Menuju konten utama

Mekkah di Bawah Naungan Amerika

Tanpa bantuan persenjataan pertahanan udara dari Amerika Serikat, Mekkah dan kota-kota besar di Arab Saudi seperti Jeddah, Riyadh dan Madinah mungkin akan luluh lantak dengan mudah saat dihadapkan serangan misil balistik yang dilakukan milisi Houthi di Yaman.

Mekkah di Bawah Naungan Amerika
Peluru kendali Tentara Militer Yaman menyerang pangkalan Militer Arab Saudi dari Provinsi Asir, Yaman. [Foto/Reuters/Yemen’s Defence Ministry]

tirto.id - Isu sektarian membuat negara-negara Timur Tengah terpolarisasi menjadi dua kutub, Syiah dan Sunni yang mengerucut pada patron kepemimpinan Iran dan Arab Saudi. Keduanya berebut status penguasa di Timur Tengah.

Kemajuan pesat teknologi dan lobi-lobi Teheran membuat Saudi kini kian terjepit. Peta geopolitik yang dulunya berpihak pada Saudi kini mulai menggencet mereka. Saudi kini dikepung oleh negara-negara yang berpihak pada Iran. Di utara, tumbangnya rezim Saddam Hussein membuat pemerintahan Irak kini didominasi oleh kelompok Syiah yang berpatron pada Iran.

Di selatan, kecamuk perang saudara di Yaman dengan kebangkitan milisi Houthi memukul mundur pasukan loyalis presiden Abdrabbuh Mansur Hadi membuat Saudi gusar. Wajar jika Saudi begitu getol memerangi Houthi dan mendorong sekutunya, Hadi kembali ke tampuk kekuasaan. Sudah jadi rahasia umum bahwa Houthi mendapat dukungan penuh entah itu senjata ataupun dana dari Iran.

Selain utara dan selatan, ancaman terbesar tentunya terletak di timur. Di timur perbatasan, Saudi dan Iran hanya dipisahkan Teluk Persia yang rerata jarak pemisah laut itu berkisar 250 kilometer saja.

Kemajuan pesat teknologi angkatan perang Iran dan hubungan mesra dengan Rusia membuat Saudi ketir-ketir waspada, terlebih pamor pelindung mereka alias Amerika Serikat di Timur Tengah sudah memudar. Salah satu buktinya AS yang selalu mengklaim sebagai polisi dunia itu tidak bisa berkutik menghadapi ISIS atau meredakan konflik di Suriah.

Data Global Fire Power, secara head to head jika ditilik dari alutsista kedua negara, Saudi sebenarnya lebih unggul. Saudi memiliki 245 jet temput sedang Iran hanya 137 pesawat. Begitupun dalam konteks kendaraan lapis baja, Iran kalah dua kali lipat, 7206 berbanding 3293.

Iran hanya unggul dalam konteks kekuatan angkatan laut. Mereka memiliki 33 kapal selam, 6 kapal frigat, 3 korvet dan 254 kapal patroli, sedang Saudi hanya punya 7 frigat, 4 korvet dan 39 kapal patroli. Untuk kekuatan di laut, Saudi tampaknya menyerahkan penuh pada AS.

Dalam konteks perang jarak jauh, Saudi tak perlu khawatir karena alutsista AU Iran rata-rata adalah barang usang peninggalan perang Irak-Iran medio 80-an. Berbeda dengan Saudi yang getol membeli jet-jet keluaran terbaru AS yang harganya kelewat mahal. Embargo jadi sebab ketertinggalan ini. Meski begitu embargo juga yang membikin Iran bisa mandiri.

Mereka sukses membuat pesawat tempur dengan tipe HESA Saeqeh, HESA Azarakhsh dan HESA Simorgh pada periode 2000-an. Sayangnya jet-jet ini belum teruji kualitas jika harus berhadapan dengan pesawat tempur sekelas F-16 series atau Sukhoi.

Serangan potensial terbesar dari Iran kepada Saudi terletak dari rudal balistik yang dimiliki Teheran.

Steven A Hildreth ahli pertahanan misil di hadapan Kongres Amerika menyebut Iran memiliki persediaan misil balistik terbesar di Timur Tengah. Dalam satu dekade terakhir Iran adalah negara ketiga yang paling aktif melakukan ujicoba misil setelah Rusia dan Cina.

Iran diperkirakan mempunyai pangkalan rudal balistik di Kermansyah, Shahrud, Mashad, Tabriz, Qom, Imam, Khorramabad. Iran sukses membuat Misil balistik jarak pendek (SRBMs) dan Misil balistik jarak menengah (MRBMs). Tapi mereka belum berhasil mengembangkan misil balistik antar benua (ICBMs).

Dalam konteks SRBMs, Iran memiliki Shabab 1, Shabab 2, Qiam dan Fateh-110. Area jangkauan misil ini berkisar 10-300 kilometer. Bagi Saudi SRBMs Iran bukanlah ancaman potensial karena tak bisa menjangkau kota-kota besar macam Riyadh, Mekkah, Madinah atau Jeddah.

Masalahnya, Iran begitu getol mengembangkan MRBMs. Pada tipe Shahab misalnya kini pengembangan misil Shahab sudah mencapai tipe 6. Selain itu, mereka mengembangkan Ghadr-1 dan Sejil/Sejjil 2/Ashura yang area jangkauannya hingga 3000 kilometer. Itu artinya jangankan meluluhlantakkan Saudi, mengirim misil hingga Kiev, Ukraina pun Teheran mampu.

Laporan Claremont & George C. Marshall Institute menyebut pada pengembangan Sejjil 3, jangkauan maksimum mencapai 4.000 kilometer yang artinya misil Iran bisa mencapai Perancis dan Jerman. Tidak hanya terampil memproduksi, Iran pun punya pengalaman dalam perang misil sebenarnya saat berseteru dengan Irak pada dekade 80-an.

Ketakutan Saudi terhadap ancaman dari udara khususnya Iran, bisa terlihat pada komposisi angkatan perang mereka. Jika di Indonesia hanya mengenal AD, AL dan AU maka di Saudi ditambahi dengan Angkatan Pertahanan Udara (RSADF) dan Angkatan Persenjataan Misil (RSSMF).

Jika ditilik dari kesamaan komponen pertahanan meskinya RSADF dan RSSMF ada dalam satu angkatan yang sama, namun entah kenapa Saudi memecahnya. RSADF dan RSMFF punya peran berbeda, RSADF bersifat defensif, RSSMF ofensif.

Peran RSSMF semakin terlihat setelah Saudi dan beberapa negara Arab inisiatif bekerja sama dengan Pakistan yang memiliki nuklir untuk menghadang kemajuan nuklir Iran pada 2009. Berhubung AS tidak begitu mengembangkan misil balistik, maka Saudi pun memakai Dongfeng-3 dan Dongfeng-21 milik Cina sebagai ofensif. Saat ini, Saudi setidaknya punca 36 Dongfeng. Angka ini tentu kalah jauh ketimbang Iran.

Infografik Pertahanan udara saudi

Pertahanan udara Saudi terdiri dari radar intai jarak jauh Lockheed Martin AN/FPS-117, radar 3 dimensi tipe AN/TPS-43 buatan Northrop Grumman 3 serta rudal pertahanan MIM-23 Hawk dan misil patrior MIM-104 buatan Raytheon. Seperti diketahui, semua perusahaan itu merupakan perusahaan AS. Alhasil, pertahanan udara Saudi memang amat bergantung pada AS.

Untuk mengintegrasikan sistem pertahanan misil, Saudi membentuk sistem bertajuk “Peace Shield”, untuk membangun sistem ini dana $5,4 miliar telah Saudi gelontorkan pada 1996 silam.

Sebuah kejadian lucu terjadi dalam konteks penguatan pertahanan udara ini. Seminggu setelah AS berdamai dengan Iran dan sepakat terkait program baru nuklir Teheran, Saudi langsung memesan 600 misil patriot PAC-3 senilai $5 miliar.

Selain itu, mereka kini sedang giat-giatnya untuk meng-upgrade sistem pertahanan dengan membeli Terminal High Altitude Area Defend (THAAD). Dengan THAAD, jangkauan intersepsi misil lawan bisa lebih jauh ketimbang sistem lain. Di Timteng baru Qatar yang memakainya, Saudi bisa menggunakan THAAD 4-6 tahun ke depan. Bagi Saudi dan aliansinya, Iran adalah ancaman.

Iran memiliki program rudal terbesar dan paling beragam di Timur Tengah, yang terdiri dari rudal jarak pendek, jarak jauh, anti-kapal dan lain-lain. Para ahli mengatakan, Saudi dan negara Sunni lain di Timur Tengah setidaknya hanya memiliki waktu empat menit untuk bertindak ketika Iran menembakan rudalnya.

Meski begitu akurasi dan kekuatan misil Iran melewati perisai udara Saudi memang dipertanyakan jika berkaca dari kasus serangan milisi Houthi ke Saudi. Rudal Zelzal yang dipasok Iran ke Houthi dengan mudah digagalkan oleh rudal-rudal patriot milik AS. Karena itulah bagi Saudi, mereka sedikit tidak begitu khawatir, kota-kota besar macam Mekkah, Medinah, Riyadh dan Jeddah tetap aman karena di bawah perlindungan Amerika.

Baca juga artikel terkait INSIDEN MEKKAH atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani