Menuju konten utama
Pendidikan Kewarganegaraan

Sejarah Demokrasi Parlementer di Indonesia dan Kabinetnya

Latar belakang demokrasi parlementer adalah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945. Berikut sejarah demokrasi parlementer.

Sejarah Demokrasi Parlementer di Indonesia dan Kabinetnya
Djuanda Kartawidjaja (berdiri); 1952. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Dalam sejarahnya, Negara Indonesia tidak serta-merta langsung menerapkan sistem pemerintahan presidensial seperti sekarang ini.

Sistem pemerintahan yang dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melalui sejarah panjang. Sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa perubahan sistem.

Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan presidensial saat ini, Indonesia pernah berada di masa demokrasi parlementer. Sejarah demokrasi parlementer di Indonesia berjalan sejak awal kemerdekaan hingga 5 Juli 1959.

Latar Belakang Demokrasi Parlementer di Indonesia

Latar belakang demokrasi parlementer di Indonesia, yang juga dikenal sebagai demokrasi liberal, ialah jatuhnya Kabinet Presidensial Pertama pada 14 November 1945.

Jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945, yang diikuti oleh Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945. Maklumat Pemerintah tersebut berisi seruan untuk mendirikan partai politik di Indonesia, sekaligus menandai titik mula menuju sistem politik yang lebih pluralistik dan demokratis.

Sebagai kelanjutan dari Maklumat Pemerintah, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengumumkan perubahan itu melalui laporan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen. Dalam hal ini, Parlemen adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Usulan BPKNIP itu lantas disetujui oleh Presiden Soekarno pada 14 November 1945. Sejak itulah sejarah demokrasi parlementer dimulai. Sistem pemerintahan di Indonesia berubah secara otomatis dari sistem presidensial lalu memasuki masa demokrasi parlementer.

Tokoh-tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya demokrasi parlementer di Indonesia di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Menurut mereka, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.

Mohammad Hatta, dalam Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122) menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.

Kelebihan sistem pemerintahan parlementer adalah munculnya partai politik baru yang bebas berpendapat dan mengkritik pemerintahan, sebagaimana ditulis oleh Ahmad Muslih, dkk., dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96).

Namun, seiring waktu, demokrasi parlementer melahirkan dampak negatif. Kekurangan sistem demokrasi parlementer yang nyata terlihat setelah beberapa tahun adalah menimbulkan persaingan tidak sehat.

Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia (1950-1959)

Sejarah demokrasi parlementer di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1950, ketika Natsir terpilih sebagai perdana menteri, dengan menganut Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Masa demokrasi parlementer berlanjut hingga sembilan tahun kemudian.

Berikut ini sejarah demokrasi parlementer di Indonesia sejak masa pemerintahan Kabinet Natsir hingga Kabinet Djuanda:

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Sejarah politik masa demokrasi liberal bermula sejak negara dipimpin Kabinet Natsir. Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan.

Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas.

Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi.

PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dikeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.

2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)

PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi.

Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen.

Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)

Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955.

Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)

Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis.

Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)

Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini, dari persoalan Irian Barat, otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan sebagainya.

Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuai kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)

Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan.

Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.

Di samping itu, ada banyak pemberontakan yang terjadi selama Djuanda menjabat perdana menteri, termasuk Tragedi Cikini, peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Soekarno.

Akhir Demokrasi Liberal di Indonesia

Kabinet Djuanda yang memerintah Indonesia pada periode 1957-1959 mengalami banyak masalah. Sejumlah pemberontakan terjadi di daerah-daerah, termasuk Permesta, juga percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dalam Tragedi Cikini.

Singkatnya masa demokrasi parlementer, terutama saat dipegang Kabinet Djuanda, membuat keadaan politik Indonesia tidak stabil. Itulah yang menjadi cikal bakal sekaligus latar belakang demokrasi parlementer dibubarkan.

Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Merujuk dekrit tersebut, Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Demokrasi liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem demokrasi terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer bisa disimak di bawah ini:

  • Dipimpin oleh perdana menteri dan presiden atau raja yang berperan sebagai kepala negara.
  • Lembaga eksekutif dan presiden dipilih oleh lembaga legislatif. Sementara itu, jika dipimpin oleh raja, penentuannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
  • Perdana menteri memiliki hak prerogatif yang bisa mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya.
  • Para menteri bertanggung jawab terhadap lembaga legislatif, bukan kepada presiden.
  • Lembaga eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif.
  • Lembaga legislatif dapat memberhentikan lembaga eksekutif.
  • Penguasa utama negara adalah parlemen.

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI PARLEMENTER atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin