tirto.id - Selain kelompok priyayi, haji termasuk orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Haji dianggap orang yang berpengaruh dalam hal keagamaan. Orang berhaji, yang telah melengkapi rukun Islam, dianggap lebih paham masalah agama. Beberapa orang muda yang naik haji di masa kolonial, tak melewatkan kesempatan mendalami ilmu-ilmu agama. Sepulang dari Mekkah dan Madinah, para haji itu tak jarang mendirikan pesantren atau menjadi guru agama.
Para haji di masa kolonial itu, tak hanya tukang ceramah. Mereka juga peka atas apa yang derita rakyat-rakyat kecil di masa kolonial. Sejarawan Indonesia, Sartono Kartodirjo, dalam disertasinya Pemberontakan Petani Banten 1888, mengemukakan bahwa pemberontakan petani di Banten itu dipimpin oleh para haji. Ada Haji Ishak, Haji Wasid, Haji Abdulgani, Haji Usman dan haji Tubagus Ismail di dalamnya. Para pemberontak itu ada yang berkumpul di tempat tinggal seorang haji sebelum menyerang kantor asisten residen yang dianggap simbol kekuasaan kolonial Hindia Belanda.
Haji Samanhudi, Haji Oemar Said Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan juga Haji Misbach adalah nama populer dalam gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Tiga haji pertama dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam yang melawan pemerintah kolonial dengan cara yang tidak terlalu keras dan menjauh dari komunisme. Sementara Haji Misbach melawan begitu keras dan dekat dengan komunis. Haji Misbach sering terlibat pemogokan. Tulisannya di suratkabar pun begitu keras terhadap pemerintah kolonial. Ia bahkan pernah diperiksa karena rencana sabotase di tempat umum. Haji ini pun harus mengalami pembuangan hingga ke Monokwari, Papua.
Haji Misbach, bukan satu-satunya haji yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam pemberontakan PKI 1926, banyak haji ikut serta dalam pemberontakan di Banten. Hingga setelah pemberontakan mereka dikirim oleh pemerintah kolonial di Boven Digoel. Di antara para haji yang dibuang dan berasal dari Banten itu antara lain terdapat Achmad Chatib, Djamhari, Moehamad Madoen, Moehamad Noer, Oemar dan Saidi bib Tjiing.
Di antara para haji dari Banten itu, ada yang sehari-harinya menjadi guru agama, petani, pedagang atau pemuka sebuah desa. Kebanyakan para haji di masa itu punya pekerjaan sebagai pedagang. Jelang tahun 1926, banyak haji yang ikut serta dalam PKI. Di masa itu, PKI dan Islam juga bersekutu melawan pemerintah kolonial.
Tan Malaka yang paham bagaimana kondisi Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, menganggap komunisme adalah sekutu alamiah bagi Islam dalam perjuangan melawan imperialisme. Begitu yang dikutip Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik Indoensia 1926-1998 (2005). Sayangnya, Komintern yang berada dalam genggaman Stalin menentang pemikiran Tan Malaka itu.
Di masa Tan Malaka memimpin PKI sebelum diusir dari Indonesia, banyak orang-orang Islam, termasuk para hajinya yang merapat ke PKI. Menurut Paul Tickel, sejarawan Australia, sebagian orang Islam yang pernah dibuang ke Digoel itu masuk ke partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) yang didirikan Tan Malaka
“Pada waktu itu, Islam dan komunis tidak saling berlawanan. Ada beberapa orang buangan yang juga menjadi lebih beriman sehabis ditangkap,” ungkap Paul Tickel, sejarawan Australia. Sehabis 1965, kondisinya berubah. Menurut Paul Tickel lagi, “sekarang komunis dan Islam dipertentangkan. Dulu keadaan jauh lebih cair.”
Haji Achmad Chatib, yang ketika ditangkap berusia 32 tahun dan bekerja sebagai pedagang adalah seorang Wakil Presiden PKI di Banten sekaligus penasihat agama. Lebih muda dari Achmad Chatib, seorang pedagang makanan yang haji bernama Djamhari adalah pimpinan ilegal PKI Banten. Usianya baru 25 tahun. Tentu saja tak cuma dua orang muda itu. Masih ada Haji Emed, usia 38 tahun, seorang guru agama juga merangkap propagandis PKI Banten. Juga Haji Moehamad Noer, yang sudah 28 tahun, adalah ketua PKI cabang Kramatwatu, Banten.
Meski tidak muda, Moehamad Madoen, yang sudah 51 tahun, adalah anggota Dewan Kabupaten, juga propagandis PKI Banten. Propagandis lain di Banten adalah Haji Oemar di Pabuaran; lalu Hadji Soegiri di Cikandung. Haji Saidi bin Tijing, yang sudah 50 tahun adalah pejabat kampung.
Haji-haji itu lalu dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel, setelah Kapten Becking menghalau para pemberontak itu. Dari Jawa Barat dan daerah lain pun ada juga haji yang terlibat dalam pemberontakan dan dibuang ke Digoel. Pemerintah kolonial tak melarang kegiatan keagamaan di Digoel, sehingga sebuah masjid pun berdiri di sana.
Menurut catatan Takeshi Shiraishi, dalam Hantu Digoel Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2001), masjid itu berdiri di Kampung C di tahun 1928. Komite Masjid juga didirikan oleh Harunrasyid dan Ahmad Dasuki. Keduanya murid dari Haji Misbach dan ketua gerakan komunis Islam. Setelah Komite Masjid, berdiri pula Al Islam Vereeniging (AIV) di Boven Digoel.
“AIV adalah asosiasi untuk mempersatukan mempersatukan muslim dan Komite Masjid menjadi eksekutifnya,” kata Mas Marco Kartodikromo seperti dikutip Takeshi. AIV tentunya dipimpin para haji seperti Datuk Natar Zainudin, Haji Achmad Chatib dan Haji Datuk Batuah. Haji-haji itu berasal dari Banten, Sumatera barat dan lainnya.
Sebelum 1930, setidaknya ada Haji Djalaludin dan Haji Nurdin Hitam. Djalaludin bekerja sebagai pedagang, sementara Nurdin adalah petani. Djalaludin, yang berusia 27 tahun adalah pimpinan PKI Silungkang, sementara Noerdin Hitam yang berusia 34 tahun adalah propagandis PKI lubuk busung, Agam Sumatra Barat.
Setelah 1930, jumlah haji dari Sumatera barat bertambah. Mereka dibuang bukan karena mereka komunis atau terlibat pemberontakan komunis 1927 di Silungkung. Mereka dianggap punya kegiatan berbahaya juga. Di antaranya dalam orang Permi. Mereka adalah Soeleiman gelar Hadji Soeleiman, Sinoerdin Gelar Hadji Noerdin, Iljas jacob, Djamaludin Taib dan Mochtar Lutfie.
Bagi pemerintah kolonial, haji dianggap berbahaya. Hingga seorang ahli Islam Belanda bernama Snouck Hurgronje berpendapat, “sebagian besar kyai, ulama, haji, adalah sosok dunia lain, sebagian besar mereka tidak pernah berharap kecuali beridabah kepada Allah dalam kedamaian. Namun ulama fanatik yang membaktikan gagasan-gagasan Pan Islamisme harus diawasi.” Mereka-mereka yang terpengaruh Pan Islamisme inilah yang kerap melawan pemerintah kolonial.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti