tirto.id - Munculnya aksi Tritura dilatarbelakangi oleh aksi unjuk rasa oleh sebagian kalangan mahasiswa dan rakyat Indonesia yang ditujukan kepada pemerintahan Presiden Sukarno sebagai dampak tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965. Peristiwa sejarah Hari Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat diperingati setiap tanggal 10 Januari.
Rezim Orde Lama dianggap tidak tegas terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut-sebut sebagai salah satu unsur utama terjadinya peristiwa G30S 1965 yang menewaskan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Maka, pada 10-13 Januari 1966, terjadi gelombang demonstrasi di Jakarta.
Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat tersebut adalah (1) Bubarkan Partai Komunis Indonesia atau PKI; (2) Rombak Kabinet Dwikora; dan (3) Turunkan Harga. Oleh sebab itu, setiap tanggal 10 Januari diperingati sebagai Hari Tritura.
Tuntutan pertama: pembubaran PKI. Saat itu, pemerintahan Sukarno dianggap terlalu lambat mengambil sikap terhadap orang-orang PKI yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S 1965. Terlebih, masih ada beberapa tokoh komunis yang berada di kabinet.
Tuntutan kedua: pembubaran Kabinet Dwikora. Alasan yang mendasari tuntutan ini adalah bahwa pemerintah dinilai tidak mampu mengendalikan kestabilan politik, sosial, dan ekonomi yang merosot. Sukarno dianggap lebih mementingkan urusan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dan usaha merebut kembali Irian Barat.
Selain itu, masih ada orang-orang berhaluan kiri dari PKI yang duduk di Kabinet Dwikora. Mahasiswa dan rakyat yang kontra dengan haluan komunis mendesak agar orang-orang PKI segera dibersihkan dari pemerintahan.
Tuntutan ketiga: turunkan harga. Tuntutan ini dipicu oleh kebijakan ekonomi yang dianggap kurang tepat sehingga membuat perekonomian negara memburuk, termasuk dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.
Usai penyampaian Tritura oleh massa-mahasiswa, pada 21 Februari 1966 Presiden Sukarno melakukan reshuffle kabinet. Namun orang-orang yang duduk di kabinet tidak sesuai yang dikehendaki oleh para pengunjukrasa. Sukarno masih melibatkan orang-orang beraroma kiri.
Tiga hari kemudian, atau 24 Februari 1966, para mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Mereka kembali berdemonstrasi hingga akhirnya terjadi insiden yang menyebabkan seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim menjadi korban.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya