Menuju konten utama

Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan

Negara Indonesia pernah menganut sistem Demokrasi Parlementer mulai 17 Agustus 1945 sampai 5 Juli 1959

Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan
Ilustrasi mozaik Mohammad Hatta. tirto.id/Gery

tirto.id - Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan di mana parlemen negara punya peran penting. Pada sistem ini, rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur urusan politik dan boleh membuat partai. Selain itu, para anggota kabinet juga diperbolehkan mengkritik pemerintah jika tidak setuju terhadap sesuatu.

Negara Indonesia ternyata pernah menganut sistem ini mulai 17 Agustus 1945 sampai 5 Juli 1959. Tokoh-tokoh Indonesia yang mempercayai dibutuhkannya Demokrasi Parlementer atau dikenal Demokrasi Liberal di antaranya, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.

Menurut keduanya, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.

Dengan kata lain, Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122) menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.

Terdapat sejarah tentang kelahiran paham Demokrasi Parlementer yang dikatakan berawal dari Demokrasi secara umum di salah satu kota polis, Athena, di zaman Yunani Kuno, hingga meluas ke Eropa, dan akhirnya dikenal dunia. Selain itu, ada juga ciri-ciri, kekurangan, dan kelebihan dari sistem tersebut.

Sejarah Demokrasi Parlementer

Cikal-bakal sistem Demokrasi Parlementer terlacak di zaman peradaban Yunani Kuno, tepatnya di sebuah kota polis yang disebut Athena. Dalam makalah Demokrasi, Dulu, Kini, dan Esok (2009) karya Wasino, terungkap bahwa polis dikenal saat itu sebagai tempat pusat ilmu dan pembelajaran.

Di sana, pembuatan keputusan terkait masalah masyarakat dan kehidupan kota dilakukan dengan mencari suara terbanyak (musyawarah). Akan tetapi, seiring hilangnya peradaban Yunani Kuno, sistem demokrasi ini juga turut memudar (Faud Hasan, Bab Pengantar, dalam Plato, ApologiaL Pidato Sicrates yang diabadikan Plato, 1986:29-31).

Di zaman abad pertengahan yang beralih ke modern, Eropa mengalami masa Reinesance atau zaman pencerahan. Demokrasi yang semula kehilangan eksistensi mulai digali kembali di daratan Eropa. Bukan hanya itu, bahkan pemikiran sistem tersebut menjadi unsur fundamental yang dikatakan sebagai pedoman hidup beberapa tokoh.

Simon Petrus L. Tjahjadi dalam Petualangan Intelektual (2014:271-277) mengungkapkan, tokoh yang terkenal dalam sistem demokrasi adalah John Locke, Rossoeau, dan Montesque. Teori yang didasari oleh para filsuf Yunani Kuno saat itu dirancang ulang sedemikian rupa oleh mereka hingga melahirkan berbagai macam aliran, salah satunya demokrasi parlementer.

Setelah itu, banyak negara Eropa dan dunia yang menggunakan Demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Di Indonesia, Mohammad Hatta mengamini bahwa sistem dengan memperhatikan suara masyarakat dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah negara.

Misalnya dalam bidang politik, ia menekankan adanya musyawarah. Di ranah ekonomi, ia menyarankan dibutuhkannya gerakan gotong royong membangun ekonomi rakyat bersama.

Sementara itu, untuk bidang sosial, ia menyarankan untuk memberi jaminan terhadap perkembangan SDM. Singkatnya, rakyat diprioritaskan sejahtera ketika menjadi bagian negara.

Ciri-ciri Sistem Parlementer

1. Pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri dan presiden atau raja berperan sebagai kepala negara.

2. Lembaga eksekutif, presiden, dipilih oleh lembaga legislatif. Lalu, raja dipilah berdasarkan peraturan atau undang-undang.

3. Perdana menteri punya hak istimewa (prerogatif) yang bisa mengangkat dan menurunkan menteri.

4. Menteri terbatas tanggung jawabnya pada lembaga legislatif.

5. Lembaga eksekutif bertanggung jawab atas kekuasaan legislatif.

6. Lembaga legislatif bisa menurunkan lembaga eksekutif.

7. Parlemen dianggap penguasa utama negara.

Kekurangan Demokrasi Parlementer

1. Jabatan kuasa eksekutif (kabinet) bergantung pada dukungan parlemen yang berakibat suatu waktu bisa dijatuhkan parlemen.

2. Periode pemerintahan eksekutif tidak selalu berjalan sesuai tergantung suara dari parlemen.

3. Waktu pelaksanaan Pemilu (Pemilihan Umum) selalu berubah-ubah.

4. Eksekutif berpotensi mengendalikan parlemen ketika mayoritas pendukung atau teman partainya ternyata banyak yang menjadi parlemen.

5. Parlemen dijadikan wadah kaderisasi para calon eksekutif. Mereka dimanfaatkan untuk mengisi jabatan eksekutif dan menteri dengan pengalamannya selama parlemen.

Kelebihan Demokrasi Parlementer

1. Pembentukan kebijakan dapat dilakukan dengan cepat karena adanya musyawarah antara eksekutif dan legislatif yang merupakan satu bagian partai.

2. Pelaksanaan, tanggung jawab dan pembuatan kebijakan jelas.

3. Pengawasan parlemen terhadap kabinet ketat sehingga mengurangi potensi kesalahan dalam pelaksanaan pemerintahan.

4. Keputusan jika terjadi suatu masalah dapat didapatkan tanpa memakan banyak waktu.

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI PARLEMENTER atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Politik
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yulaika Ramadhani