tirto.id - (Naskah ketiga dari empat serial. Bagian sebelumnya dapat dibaca di sini: Harian Merdeka Bersiasat Meniti Revolusi & Menyongsong Era Baru)
=====
Di tengah mekarnya jurnalisme politik di alam Demokrasi Parlementer 1950-an, harian Merdeka pimpinan B.M. Diah memilih tetap independen. Merdeka tak mau menjadi koran propaganda politik, meski Diah sendiri secara pribadi adalah simpatisan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Ikatan politik yang nyata dengan satu partai memang tak terlihat, tapi selama warsa 1952 sampai 1959 terang ia berada di sisi kaum nasionalis.Karenanya, garis editorial Merdeka tidak jarang berpadu dengan suara PNI.
Di seberangnya, PSI dan Masjumi yang sejak 1948 bergantian keluar-masuk kabinet pun menjadi sasaran kritik-kritik Merdeka melalui editorial dan perspektif pemberitaannya. Ada beberapa fragmen peristiwa yang menandai bulan madu Merdeka dan pemerintah, mulai dari transisi kabinet, resah-rusuh terkait MSA, Peristiwa 17 Oktober 1952, dan pergolakan daerah antara 1956 hingga 1958.
Pergantian kabinet yang berlangsung relatif cepat sejak 1950 tak pernah absen jadi fokus berita dan editorial Merdeka. Komposisi Kabinet Natsir yang dibentuk 6 Oktober 1950, misalnya, dikritik Merdeka karena tidak menyertakan satupun menteri dari PNI dan membagi-bagi jatah menteri untuk koalisi Masjumi dan PSI.
Kabinet pincang ini jadi sasaran empuk sewaktu perundingan pembentukan Uni Indonesia-Belanda dinyatakan gagal pada 1 Januari 1951. Ujungnya, Kabinet Natsir pun jatuh pada 20 Maret 1951. Menyusul kemudian, pembentukan kabinet Masjumi yang baru pada 26 April yang dipimpin oleh Soekiman Wirjosandjojo.
Kritik Merdeka terhadap Kabinet Soekiman pun tak kalah berat. Misalnya dalam soal perjanjian damai dengan Jepang yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo di San Francisco. Langkah itu menuai reaksi keras dari publik karena luka zaman kalabendu yang saat itu belum kering.
Tindakan lain dari Soebardjo yang juga jadi sorotanMerdeka ialah pertimbangannya terkait Mutual Security Act (MSA) yang ditawarkan oleh Merle Cochran, anggota Komisi Tiga Negara yang saat itu menjabat Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.
Secara khusus, Diah menulis artikel panjang yang mengulas duduk perkara MSA dalam edisi 7 Februari 1952.
Antara lain Diah menekankan, “Djika diminta pada kita untuk mau atau tidak menandatangani MSA, haruslah kita njatakan bahwa kita hanja sedia meneruskan bagian perdjandjian bantuan ekonomi itu agar tidak menghentikan ECA jang dulu bagi Indonesia.”
ECA yang dimaksud Diah ialah nama lain Marshall Plan yang telah ditandatangani Mohammad Hatta sebagai perdana menteri pada 1948.
Mendukung Sukarno
Lalu dalam memberitakan Peristiwa 17 Oktober 1952, Merdeka terang-terangan menyatakan dukungan pada pendirian Sukarno yang menolak membubarkan DPR atas tuntutan Kepala Staf Angkatan Darat A.H. Nasution.
Dalam kemelut itu, Nasution menilai dua mosi parlemen yang diarahkan pada Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwana IX telah kelewat batas. Itu dianggap terlalu mencampuri urusan internal tentara.
Peristiwa yang di kemudian hari dianggap sebagai krisis politik pertama sesudah Indonesia berdaulat itu sempat membawa risiko keselamatan pribadi Diah. Pasalnya, dia sampai dicari-cari tentara dari faksi proponen Nasution hingga terpaksa menginap sementara di rumah temannya.
Sementara itu, Merdeka juga tidak selangkah pun mundur dari dukungannya pada Sukarno dan melawan arus federalisme dalam pemberitaan perdebatan dasar negara di Konstituante dan menanggapi pergolakan daerah yang berujung PRRI. Dukungan berlanjut sampai pada Konsepsi Presiden 21 Februari 1957 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Garis editorial nonpartisan dan propemerintah ini ditempuh Merdeka secara sadar. Itu dilakukan lantaran, dalam penilaian Diah, Sukarno sejatinya berjuang mempertahankan Republik Proklamasi yang waktu itu dirongrong kepentingan kanan-kiri, mulai dari parlemen, tentara, sampai partai-partai.
“Karena sikap dan jasanya itu, Diah diangkat Sukarno menjadi Duta Besar di Cekoslowakia, Hongaria, Inggris, dan Thailand (1959-1965),” catat Rosihan Anwar dalam obituarinya untuk Diah yang dimuat dalam kumpulan In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002).
Pergantian Komandan Redaksi
Penunjukan Diah sebagai duta besar ke Praha membawa ombak di tubuh redaksi Merdeka.Absennya Diah yang merupakan satu-satunya komandan di ruang redaksi terang membawa pengaruh besar.
Pula, Sukarno sudah mengultimatum agar Merdeka jangan sampai jatuh ke tangan orang yang setengah hati mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
“Kalau surat kabarmu itu tidak berada di tangan orang yang progresif revolusioner, akan kupanggil kau pulang,” tegas Sukarno.
Tak heran, sampai jelang keberangkatannya, Diah gusar lantaran tak kunjung mendapatkan calon yang pas. Berpacu dengan waktu dan terus didesak, Diah akhirnya menyerahkan satu nama: Joesoef Isak.
Joesoef waktu itu menjabat redaksi pertama Merdeka. Sebelumnya,dia adalah wartawan Berita Indonesia sejak 1945. Saat media itu berikut awaknya diakuisisi oleh perusaahan yang menaungi Merdeka pada 1949, Joesoef pun tak terkecuali.
Terhitung sejak 1 Oktober 1959—persis pula di hari ulang tahun Merdeka ke-14, jabatan pemimpin redaksi resmi berpindah tangan pertama kali.
“Ia masih berumur 31 tahun dan gemar membaca, terutama karya-karya Soekarno, Tan Malaka, Sjahrir, sampai Karl Marx dan Mao Zedong. Paling tidak itu memenuhi tuntutan Soekarno untuk menempatkan seseorang yang progresif revolusioner sebagai pemimpin redaksi Merdeka,” tulis Eka Kurniawan dalam feature sejarah “Aku Masih Wartawan” yang dimuat majalah Pantau edisi Mei 2001.
Terkait kepemimpinan Joesoef, J.R. Chaniago dkk. dalam buku putih Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka 1945-1985 (1987, hlm. 73) menulis, “Pada periode awal asuhan Joesoef, Merdeka tampil sebagai koran pembela Manipol dan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik Presiden Sukarno yang paling gigih.”
Ini sesuai dengan amanat Sukarno dan harapan Diah sebelum berangkat. Meskipun dipimpin orang baru, Diah tidak serta-merta lepas tangan dari urusan redaksi. Dari jauh, dia masih mengontrol ke mana Joesoef mengarahkan haluan korannya.
“Kala Sukarno berdiri paling depan memimpin Asia Afrika menentang Amerika, Joesoef membawa Merdeka mendukung Soekarno. Dan di tengah pertikaian komunis dan antikomunis, Joesoef dianggap sudah kiri dan dekat dengan PKI,” tulis Eka.
Joesoef Isak Didepak
Desas-desus kedekatan Joesoef dengan PKI dan membanting setir Merdeka ke kiri inilah yang pelan tapi pasti sampai juga ke telinga Diah di seberang lautan. Joesoef sendiri tegas-tegas menyanggah tuduhan liar ini.
“PKI menganggap aku orang PSI, dan orang PSI menganggap aku PKI,” tukasnya kepada Eka.
Adalah Ketua Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI) Suhardiman yang pertama kali membisikkan Diah ihwal penyelewengan Joesoef. Waktu itu, Diah bertemu Suhardiman sebagai Duta Besar RI di London.
Menurut Suhardiman, gelagat simpati Joesoef terhadap PKI telah membelokkan garis politik Merdeka menjadi lebih prokomunis, antara lain ditandai porsi berita SOKSI yang kian sedikit.
Cerita berlanjut saat Diah singgah di Jakarta untuk Konferensi Maphilindo pada 1963. Kala itu, dia diundang Panglima Kodam IX/Hasanuddin Kolonel M. Jusuf untuk menghadiri peringatan ulang tahun kemerdekaan di Makassar. Pada kesempatan itu, Diah mengikutsertakan Hiswara Darmasaputera yang juga ring satu di redaksi Merdeka.
Di sanalah, untuk pertama kalinya, tercetus gagasan untuk mendirikan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Tujuan utama BPS adalah untuk meluruskan ajaran Sukarno yang saat itu dinilai telah diperalat PKI. Syaratnya, Joesoef Isak musti angkat kaki dari Merdeka.
Skenario Makassar ini tentu saja berada di luar pengetahuan Joesoef. Apa yang dia dapat kemudian adalah pemberhentian sepihak dari jabatan pemimpin redaksi dan penempatan baru sebagai pemimpin umum.
Sekilas, kenaikan jabatan itu terlihat mentereng. Semestinya, Joesoef kini punya wewenang lebih, tidak hanya untuk menentukan arah politik harian Merdeka, tapi juga redaksi, percetakan, bahkan anak usaha majalah Merdeka. Namun alih-alih wewenangnya bertambah, promosi itu justru lebih cocok disebut pendepakan secara halus.
Meski kewenangan dan fungsi kewartawanannya dipreteli, Diah masih memperbolehkan Joesoef menulis editorial. Namun, naskahnya harus melewati supervisi dari Hiswara selaku pemimpin redaksi yang baru. Joesoef tentu menolak cara Diah yang “menendangnya ke atas” ini.
Terhitung sejak 20 Agustus 1963, Joesoef sudah tidak aktif di Merdeka. Soal pemecatan ini lantas menjadi bahan pemberitaan Harian Rakjat dan Bintang Timur selama berpekan-pekan. Keduanya membingkai beritanya sebagai contoh buruk relasi majikan-buruh dalam perusahaan.
Tak ubahnya blessing in disguise, pemecatan ini kemudian membuka jalan untuk Joesoef lebih moncer di luar Merdeka. Dia tercatat naik ke jajaranpimpinan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta. Sampai kemudian, Sukarno merestuinya menjadi nakhoda Afro-Asian Journalist Association yang berkantor di Wisma Warta, Jakarta.
Bersambung...
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi