa bagi eksil muslim fanatik India.”

Kondisi ini menyulitkan Inggris. Masuk ke dalam kota-kota suci dan melakukan pengawasan langsung secara ketat terhadap jemaah haji justru berpotensi membakar militansi warga muslim.

Infografik HL Haji wabah Kolera

Agen Pribumi

Sepanjang dekade 1870-an, Inggris berupaya menjalin kerja sama dengan sejumlah negara Eropa untuk menangani radikalisme yang berpusat di Hijaz. Salah satunya menggamit Belanda, yang juga memiliki keprihatinan serupa terkait potensi radikalisasi jemaah haji asal Hindia-Belanda.

Dua cara utama ditempuh adalah memperbaiki regulasi dan sarana pelaksanaan jemaah haji, di samping penyebaran mata-mata di sekitar Hijaz untuk membendung propaganda Turki. Keterbatasan akses ke tanah suci dijebol dengan mempekerjakan birokrat-birokrat muslim India. Salah satunya adalah dr. Abdul Razzack, asisten dokter bedah dari Bengal, yang dipercaya untuk membuat laporan tentang kondisi jemaah haji India pada 1878. Laporannya dibaca oleh pejabat di London, Aden, Mesir, India, dan Malaya.

Beberapa tahun kemudian peran dr. Razzack dinaikkan ke taraf politis sebagai penyusun kebijakan pembaruan (reform) melalui Native Passenger Act (1878), salah satu pokoknya memberi layanan medis kepada jemaah haji di kapal-kapal. Cara lain yang ditempuh Inggris adalah mendisiplinkan biro-biro perjalanan haji ke dalam satu pintu, dari Mumbai ke Jedah, lewat Thomas Cook & Sons. Biro perjalanan pariwisata swasta Inggris di India ini didapuk mengurusi bisnis-bisnis haji setempat yang jumlahnya ribuan setiap tahun.

Yang menarik, salah seorang pembisik utama otoritas Inggris (dan Belanda) untuk mengambil kebijakan populis, alih-alih jalan pedang, adalah Snouck Hurgronje, antropolog yang berjasa besar bagi Belanda dalam memenangkan Perang Aceh (1896-1901). Menurut Hurgronje, “Orang-orang Eropa terlalu membesar-besarkan Mekah sebagai pusat radikalisme.” Jumlah aktivis radikal di Jedah dan Mekah terlalu kecil untuk dikhawatirkan, demikian Hurgronje.

Orang-orang Mekah sendiri, lanjutnya, “lebih berkepentingan menarik keuntungan sebesar-besarnya dari jemaah haji.” Saran Hurgronje sederhana: Otoritas Inggris perlu meningkatkan pelayanan kebersihan dan medis di Hijaz.

Siasat Hurgronje berhasil. Semenjak itu kontrol Turki atas aktivitas-aktivitas terkait haji pelan-pelan berpindah ke tangan Inggris.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Humaniora
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam