tirto.id - Sejarawan Bonnie Triyana menyampaikan, pengakuan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte soal kemerdekaan Indonesia di parlemen Belanda nampaknya akan bernasib sama secara esensial dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dari pejabat Belanda.
Menurut Bonnie, Rutte tampaknya enggan memasuki dampak legalistik atas pengakuannya dengan mengatakan kekerasan yang terjadi semasa revolusi kemerdekaan Indonesia, terjadi di luar jangkauan Konvensi Jenewa. Alasannya, kesepakatan internasional yang mengatur perlindungan kemanusiaan dalam perang tersebut belum berlaku saat itu.
“Pernyataan Rutte yang mengakui kekerasan Belanda terhadap warga Indonesia secara moral, namun tidak secara yuridis, berujung dengan kesimpulan yang dibangunnya sendiri, bahwa secara legal kekerasan serdadu Belanda terhadap warga Indonesia tidak bisa dianggap sebagai kejahatan perang,” kata Bonnie dalam keterangan tertulis, Kamis (15/6/2023).
Seperti diberitakan sebelumnya, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, secara resmi telah menyatakan pengakuan kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945. Pengakuan ini disampaikan Rutte dalam diskusi di parlemen Belanda.
Menurut Bonnie, seharusnya pengakuan Rutte ini bukan sekadar pernyataan politis moral semata. Seperti diketahui, pada 2005 Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot juga pernah menyatakan bahwa pemerintah Belanda menerima kenyataan bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.
Namun, pernyataan Bot kala itu lebih bermakna secara politis semata yang tak berimbas secara legalistis, karena menerima kenyataan (aanvaarden) berbeda arti dengan mengakui (erkent atau to recognize).
“Inilah yang membedakan pernyataan Perdana Menteri Mark Rutte kali ini—yang jelas-jelas mengatakan bahwa dia, atas nama pemerintah Belanda, mengakui (erkent) kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,” jelas Bonnie.
Namun Bonnie menyatakan bahwa dirinya menyambut baik pengakuan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang disampaikan oleh PM Belanda Mark Rutte itu.
“Pengakuan tersebut, secara formal, menandai babak baru pemahaman sejarah Belanda terhadap revolusi kemerdekaan Indonesia,” lanjut Bonnie.
Menurut Bonnie, selama 70 tahun lebih Pemerintah Belanda tidak pernah mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Bagi Pemerintah Belanda, Indonesia baru merdeka saat Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pengakuan PM Rutte atas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, kata Bonnie, seharusnya memiliki arti bahwa dia, atas nama pemerintah Belanda, mengakui bahwa Indonesia sudah menjadi sebuah negara merdeka. Maka dua agresi militer yang dilakukan oleh Belanda ke Indonesia pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 sama artinya dengan invasi ke sebuah negara merdeka.
“Agresi itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Atlantik Charter 1941 yang memberikan keleluasan kepada rakyat sebuah wilayah untuk menentukan nasibnya sendiri,” kata Bonnie.
Bonnie berharap pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia ini menjadi momentum penting bagi kedua bangsa untuk belajar dari sejarah kelam kolonialisme.
“Kerjasama kedua negara mestinya bisa lebih baik dan lebih erat berdasarkan prinsip-prinsip kepercayaan (trust) dan kesetaraan (equality),” ujar Bonnie.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri