Menuju konten utama
B.M. Diah & Harian Merdeka

Revolusi Butuh Pelantang, Lahirlah Harian Merdeka

B.M. Diah dan kawan-kawan merebut kantor berita Jepang dan mendirikan Merdeka. Pisah jalan karena friksi internal.

Revolusi Butuh Pelantang, Lahirlah Harian Merdeka
Ilustrasi Mozaik Burhanuddin Mohammad Diah. tirto.id/Nauval

tirto.id - Revolver di saku belakang Burhanuddin Muhammad Diah sudah siap meletus kalau-kalau situasi memerlukan. Langkahnya pasti. Bersama Frans Mendur, Yep Samsar, Rosihan Anwar, dan Dal Bassa Pulungan, Diah membulatkan tekad memberi suara untuk Revolusi yang waktu itu masih bayi merah.

Mereka tengah menuju ke kantor surat kabar Asia Raya di Jalan Molenvliet Oost (kini Jalan Hayam Wuruk, Jakarta). Diah sudah mereka rencana aksinya: dia akan masuk gedung, mengambil-alih ruang redaksi, mengusir orang Jepang, dan menguasai percetakan.

Kalender hari itu Sabtu, 29 September 1945, pukul 09.00.

Tidak panjang pikirannya waktu itu. Di kepala Diah hanya terlintas satu tekad: Republik Indonesia sudah harus punya surat kabar yang representatif sebagai bukti eksistensi saat Sekutu mendarat nanti.

Karena tidak ada cerita orang merdeka meminta “kemurahan hati” Jepang yang sudah keok, perebutan dianggap satu-satunya jalan. Pun karena cuma menghadapi orang kalah, Diah berani bertindak nekad. Kalau sampai harus adu senjata, Diah yakin tak akan mati angin.

Seribu sayang, dada yang sudah mongkok dan bersiap untuk kemungkinan terburuk nan heroik itu seketika kempis karena adegan berakhir antiklimaks.

Revolver di saku belakang itu, jangankan meletus, keluar saja tidak. Orang-orang Jepang yang diperkirakan melawan ternyata memilih angkat tangan.

Dengan mudah, percetakan beserta isinya diserahkan kepada kami. Tak ada perlawanan dan tampaknya orang-orang Jepang tersebut tidak peduli. Dan hari itu juga, kami jadi ‘pemilik’ percetakan itu atas nama Republik Indonesia,” kisah Diah kepada Toeti Kakiailatu, seperti tersua dalam biografi B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa (1997, hlm. 137).

Penyerahan itu betul-betul rezeki nomplok. Pasalnya, percetakan yang dahulu bernama De Unie milik seorang Belanda bernama Metzelaar itu tergolong mewah untuk menjalankan bisnis surat kabar.

Ia punya segalanya: kantor redaksi komplet dengan perpustakaan, fasilitas cetak foto, mesin pracetak timah, dan stok kertas yang cukup buat mencetak koran empat halaman sampai enam bulan.

Harta milik ini tentu saya gunakan untuk memperkenalkan perjalanan perjuangan kita kepada bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian berhasillah kita memiliki sebuah surat kabar yang dipergunakan sebagai alat perjuangan,” ungkap Diah kepada Dasman Djamaluddin, sebagai dicatat dalam memoar Butir-Butir Padi B.M. Diah (1992, hlm. 115).

Harian Merdeka Lahir

Kejadian seterusnya berjalan lempang saja. B.M. Diah dan kawan-kawan tinggal meneruskan saja penerbitan surat kabar itu sesuai gagasan mereka sendiri.

Sebagian berita yang sudah memasuki proses layout diteruskan, sementara berita baru akan disimpan buat edisi berikutnya. Usulan Frans Mendur, surat kabar itu dinamai Suara Merdeka.

Ah, Merdeka saja. Itu, toh, salam nasional kita,” tanggap Diah.

Memang benar. Sejak 1 September 1945, pekik “Merdeka” menggemuruh di seantero negeri. Persis pada Senin, 1 Oktober 1945, seiring dengan perputaran mesin cetaknya pada pukul 12.00, harian Merdeka lahir desain huruf Wiwosch berwarna merah yang tidak pernah diganti.

Sesudah korektor menyelesaikan proses proofreading dan lembar demi lembar perlahan menumpuk, edisi pertama Merdeka mulai diedarkan dari depan kantor redaksi. Tebalnya hanya empat halaman, beredar sebagai harian sore, diawaki sembilan orang termasuk Diah. Merdeka secara lantang membawa motto “Suara Rakyat Republik Indonesia”.

Headline untukedisi perdananya ditulis dengan huruf tebal besar: “Bendera Nasional Indonesia tetap berkibar teroes.” Anak judulnya menyebut “Tentara Inggeris tidak akan mentjampoeri politik dalem negeri.”

Berita itu adalah respons atas pendaratan Sekutu yang dipimpin oleh Philip Christison di Surabaya. Kepala berita-berita lain pun tak kalah garang, di antaranya “Bangsa Indonesia berdjoeang oentoek menghentikan pemerintah Belanda di Indonesia,” “Rakjat sanggoep mendjaga keselamatan dan keamanan negerinja,” dan “Djepang melarikan padi rakjat Rengasdengklok”.

Edisi perdana Merdeka juga memuat lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, lengkap beserta lirik dan notasinya. Untuk menambah nuansa, dimuat pula satu puisi gubahan Rosihan Anwar yang isinya menggambarkan percik optimisme menyambut zaman baru.

Dalam edisi pertama Merdeka, melalui sebuah sajak berjudul ‘Kini Abad Rakyat Jelata’, Rosihan ikut menyuarakan pikirannya yang sosialistis, demokratis, anti-penjajahan, sekaligus cinta damai,” catat Tribuana Said dalam bunga rampai H. Rosihan Anwar, Wartawan dengan Aneka Citra (1992, hlm. 31).

Cobaan Mulai Datang

Kala itu, Merdeka tentu saja tak berjalan sendirian sebagai corong jurnalistik prorepublik. Dua hari sebelum harian berkepala merah itu lahir, sejumlah mahasiswa Hasjim Mahdan, Sutan Maimun, Aboe Bakar Loebis, dan Anas Ma’ruf telah menerbitkan Berita Indonesia. Namun di pasar, Merdeka masih memimpin karena, selain diawaki profesional, mereka juga memiliki fasilitas mumpuni.

Kedudukan di atas angin itu toh tidak serta-merta membuat Merdeka bisa melenggang bebas. Pasalnya, situasi makin rumit usai Sekutu yang membonceng NICA mendarat di Indonesia. Tanpa memerlukan waktu lama, mereka menguasai Jakarta.

Pasukan Sekutu-NICA cepat memenuhi kota dan menghambat mobilitas wartawan yang hendak meliput maupun bekerja seperti biasa.

Kami jadi sulit masuk kantor. Demikian pula yang berhasil masuk kantor, sulit pulang ke rumah,” kenang Diah.

Pernah suatu kali, saat keadaan Jakarta sudah bertambah genting, sepasukan NICA datang menggeruduk kantor redaksi Merdeka. Mereka lalu sekonyong-konyong berlari di ruang redaksi sambil memberondongkan peluru secara membabi-buta. Syukur tak ada korban tewas.

Tapi tindakan brutal itu sudah membuat jantung kami hampir copot,” tukas Diah pula (1997, hlm. 140).

Peristiwa-peristiwa mendebarkan dalam hari-hari yang dikenal sebagai kurun Bersiap itu berhasil diatasi dengan dua cara. Pertama, diplomasi melalui sejumlah wartawan asing yang mengetahui perjuangan Merdeka sebagai pers republiken. Mereka membantu dengan menganjurkan pada pasukan-pasukan asing untuk menghindari kekerasan pada wartawan.

Kedua, berelasi dengan seorang perwira satuan Gurkha bernama Sen Gupta. Awak Merdeka membiarkannya nongkrong di redaksi setiap hari sebagai token agar pasukan Sekutu tidak mengganggu lagi. Dua strategi ini terbukti jitu.

Namun, berhasil menahan serangan dari luar tidak serta-merta membuktikan Merdeka imun dari friksi internal. Pangkalnya adalah perbedaan pandangan politik di antara para pendirinya sendiri.

Hanya satu setengah bulan sejak Merdeka beredar, pemerintah berganti sistem dari presidensial menjadi parlementer. Posisi kepala pemerintahan kini dipegang oleh Sutan Sjahrir selaku Perdana Menteri Republik Indonesia pertama.

Diah menanggapi perubahan ini tanpa simpati. Dia menilai perubahan itu inkonstitusional dan menyerupai silent-coup terhadap Presiden Sukarno.

Memang saat ini merupakan dilema bagi Merdeka, karena Sjahrir kelihatannya ingin bersedia berunding dengan pihak Belanda untuk mencapai kemerdekaan sesungguhnya bagi Indonesia. Sebaliknya Merdeka tidak menyetujui sikap Sjahrir tersebut, karena sejak semula surat kabar ini berpendirian anti-Sekutu, tegasnya anti-Belanda,” ungkap Diah (1992, hlm. 117).

Retak di Dalam

Antipati Diah pada jalan politik Sjahrir tidak sepenuhnya mencerminkan sikap semua wartawan Merdeka. Rosihan Anwar, orang kedua di tubuh redaksi dengan jabatan redaktur pertama, ambil posisi berdeda.

Diah sering pergi ke pedalaman. Ia terlibat dalam permainan politik di Yogyakarta sehingga saya yang dibebani mengurus isi koran Merdeka,” kisah Rosihan dalam obituari B.M. Diah yang dimuat kumpulan In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002, hlm. 182).

Repotnya, sikap Diah dan Rosihan dalam menyikapi suatu peristiwa kerap kali berseberangan. Hal ini pun turut memengaruhi pendirian institusional Merdeka. Akibatnya, pembaca kerap menilai Merdeka plin-plan dalam bersikap.

Kala itu induk karangan Merdeka sudah menyimpang, bahkan simpang siur. Tidak konsekwen. Hari ini bersikap anti-Sjahrir, besoknya berubah menjadi mendukung,” cerita Diah.

Akar perbedaan yang tidak segera diselesaikan pun menyebabkan pertikaian jadi semakin berlarut-larut dan memuncak pada Juli 1946.

Suatu siang pada Juli itu, Diah baru saja kembali dari Pegangsaan Timur 56, kantor Perdana Menteri Sjahrir. Diah lantas menulis liputan yang membahas perundingan Sjahrir dan van Mook siang itu juga.

Tanpa sesuatu alasan—boleh jadi karena kebiasaan, Diah mampir ke percetakan dan melihat halaman Merdeka yang tengah memasuki proses layout. Alangkah mengejutkan, di antara zetsel yang memuat berita dan hasil perundingan, Diah mendapati zetsel pengumuman yang menyatakan dirinya diberhentikan dari Merdeka mulai hari itu.

Dengan kata lain, Diah sebagai pendiri dan pemimpin redaksi didongkel sepihak oleh korannya sendiri! Tanpa ambil jeda, Diah lantas melancarkan tindakan balasan. Hari itu juga, dia memecat Rosihan beserta pengikutnya yang ditengarai menjadi dalang kejadian.

Siapa yang menggali lobang, dia sendiri yang masuk ke dalamnya,” kata Diah sinis.

Rosihan pun tak serta-merta berdiam diri. Dalam obituari yang sama, Rosihan mematahkan framing Diah bahwa Sjahrir ingin menjadikan Merdeka sebagai corong politik kaum sosialis.

Tuduhan Diah bahwa ‘saya dipergunakan oleh Sjahrir dan orang-orang sosialis yang ingin punya penerbitan sendiri’ hanya timbul dari khayalan Diah yang terlalu subur dan tidak berdasarkan kebenaran, sebab sesungguhnya saya pada masa itu sama sekali tidak dekat dengan Sjahrir,” tegas Rosihan (2002, hlm. 183).

Infografik Kelahiran Harian Merdeka

Infografik Kelahiran Harian Merdeka. tirto.id/Fuad

Rosihan tak mau kalah dengan menimpali cerita dari perspektifnya. Jika Diah menyebut insiden Juli 1946 sebagai pangkal pertikaian, Rosihan cekak aos menuding peristiwa 7 Oktober 1946 sebagai kuldesak masalah.

Pada hari itu, Rosihan dan dua rekannya—Soetomo Satiman dan Soedjati S.A.—menggelar aksi mogok dan hengkang dari Merdeka. Pangkalnya sudah bukan lagi masalah pendirian institusional surat kabar terhadap arus politik, melainkan pada masalah kepemilikan.

Saya waktu itu beranggapan bahwa semua wartawan dan buruh mempunyai andil yang sama dan berhak sama-sama memiliki harian Merdeka,” kisah Rosihan dalam autobiografi Menulis dalam Air (1982, hlm. 296).

Anggapan ini berbanding terbalik dengan klaim Diah bahwa Merdeka adalah koran milik sendiri. Namanya memang tertera sebagai Wakil Ketua Badan Pemilik Penerbitan dan Penerangan selaku penerbit surat kabar Merdeka.

Di kemudian hari, kepemimpinan tunggal itu dilegitimasi saat boks di sebelah kiri kop Merdeka diberi imbuhan “didirikan B.M. Diah pada 1 Oktober 1945.” Itu secara implisit menegasikan keterlibatan Rosihan dan para perintis lainnya pada tahun-tahun pembentukan surat kabar ini.

Baru sehari Rosihan angkat kaki, rubrik pojok “Dr. Clenik” menulis suatu sindiran tajam dan keras atas ontran-ontran yang baru saja terjadi di tubuh redaksi. Framing-nya yang peyoratif menyatakan bahwa Diah menyelamatkan Merdeka dari “kudeta” kecil yang diprakarsai Rosihan cum suis.

Rubrik itu antara lain menyerang Rosihan secara vulgar dengan menyebutnya “wartawan yang otaknya kosong, tapi sesumbar kiri kanan sebagai wartawan ‘jempol’ dan nomor wahid.” Tentu saja Rosihan muntab dengan penyebutan itu dan beberapa hari kemudian mengirim surat protes kepada Mr. Soemanang, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta.

Ini bisa terjadi karena Menteri Penerangan Mohammad Natsir ternyata ikut marah dengan hinaan itu. Tegas, PWI pun segera menjatuhkan skorsing terhadap Diah. Konflik dianggap berakhir usai Rosihan fokus menyiapkan penerbitan media lain bersama Soedjatmoko pada akhir 1946.

Tabloid sepekan yang kemudian lahir itu diberi nama Siasat. Ia mulai beredar pada 4 Januari 1947 dan kelak memiliki “adik” surat kabar Pedoman yang juga digawangi Rosihan.

Bersambung...

Baca juga artikel terkait HARIAN MERDEKA atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi