tirto.id - Terhitung sejak 20 Agustus 1963, Joesoef Isak sudah tidak aktif di harianMerdeka. Posisi pemimpin redaksi kini berpindah ke tangan Hiswara Darmasaputera. Di bawah kepemimpinan Hiswara, garis politik Merdeka kembali ke posisi tengah-kanan.
Harian Merdeka pun menjadi lebih kritis terhadap berita maupun garis politik media-media kiri, sepertiHarian Rakjat dan Bintang Timur. Merdeka antara lain mulai mengecam praktik aksi-aksi sepihak simpatisan PKI di daerah. Aksi-aksi ini gencar dibanggakan oleh Harian Rakjat sebagai pencapaian UUPA/UUPBH 1960.
Merdeka juga mengoreksi pernyataan Aidit di sebuah forum di Peking, Tiongkok, tentang Yugoslavia. Tak ketinggalan, Merdeka mengobservasi garis Nasakom yang semakin hari dianggap semakin menguntungkan kaum komunis dan menenggelamkan unsur nasionalis. Sikap oposisi terhadap PKI dan Harian Rakjat ini antara lain mulai menimbulkan polemik-polemik kecil yang berpuncak pada polemik mengenai Sukarnoisme.
Merdeka sejatinya tidak bermaksud memprakarsai polemik yang kemudian berbuntut panjang ini. Mulanya, dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1964, Merdeka menurunkan tajuk “Gagasan Satu Partai”. Intinya adalah mengutarakan gagasan penyederhanaan partai politik menjadi satu partai tunggal berasas Pancasila.
Tajuk ini kemudian ditentang Harian Rakjatdalam edisi 5 Juni 1964. Tiga hari kemudian, serial artikel Sajuti Melik tentang Sukarnoisme mulai diterbitkan Berita Indonesia yang menjadi penyambung suara Partai Murba.
“Walau sebagian besar isinya adalah paparan standarideologi, Sayuti Melik menyatakan dia lebih menyukai ‘nasasos’—mengganti ‘kom’ dengan ‘sos’, ‘sosialisme’ untuk menekankan bahwa Nasakom adalah sintesis ideologi dan bukan milik partai-partai tertentu,” catat David Reeve dalam Golkar: Sejarah yang Hilang (2013, hlm. 251).
Partisipasi Merdeka dalam polemik ini umumnya berkisar pada isu-isu hangat di waktu itu yang dikupas dengan pisau analisis Pancasila dan ajaran-ajaran Sukarno. Ia rajin membahas Manipol, revolusi dan kepemimpinan, aksi-aksi sepihak, landreform, sampai masalah ideologi.
Selama hampir 3 minggu, Merdekaberpolemik cukup sengit dengan Harian Rakjat. Polemik dua media yang sebenarnya sesama pendukung Sukarno itu sampai menarik perhatian Sukarno sendiri dan A.H. Nasution.
Meski demikian, polemik terpaksa dihentikan atas perintah Kejaksaan Agung pada 9 Juli 1964 karena dianggap memecah opini publik. Merdeka yang memilih turun gelanggang membuat Harian Rakjat merasa di atas angin. Meski begitu, Hiswara melontarkan sebuah metafora, “Anggaplah kami ini sebagai kambingnya, agar si macan di dalam gua itu mau keluar sehingga jelas seberapa besar kekuatan yang kita hadapi.”
Publik mengira polemik telah benar-benar usai, tapi ia rupanya bergaung di gelanggang lain.
Badan Pendukung Sukarnoisme
Enggan kendur sesudah polemik selesai, Merdeka memotori strategi perlawanan terhadap propaganda komunis dengan backing Suhardiman dan SOKSI.
“Pertemuan itu dihadiri oleh Hiswara Darmasaputera, Njoo Han Siang, dan Kolonel Suhardiman. Hasil akhir dari empat kali pertemuan itu melahirkan apa yang disebut Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS),” tulis J.R. Chaniago dkk. dalam buku putih Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka 1945-1985 (1987, hlm. 82).
Mula-mula, BPS tidak memiliki wujud organisasi formal. Namun setelah Adam Malik dan B.M. Diah campur tangan, dibentuklah kepengurusan BPS yang diketuai Sumantoro dari Berita Indonesia. Sementara itu, Hiswara menjadi wakil dan Junus Lubis dari Warta Bhakti menjadi sekretaris.
BPS yang hanya berumur kurang dari satu semester itu menempuh jalan pedang melawan dominasi PKI yang memperalat Nasakom demi kepentingannya. Ia sekaligus memberi kritik dan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan Sukarno. Langkah berani ini membuat BPS jadi sasaran penghancuran lawannya.
Serangan terhadap eksponen BPS secara demonstratif terjadi dalam rapat raksasa PWI pada Desember 1964. Kala itu, Menteri Penerangan Achmadi dihadapkan dengan massa yang dengan lantang berseru “Bubarkan BPS”.
Demikianlah, dengan surat yang diterbitkan oleh Komando Operasi Tertinggi (KOTI), BPS dibubarkan pada 11 Desember 1964 dengan alasan menjaga persatuan dan memperkuat pelaksanaan Dwi Komando Rakjat (Dwikora).
Setelah BPS ditumpas, Merdekamenjadi sasaran tembak, terutama oleh Harian Rakjat. Koran milik PKI itu dengan telunjuk teracung menuding Merdeka sebagai koran kontrarevolusi dan memaksa Merdeka selaku organ inti BPS mengaku bersalah. Meski dirongrong hampir setiap hari, Merdeka jalan terus dan mencicil artikel-artikel Sukarno dari kurun prakemerdekaan dengan maksud menghadirkan pada pembaca ihwal ajaran Sukarno yang autentik.
Upaya terakhir ini nyatanya tidak berhasil menyelamatkan Merdeka. Sempat menurunkan edisi terakhir pada 24 Februari 1965 dengan headline “Presiden Sukarno Perintahkan Bubarkan Alat2 dan Koran2 jang Mendjadi Antek-antek BPS”, Merdeka direken dalam 21 surat kabar yang dilarang terbit oleh penguasa.
Lahir Kembali di Masa Orde Baru
Sejak 1 Oktober 1965, angin sejarah berganti arah. Gegap gempita revolusi yang digaungkan Sukarno lindap usai peristiwa G30S dan huru-hara yang menyertainya. Sukarno kehilangan kuasa dan pamor Soeharto meroket hingga dia jadi presiden.
Sekira setengah tahun sejak ontran-ontran G30S 1965, penguasa yang baru memberi napas baru pada Merdeka. Pemulihan hak terbit berdasarkan keputusan pemerintah keluar pada 15 Maret 1966, menandai kebangkitan Merdekadi alam Orde Baru.
Memahami angin sudah berganti, Merdeka tampil sebagai proponen Orde Baru. Secara gigih, Merdeka kini menjadi pengkritik rezim Demokrasi Terpimpin yang selangkah lagi menuju kehancuran.
Di alam yang baru, kepemimpinan redaksi diserahkan pada Harmoko, wartawan dan karikaturis yang bergabung di Merdeka sejak 1960. Sementara itu, Hiswara menjadi pemimpin umum. Nama B.M. Diah tidak ditampilkan di atas kertas karena saat itu dia telah menjabat Menteri Penerangan.
“Dalam pandangan surat kabar berlogo merah darah itu, penyelewengan yang dilakukan pemerintah Orde Lama telah merasuki hampir segala kehidupan: politik, ekonomi, budaya, dan moral,” catat buku putih Ditugaskan Sejarah (1987, hlm. 91).
Karenanya, terhadap kebijakan dan politik rezim lampau, Merdeka memilih garis tegas sebagaimana dinyatakan dalam editorial edisi 4 Oktober 1966, “Bukan mendongkel, tapi mengoreksi tanpa pandang bulu”.
Demikianlah, di awal masa reborn itu,Merdekamemberi porsi pemberitaan terbanyak untuk berita-berita penangkapan dan pengadilan tokoh-tokoh kunci G30S. Mereka yang dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) hampir selalu menjadi fokus, tak kecuali mantan Menteri Luar Negeri Subandrio yang dulu menunjuk B.M. Diah menjadi duta besar.
Dalam tiga tahun pertama edisi reborn,Merdekaikut proaktif menganjurkan pembersihan dari mentalitas Orde Lama, mengembalikan pijakan bangsa pada UUD 1945 dan Pancasila, serta menuntut kendali pemerintah yang kuat dalam melewati masa-masa transisi sarat marabahaya.
Merdeka mengapresiasi kebijakan politik ekonomi Orde Baru yang memindahkan fokus menjadi outward looking, peningkatan kesejahteraan rakyat, rehabilitasi hubungan luar negeri, masuknya modal asing, dan program stabilisasi ekonomi. Tidak hanya melancarkan sorak-sorai, Merdeka juga tidak gentar mengecam praktik-praktik korupsi dan manipulasi yang menjamur.
Merdeka juga mendukung pembentukan Komisi Empat pada 1970, yang antara lain beranggotakan eks-Wakil Presiden, Mohammad Hatta.
Pendirian Merdeka terhadap Sukarno pun juga berubah-ubah. Menjadi salah satu kritikus paling tajam terhadap rezim Sukarno pada awal terbit kembali, Merdeka menyanjung Sukarno setinggi langit dalam lima serial ketika Bung Besar wafat pada 21 Juni 1970.
“Kop suratkabar yang biasanya berwarna merah, khusus minggu itu berwarna hitam. Diah sendiri yang menulis serial itu dengan judul ‘Mengenang Seorang Pembina Bangsa’,” tulis Toeti Kakiailatu dalam B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa (1997, hlm. 146).
Serial itu memaparkan figur Sukarno sebagai seorang founding father yang agung dan dicintai, sekaligus berakhir ironis karena wafat sebagai tahanan politik. Merdeka meratapi kematian Sukarno sambil mempertanyakan betapa sikap bangsa Indonesia pada masa-masa akhir kekuasaannya kadang terasa agak di luar batas.
Karena konten eksklusif ini, Merdeka berhasil mendongkrak tiras hingga 82.000 eksemplar per hari.
Menuju Akhir
Harian Merdeka yang kita temui di alam Orde Baru ini bukanlah koran nasionalis yang kita kenal dahulu. Ia memang sintas dari badai politik, tapi sebeneranya “ruhnya” telah bersalin rupa. Ia lahir di tengah Revolusi, tapi zaman kini berganti dan apinya telah padam.
Kiprah Merdeka di alam Orde Baru secara umum mengikuti pola kebangkitan jurnalisme sebagai industri. Ini bukan lagi zamannya jurnalisme politik. Kompetitornya kini bukan lagi koran-koran partai yang ideologis, melainkan generasi baru seperti KOMPAS, Sinar Harapan, dan Suara Karya.
Di masa ini, Merdekatak seperkasa dulu yang berani melawan arus. Ia cenderung mengarahkan pemberitaan yang cari aman seperti lazimnya “pers pembangunan”. Orientasi surat kabar tidak lagi diarahkan untuk menyoroti politik dalam negeri yang rawan salah tafsir dan berakibat pembredelan oleh penguasa.
Penambahan halaman dan ekstensi rubrik pun dilakukan mengikuti selera pembaca yang mengalami perubahan.
Namun, bukan berarti Merdeka tak pernah protes. Pada 21 Januari 1978, misalnya, Merdeka termasuk dalam daftar tujuh koran yang dilarang terbit karena memberitakan aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden untuk periode ketiga. Media lain yang juga kena beredel dalahKOMPAS, Sinar Harapan, Pelita, Indonesia Times, Sinar Pagi, dan majalah TEMPO.
Ketujuh pemimpin redaksi surat kabar yang memilih survival daripada idealisme itu kemudian bersedia menandatangani permintaan maaf kepada pemerintah. Mereka sekaligus berjanji untuk tidak memberitakan hal-hal yang menyinggung penguasa.
Di zaman Orde Baru ini,Merdekatak pernah bisa lagi mengulang kejayaannya. Dekade 1980-an hingga 1990-an malah menjadi masa-masa yang sulit buatnya. Dominasi KOMPAS di pasar harian pagi dan Sinar Harapan di pasar harian sore sulit dikalahkan.
B.M. Diah sendiri melansir bahwa ideologi Merdekatetap agak rigid dan secara teguh menegakkan garis api antara berita dan bisnis. Konsekuensinya, iklan yang masuk pun terbatas danMerdeka kalah dalam kompetisi komersial. Resep Diah yang ingin memisahkan berita dan promosi terbukti ketinggalan zaman.
Merdeka terseok-seok mengikuti arus zaman sehingga tiras hariannya merosot hingga tinggal 10.000 eksemplar. Pengelolanya tak kuasa berkelit dari regulasi pembatasan jumlah iklan pada 1980-an, terbitnya Peraturan Pemerintah No. 20/1994 yang mengizinkan penanaman modal asing di media massa, serta bangkitnya sejumlah konglomerasi pers.
Jangankan berhadapan dengan regulasi dan kompetitor, awak Merdeka pun keteteranmerespons perubahan preferensi pembaca yang mulai mengonsumsi media yang menyuguhkan konten entertainment.
Bermula sebagai surat kabar yang menjadi gelanggang politik dan saksi sejarah bangsa, Merdeka di tahun-tahun terakhirnya adalah koran kelas dua yang berisi konten hiburan. Anak zaman Revolusi ini lalugulung tikar dihantam arus media baru sejak awal 2001.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi