tirto.id - Demokrasi Liberal atau Parlementer merupakan sistem pemerintahan yang melindungi hak warga negara secara konstitusional dari orang-orang yang menjabat di pemerintahan.
Sistem yang menganut kebebasan hak individu ini pernah dijalankan oleh Indonesia. Lantas, apa kelebihan dan kekurangannya?
Memasuki tahun 1950, tepatnya di bulan Agustus, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan dan diganti nama sebagai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Setelah itu, pada 17 Agustus 1950, Indonesia memulai pemerintahannya dengan sistem demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional.
Sistem ini kerap disapa parlementer lantaran melibatkan parlemen sebagai badan legislatifnya.
Berdasarkan catatan Nansy Rahman dalam Indonesia Pada Masa Awal Kemerdekaan Sampai Masa Demokrasi Liberal: Sejarah Indonesia Kelas XII (2020, hlm. 23), masa sistem pemerintahan ini digambarkan lewat banyaknya partai yang berebut kekuasaan.
Lebih dari itu, Rizanur dalam Sistem dan Dinamika Demokrasi di Indonesia: PPKn Kelas XI (2020, hlm. 2) menerangkan bahwa sistem ini membatasi pemerintahan agar tak sewenang-wenang terhadap warga. Pembatasan tersebut dibatasi oleh yang namanya konstitusi.
Sejarah Masa Demokrasi Liberal di Indonesia
Sejak 1950 sampai 1959, terjadi beberapa pergantian kabinet sebagai pemegang pemerintahannya.
Dimulai dari Kabinet Natsir yang memegang pemerintahan sejak 6 September 1950 sampai 21 Maret 1951.
Kemudian, diganti dengan Kabinet Sukiman pada 27 April 1951. Kabinet ini menjalankan pemerintahan selama satu tahun, yakni selesai pada 3 April 1952.
Selanjutnya, ada Kabinet Wilopo yang memerintah mulai 3 April 1952 sampai 3 Juni 1953.
Selain tiga kabinet yang sudah disebutkan, terdapat beberapa kabinet lain yang memimpin hingga 1959 meliputi daftar lengkap berikut:
- Kabinet Natsir: 6 September 1950 sampai 21 Maret 1951
- Kabinet Sukiman: 27 Aril 1951 sampai 3 April 1952
- Kabinet Wilopo: 3 April 1952 sampai 3 Juni 1953
- Kabinet Ali Sastroamijoyo: 31 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955
- Kabinet Burhanuddin Harahap 12 Agustus 1955 sampai 3 Maret 1956
- Kabinet Ali Sastroamijoyo II: 20 Maret 1956 sampai 4 Maret 1957
- Kabinet Djuanda: 9 April 1957 sampai 5 Juli 1959
Oleh karena itu, setelah Kabinet Djuanda selesai, Indonesia mengubah lagi sistem pemerintahannya menjadi Demokrasi Terpimpin.
Kelebihan Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal punya beberapa keunggulan atau kelebihan dari sistem pemerintahan yang lain. Di antaranya sebagai berikut:
1. Rakyat berpengaruh
Hak rakyat pada sistem demokrasi liberal diutamakan, termasuk terkait suara atau pendapatnya.
Dengan begitu, pada sistem ini rakyat punya pengaruh penting yang tentunya harus didengar oleh para pejabat pemerintahan.
2. Pengawasan lebih baik
Parlemen hadir sebagai wakil rakyat yang tentunya musti mengawasi pemerintahan dengan baik.
Dengan begitu, individu di negara bisa terlindungi lantaran pengawasan selalu dilakukan.
3. Pembuatan kebijakan singkat
Lembaga eksekutif dan legislatif negara bisa dengan cepat merumuskan kebijakan. Penyebabnya, kedua belah pihak berada dalam naungan koalisi atau bahkan satu partai politik.
4. Jelasnya tanggung jawab dan kebijakan
Keterangan mengenai kinerja perlu dipublikasi ketika sistem ini digunakan. Dengan begitu, tanggung jawab dalam pelaksanaannya bisa dilihat publik.
Kekurangan Demokrasi Liberal
Dibandingkan dengan kelebihannya, kekurangan demokrasi liberal hanya mencakup tiga poin. Berikut ini daftar kekurangannya tersebut:
1. Kabinet mudah bubar
Peristiwa ini dilhat dari silih bergantinya kabinet mulai tahun 1950 sampai 1959.
Penyebabnya adalah rakyat yang dapat bebas bersuara, termasuk terkait opininya mengenai ketidakpercayaan terhadap kabinet.
2. Sulit berhasil mencapai tujuan
Keadaan yang meliputi demokrasi liberal adalah munculnya banyak partai. Selain menguntungkan bagi peserta, persaingan ternyata juga malah semain sulit. Bahkan, bisa saja terjadi senggolan-senggolan politik.
3. Parlemen disalahgunakan
Selain dua poin di atas, demokrasi liberal punya kekurangan lain ketika parlemen digunakan sebagai ajang kaderisasi.
Riwayat mereka yang pernah menjabat di sini nantinya disalahgunakan untuk melamar di jabatan eksekutif lain, misalnya menteri.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Dhita Koesno