tirto.id - Sultan Agung salat di Masjidil Haram, Mekah, setiap hari Jumat. Pada salah satu Jumat, ia berjumpa dengan penguasa Mekah dan meminta agar diizinkan membuat pasarean di dekat Masjidil Haram untuk makamnya kelak. Permintaan itu ditolak dengan alasan Sultan Agung lahir dari pertemuan manusia dengan jin.
Sultan Agung murka. Apa yang dilakukan kemudian? Babad Nitik Sarta Cebolek mengisahkan begini:
“Ia (Sultan Agung) pergi ke istana istrinya, Kanjeng Ratu Kidul, di Laut Kidul, dan menceritakan kejadian itu. Ratu Kidul mengusulkan akan menyebarkan penyakit di Mekah untuk membalas dendam. […] Dengan serta merta maut merajalela. Kian hari kian banyak orang yang mati. Para imam berusaha membendung wabah ini dengan memperbanyak salat dan pengajian.” (Naik Haji di Masa Silam: 1482-1890, hal. 23)
Di tengah serangan wabah yang mematikan di Mekah itu, Sunan Kalijaga suatu saat hadir di Masjidil Haram dan mendengar keluhan tentang serangan dari Jawa. Ia bersedia menjadi mediator. Kalijaga menemui Sultan Agung dan menyampaikan permintaan maaf penguasa Mekah. Kendati sempat menolak, Sultan Agung akhirnya bersedia bertemu dengan penguasa Mekah. Di sana, Sultan Agung diizinkan membangun makam, tapi Kalijaga berhasil membujuk agar penawaran itu ditolak dengan alasan banyak kawula Mataram nantinya tak bisa berziarah (Idiom tentang Nilai Budaya Sastra Jawa, hal. 17).
Kalijaga menawarkan jalan keluar: ia mengambil segumpal tanah dari pasarean nabi-nabi, dibungkusnya dalam sepotong kain, lalu dilempar ke arah Pulau Jawa. Kalijaga menjelaskan: di mana tanah itu jatuh, di situlah makam boleh dibangun.
Gumpalan tanah itu jatuh di bukit Imogiri, kawasan yang menjadi pemakaman raja-raja Mataram Islam di kemudian hari. Sultan Agung akhirnya dimakaman di sana.
Serangan wabah bikinan Nyi Roro Kidul ke Mekah dan Sultan Agung salat setiap Jumat di Masjidil Haram tentu saja dongeng belaka. Kisah itu berharga bukan karena fakta-faktanya, melainkan sangat bagus untuk menggambarkan paradoks Mekah di mata para penguasa Jawa (juga Nusantara): dirindukan sekaligus disangkal, diremehkan tapi juga ditinggikan.
Hal semacam itu juga menggambarkan usaha penguasa untuk mengabsahkan dirinya. Babad Nitik, sebagai contoh tradisi babad di awal perkembangan Islam di Jawa, menjadi sangat penting. Babad ini menggambarkan kepandaian keagamaan dan kemampuan magis Sultan Agung, termasuk dalam menaklukkan Sumatera dan Mekah dengan cara-cara magis. Imogiri dilukiskan sebagai Mekah-nya Jawa dan tempat pemakaman Iskandar Agung. Ia dikatakan mempunyai kemampuan terbang dan melakukan salat Jumat di Mekah secara rutin. Babad ini mewakili tradisi yang, di sepanjang pemerintahan Sultan Agung, dimaksudkan untuk menegarkan legitimasi keagamaan Mataram (Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, hal. 92).
Mengakui Otoritas Mekah
Mekah jelas kota suci bagi umat Islam sedunia. Selain menjadi tempat kelahiran Nabi Muhammad dan kemunculan Islam, di sanalah ibadah haji sebagai rukun Islam (yang kelima) dapat disempurnakan. Bagi para penguasa Nusantara yang memeluk Islam termasuk Aceh dan Mataram, Mekah dapat menyempurnakan legitimasi kekuasaan.
Otoritas Mekah diakui, sekaligus dibutuhkan, tercermin dari kebiasaan meminta gelar Sultan. Salah satunya penguasa Malaka Sultan Muhammad Syah pada 1450an (Nusa Jawa: Jaringan Asia, hal. 393). Sedangkan penguasa Jawa pertama yang dianggap menerima gelar dari Mekah adalah Pangeran Ratu (berkuasa antara 1596-1647) dengan gelar Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Mendengar kabar penguasa Banten sudah menerima gelar dari Mekah, Panembahan Hanyakrawati dari Mataram pun mengirim utusan ke Mekah untuk meminta gelar pada 1639. Utusan kembali pada 1641 dengan membawa gelar yang diminta: Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram (A History of Modern Indonesia Since C.1200, hal. 52). Kelak, jauh setelah kematiannya, barulah nama anumerta mulai melekat padanya: Sultan Agung.
Selain urusan gelar, pengakuan terhadap otoritas Mekah juga terlihat dari permintaan fatwa atau wawasan lain dari perspektif teologi. Banyak contoh terkait pokok ini.
Dua contoh dialami penguasa Malaka dan Banten. Sultan Mansyur Syah, penguasa keenam Malaka, menerima kiriman dari penguasa Mekah berupa kitab berjudul Durr Manzum. Raja Banten keempat, Abu al-Mafakhir, yang sudah disinggung di atas, mengirim utusan ke Mekah pada 1636 untuk meminta penjelasan tentang Kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk karangan Ghazali, Kitab al-Muntahi karangan Hamzah Fansuri, dan sebuah kitab tentang ajaran wahdat al-wujud. Utusan kembali dua tahun kemudian dengan membawa jawaban dari Mekah berupa kitab karya Ibn Alan al-Shiddiq (Naik Haji di Masa Silam: 1482-1890, hal. 25).
Sedangkan Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah (perempuan ketiga yang berkuasa di Aceh, 1678-1688) mengirim utusan ke Mekah dan Madinah pada 1683 dengan membawa pelbagai hadiah dan permohonan fatwa soal status pemimpin perempuan kepada Qadi Malik al-Adil di Mekah. Jawaban datang saat Zaqiyatuddin sudah meninggal dan digantikan oleh penguasa berikutnya, yang juga perempuan, Zainatuddin Kamalat Syah (bertahta pada 1688-1699). Jawabannya menyedihkan bagi Kamalat Syah: Mekah menganggap syariat Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin kerajaan. Ia pun makzul dari tahta dan digantikan oleh suaminya yang berdarah Arab, Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (Aceh: History, Politics and Culture, hal. 21).
Fakta-fakta di atas memperlihatkan pengakuan para penguasa Islam di Nusantara terhadap Mekah sebagai sumber otoritas keagamaan yang dibutuhkan untuk melegitimasi kekuasaan. Belum lagi kisah-kisah yang dituturkan dalam bentuk sastra babad yang, kendati tidak bernilai faktual, memiliki makna simbolik tentang pengakuan akan keluhuran Mekah.
Salah satunya sudah disinggung di bagian pembuka naskah ini. Kisah lain, misalnya, tentang penentuan arah kiblat Masjid Demak. Kisah yang sangat populer ini menuturkan bagaimana akurasi arah kiblat Masjid Demak ditentukan oleh, siapa lagi kalau bukan, Kalijaga yang merentangkan kedua tangannya, tangan kanan menyentuh Ka’bah dan tangan kiri menyentuh Masjid Demak (Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara, hal. 52).
Ini termasuk kisah-kisah kesaktian para tokoh yang sanggup mengatasi ruang dan waktu untuk melakukan perjalanan bolak-balik antara Jawa dan Mekah. Sultan Agung, seperti sudah disinggung di bagian pembuka, adalah salah satu tokoh yang dikonstruksi sanggup melakukan hal itu. Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar, dan beberapa waliyullah lain juga dipercaya punya kemampuan itu.
Hormat tapi Tak Pergi ke Mekah
Keagungan dan otoritas Mekah yang amat dibutuhkan untuk memperkuat posisi penguasa di Nusantara di mata para kawulanya itu, menariknya, tak membuat mereka—para penguasa ini—benar-benar pergi ke Mekah. Tidak ada satu pun raja atau sultan yang pergi ke Mekah sampai seorang sultan dari Pontianak naik haji sekitar 1880-an, menurut catatan Snouck Hurgronje yang menjadi konsul Belanda di Jedah.
Sebelum itu, hanya dua bangsawan tinggi saja yang pernah ke Mekah. Yang pertama adalah Pangeran Arya Ranumanggala, wali atau pengasuh Sultan Abdul Kadir dari Banten saat masih kecil. Yang kedua adalah Abdul Qahhar, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, yang nantinya naik tahta menggantikan ayahnya dan masyhur dengan sebutan Sultan Haji.
Alasannya macam-macam. Salah satu yang tak terhindarkan tentu ketidakpastian yang disodorkan oleh pelbagai marabahaya selama perjalanan haji. Selain pelayaran yang penuh risiko, waktu tempuh yang lama juga sangat mempengaruhi keputusan untuk tidak pergi ke Mekah. Waktu berlayar bisa berbulan-bulan dan paling sedikit, seperti tergambar dari perjalanan para utusan yang sudah disinggung sebelumnya, lawatan pergi-pulang ke Mekah bisa mencapai dua tahun.
Bahkan hingga zaman modern pada abad 20, risiko tidak berkurang sama sekali. Catatan perjalanan R. Wiranatakoesoema, Bupati Bandung, saat pergi ke Mekah memerikan bermacam bahaya, kesulitan, dan kesengsaraan mereka yang naik haji (Perjalanan Saya ke Mekkah). Bahkan hingga satu dekade lalu, mungkin hingga kini, tidak sedikit yang hendak pergi haji membuat wasiat atau pesan kepada keluarga yang ditinggalkan seakan kemungkinan tidak bisa kembali begitu besar.
Berbulan-bulan, apalagi lebih dari setahun, merupakan waktu yang terlalu lama dan berbahaya sebab bisa mengancam stabilitas kekuasaan. Jangankan dua tahun, waktu setahun pun sudah lebih dari cukup untuk menggulingkan kekuasaan yang vakum sementara. Kisah-kisah suksesi di Mataram Islam menjelaskan dengan jelas betapa intrik dan friksi di kalangan para pangeran terlalu serius untuk diremehkan.
Kendati demikian, penemuan mesin uap dan pesawat terbang yang meringkas waktu perjalanan tak juga mampu menggerakkan para penguasa. Misalnya di tlatah Mataram, baik Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta, enggan pergi naik haji. Tidak ada seorang pun yang menunaikan haji meski menggunakan gelar, di antaranya, Khalifatullah (Wakil Allah) maupun Panotogomo (Penata Agama). Hal ini berlangsung hingga sekarang. Haji Badal, salah satunya, dimaksimalkan untuk mengatasi problem ketidakhadiran para Sultan Jawa di masa modern. (Baca: Mekah-Mekah di Nusantara)
Beberapa penguasa Aceh, misalnya, mengutarakan niatan pergi ke Mekah. Mereka menerapkan syariat Islam dengan cukup ketat, menjadikan Islam sebagai agama resmi, merayakan salat Jumat dan hari raya Islam lain dengan megah, tapi tetap saja tidak ada satu pun yang berangkat ke Mekah. Padahal Sultan Malaka, antara 1411 dan 1434, berani melakukan pelayaran yang jauh dan penuh risiko. Sultan Malaka melakukan beberapa kali perjalanan sampai ke Tiongkok untuk menemui kaisar (Naik Haji di Masa Silam: 1482-1890, hal. 6).
Dua kisah, tapi merujuk tokoh yang sama, yaitu Raden Paku dan Sunan Bonang dari Jawa, sudah meninggalkan Jawa untuk pergi ke Mekah. Kisah pertama menyebutkan mereka sudah sampai di Malaka pada awal abad 16. Namun mereka kembali ke Jawa karena nasihat ayah Raden Paku untuk membatalkan pergi ke Mekah. Kisah kedua, Raden Paku dan Sunang Bonang sudah sampai di Pasai. Namun seorang ulama bernama Abdulisbasir menyarankan mereka mengurungkan rencana pergi haji dengan alasan: syiar Islam di Jawa lebih membutuhkan kehadiran mereka berdua (Naik Haji di Masa Silam: 1482-1890, hal. 9).
Bahkan Sultan Mahmud Syah dari Malaka (berkuasa antara 1488-1511) dikisahkan dalam beberapa laporan (dari Tome Pires maupun Alfonso d’Albqeurque) sebagai penguasa yang sangat sombong dalam membesar-besarkan kekuatan Malaka, menyatakan dengan tegas enggan pergi ke Mekah dan untuk itu ia bertikai dengan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat Syah, yang sangat ingin melihat Mekah.
Kesombongan dan kepongahan inilah yang dipercaya rakyatnya sebagai penyebab kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Mahmud Syah kalah dari armada Portugis yang dipimpin Alfonso d’Albuquerque, orang yang ikut menulis kesaksian soal kepongahan dan penyangkalan Mahmud Syah terhadap Mekah.
Kontestasi Geografi Sakral
Aceh dijuluki sebagai “Serambi Mekah”. Julukan itu, bagi kebanyakan orang, merujuk posisi Aceh sebagai kawasan Indonesia yang paling dekat dengan Mekah. Siapa pun yang ingin berlayar menuju Mekah sudah pasti melewati Selat Malaka dan singgah lebih dulu di Aceh.
Julukan “Serambi Mekah” sudah muncul dalam Bustan al-Salatin karangan Nurudin Ar-Raniri pada 1636. Salah satu barisnya menyebut: “Sesungguhnya negeri Aceh Darussalam ini Serambi Mekah Allah yang Mahamulia.”
Namun, Henri Chambert-Loir menyodorkan kemungkinan lain: apakah sebutan “Serambi Mekah” merujuk Bandar Aceh sebagai pelabuhan berangkat/singgah untuk naik haji ataukah sebagai kota yang istimewa dan luar biasa yang menyerupai dan menandingi Mekah?
Dalam Hikayat Aceh (ditulis sekira 1630 pada masa pemerintahan Iskandar Muda), yang mengisahkan secara panjang lebar mengenai utusan yang datang dari Istanbul ke Sumatera, menyatakan bahwa kedua penguasa yang paling besar di dunia waktu itu adalah Sultan Rum (Ottoman Turki) dan Sultan Aceh—"sebagaimana pula Tuhan dahulu menciptakan dua penguasa yang mahakuasa: Nabi Sulaiman dan Raja Alexander." (Nusa Jawa: Jaringan Asia, hal. 52)
Hikayat Aceh juga menyebutkan bahwa utusan dari Istanbul itu melihat dengan penuh takjub betapa megah dan besar Masjid Aceh dengan jumlah jamaah yang luar biasa. Hikayat Aceh menulis bahwa utusan itu memberi laporan bahwa “yang mengatasi banyaknya orang sembayang di Masjid Aceh hanyalah Masjidil Haram yang mulia itu jua”.
Selama masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ribuan orang dan puluhan gajah terkumpul setiap Jumat untuk mengantarkan Sultan Aceh ke masjid. Pada 1613 prosesi itu melibatkan 200 ekor gajah dan lebih dari 4 ribu orang dan diikuti para jemaah, kontes binatang, dan pertunjukan-pertunjukan lain. Belum lagi pada momen luar biasa dahsyat untuk merayakan Idul Adha, misalnya pada 1637, yang diramaikan dengan ribuan penunggang kuda, tentara dan ratusan gajah yang berbaris, serta pemotongan 500 ekor sapi (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, hal 212).
Inilah yang disebut Chambert-Loir sebagai “kesulitan mengubah konsep tradisional tentang geografi suci.”
Keengganan pergi haji ke Mekah bukanlah semata persoalan otoritas yang bakal menjadikan penguasa Nusantara tunduk pada Mekah. Ia juga bukan sekadar penolakan terhadap Mekah sebagai kota suci atau haji sebagai rukun Islam, dan bukan sebatas segala macam faktor kesulitan perjalanan. Melainkan, faktor utamanya, perkara mustahil menggeser geografi suci.
Bagi para raja Mataram, sebelum atau sesudah pembagian Surakarta dan Yogyakarta, pusat dunia berada di tempat mereka bertakhta. Betapapun silsilah mereka, misalnya merujuk Babad Tanah Jawi, adalah para dewa dari India atau Nabi Adam, tetapi pusat dunia tetaplah di Mataram. Bukan di tempat lain, bahkan Mekah sekalipun.
Nama dua wangsa kerajaan dan dua wangsa kepangeranan di Jawa mencerminkan hal itu dengan tepat: Pakubuwana di Surakarta (Yang Jadi Sumbu Semesta), Hamengkubuwana di Yogyakarta (Yang Memangku Semesta), Mangkunegara di Surakarta (Yang Memangku Negara), dan Pakualam di Yogyakarta (Yang Jadi Sumbu Alam).
Sebelum Mataram pecah menjadi dua lewat Perjanjian Giyanti 1755, banyak penguasa Mataram menggunakan gelar Amangkurat yang menyiratkan Mataram sebagai pusat. “Amangku” berarti “memangku”, sedangkan “rat” berarti “bumi”. Ada empat raja Mataram yang menggunakan gelar Amangkurat, dari Amangkurat I hingga Amangkurat IV.
Kemarahan Sultan Agung yang diulas di awal naskah ini, atau pensejajaran Masjid Aceh/Banda Aceh dengan Masjidil Haram/Mekah dalam Hikayat Aceh terkait julukan "Serambi Mekah", menyiratkan adanya kontestasi yang menyeruak di tengah-tengah pengakuan terhadap otoritas Mekah sebagai sumber legitimasi keagamaan dan kekuasaan. Mekah dan Masjidil Haram serta Ka’bah dihormati dan dirindukan, tapi juga disikapi dengan kehati-hatian.
Jalan tengah tentu saja mesti ditemukan. Gumpalan tanah dari Mekah yang dilemparkan Kalijaga ke tanah Jawa, yang berujung pemilihan Imogiri sebagai pemakaman raja-raja Mataram Islam, atau menautkan Ka’bah dengan Masjid Demak oleh tangan Kalijaga, adalah bahasa simbolik untuk menegosiasikan “sengketa” mengenai geografi suci ini. Melalui kisah-kisah simbolik itu, Mekah dan Jawa dibayangkan sebagai dua geografi suci yang sama-sama penting.
Dan penalaran mistis macam itu juga bukan barang baru dalam alam pikiran orang Jawa. Teks Jawa dari abad 15, Tantu Panggelaran (diperkirakan ditulis pada 1557), mengutarakan penciptaan manusia Jawa. Batara Guru yang sedang bertapa di Dieng meminta Brahma dan Wishnu untuk mengisi Jawa dengan manusia. Karena pulau Jawa masih terombang-ambing di lautan, para Dewa memutuskan memindahkan Gunung Mahameru di India sebagai paku yang ditancapkan di Jawa agar ajek. Brahma kemudian menciptakan laki-laki dan Wisnu menciptakan perempuan (Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran, hal 1-4).
Sampai di sini, tidak bisa tidak, Babad Tanah Jawi menarik untuk disebut. Diperkirakan ditulis awal abad 18, babad ini merunutkan silsilah para penguasa Jawa. Teks masyhur ini menyebut tokoh seperti Adam dan Hawa dan Nabi Sis sebagai leluhur. Namun, setelah nama-nama Islam(i) itu, Babad Tanah Jawi memasukkan nama-nama para Dewa seperti Hyang Wenang hingga Batara Guru. Dengan kata lain, antara India-Mahameru dan Mekah-Ka'bah pun berdamai dalam imajinasi dan nalar mistis orang Jawa.
Penulis: Zen RS
Editor: Fahri Salam