tirto.id - Anggota BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah Proklamasi RI. Para tokoh anggota BPUKI, termasuk Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan lainnya menggelar rangkaian sidang untuk mempersiapkan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI pada 29 April 1945. Dai Nippon merasa sudah berada di ambang kekalahan Perang Dunia Kedua dari Sekutu sehingga merasa perlu mencari dukungan dari bangsa Indonesia dengan memberikan janji kemerdekaan.
Tujuan pembentukan BPUPKI adalah untuk "menyelidiki hal-hal yang penting sekaligus menyusun rencana mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia”, dengan tugas mempelajari semua hal penting yang diperlukan oleh negara yang merdeka.
Semua hal penting yang dimaksud adalah terkait politik, ekonomi, tata usaha pemerintahan, kehakiman, pembelaan negara, lalu lintas, dan bidang-bidang lain yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia.
Rumusan Dasar Negara
BPUPKI menggelar 2 kali sidang resmi. Sidang BPUPKI pertama dilakukan tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Sedangkan Sidang BPUPKI yang kedua dilangsungkan pada 10-17 Juli 1945. Dua sidang ini dilaksanakan di Gedung Chuo Sangi In, sekarang bernama Gedung Pancasila, di Senen, Jakarta Pusat.
Disebutkan dalam buku Pendidikan Pancasila: Upaya Internalisasi Nilai-nilai Kebangsaan (2019) karya Kasdin Sihotang dan kawan-kawan, agenda sidang BPUPKI pertama adalah membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara Indonesia merdeka, dan perumusan dasar negara.
Di Sidang BPUPKI pertama tanggal 29 Mei-1 Juni 1944, setidaknya ada 12 tokoh yang tampil di mimbar, di antaranya adalah Mohammad Yamin, Mr. Soepomo, dan Ir. Sukarno. Ketiganya menguraikan tentang rumusan dasar negara Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Sukarno memperkenalkan istilah Pancasila yang nantinya ditetapkan sebagai dasar negara. Pancasila terinspirasi dari bahasa Sanskerta, yaitu panca yang berarti “lima” dan sila yang bermakna “prinsip” atau “asas”.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila,” lantang Sukarno di depan forum Sidang BPUPKI pertama tersebut, dikutip dari Risalah BPUPKI (1995) terbitan Sekretariat Negara RI.
“Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi,” lanjut sosok yang nantinya menjadi Presiden RI pertama ini.
Perdebatan Bentuk Negara
Sidang BPUPKI kedua dilaksanakan tanggal 10-17 Juli 1945 di tempat yang sama. Agendanya adalah membahas rancangan undang-undang dasar, rancangan bentuk negara, wilayah negara dan kewarganegaraan, serta susunan pemerintahan, unitarisme, dan federalisme.
Sidang BPUPKI kedua juga membicarakan mengenai pernyataan Indonesia merdeka, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, serta pendidikan dan pengajaran, selain membahas kembali perihal rumusan Piagam Jakarta yang telah diumumkan sebelumnya.
Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987) mengungkapkan, terjadi silang pendapat antara kubu nasionalis dan kubu agamis. Salah satu poin yang paling alot diperdebatkan adalah tentang bentuk negara, antara negara kebangsaan atau negara Islam.
Dari situlah kemudian dirumuskan Piagam Jakarta yang merupakan hasil pertemuan Panitia Sembilan dengan melibatkan Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikusno Cokrosuyoso, Haji Agus Salim, dan Alexander Andries Maramis.
Piagam Jakarta terdiri dari 4 paragraf yang nantinya digunakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di paragraf ke-4 terkandung 5 poin yang merupakan cikal-bakal Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, yakni:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Nantinya, poin pertama yakni “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan sila pertama dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Komposisi Anggota BPUPKI
Disebutkan R.M. A.B. Kusuma dalam Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2004), pengaruh Jepang dalam mengiringi kinerja BPUKI masih cukup kuat, termasuk pada komposisi keanggotaannya yang terdiri dari seorang kaico (ketua), 2 orang fuku kaico (ketua muda), dan 59 orang iin atau anggota.
Sebagai ketua ditunjuklah Radjiman Wedyodiningrat, tokoh yang dituakan, priyayi Jawa berpengaruh sekaligus sosok penting yang turut menggagas Boedi Oetomo (BO) pada 1908. Sedangkan sebagai ketua muda adalah Raden Panji Suroso dan Ichibangase Yoshio dari Jepang.
Dikutip dari buku Islam dan Muslim di Negara Pancasila (2017) oleh M. Fuad Nasar, semula BPUPKI beranggotakan 62 orang, kemudian ditambah 6 orang sehingga menjadi 68 orang. Ke-68 orang ini berasal dari pihak Indonesia dan bertindak sebagai anggota aktif.
Komposisi anggota aktif BPUPKI berasal dari berbagai kalangan, ada dari golongan nasionalis, agamis, peranakan Arab, peranakan Tionghoa, peranakan Indo, ningrat Jawa, jurnalis, dan lain sebagainya.
Selain anggota aktif, ada pula anggota pasif. Anggota pasif di BPUPKI terdiri atas 8 orang dari pihak Jepang. Mereka hanya bertindak sebagai pengamat dan tidak memiliki hak suara, hak berpendapat, dan hak-hak aktif lainnya selama sidang.
Daftar Lengkap Anggota BPUPKI
Anggota Aktif
- A.A. Maramis
- Abdul Kadir
- Abdul Kaffar
- Abdul Kahar Muzakir
- Abdulrahim Pratalykrama
- Abikusno Cokrosuyoso
- Adipati Wiranatakoesoema V
- Agus Muhsin Dasaad
- Agus Salim
- Ahmad Soebardjo
- AR Baswedan
- Husein Djajadiningrat
- Johanes Latuharhary
- Kanjeng Pangeran Ario Suryohamijoyo
- KH Abdul Fatah Hasan
- KH Abdul Halim Majalengka
- KH Ahmad Sanusi
- KH Mas Mansoer
- KH Masjkur
- KH Wahid Hasyim
- Ki Bagus Hadikusumo
- Ki Hajar Dewantara
- Liem Koen Hian Liem
- Margono Joyohadikusumo
- Mas Aris
- Mas Besar Martokusumo
- Mohammad Hatta
- Muhammad Yamin
- Oey Tiang Tjoei Oey
- Oey Tjong Hauw
- Otto Iskandardinata
- P.F. Dahler
- Pangeran Hario Bintoro
- Pangeran Hario Purubojo
- Pangeran Mohammad Noor
- Parada Harahap
- Purbonegoro Sumitro Kolopaking
- Raden Ashar Sutejo Munandar
- Raden Asikin Natanegara
- Raden Ayu Maria Ulfah Santoso
- Raden Buntaran Martoatmojo
- Raden Hindromartono,
- Raden Jenal Asikin Wijaya Kusuma
- Raden Mas Hario Sosrodiningrat
- Raden Mas Panji Surahman Cokroadisuryo
- Raden Mas Sartono
- Raden Mas Tumenggung Ario Suryo
- Raden Mas Tumenggung Ario Wuryaningrat
- Raden Mas Tumenggung Wongsonagoro
- Raden Nganten Siti Sukaptinah
- Raden Panji Singgih
- Raden Panji Suroso
- Raden Ruseno Suryohadikusumo
- Raden Sastromulyono
- Raden Sudirman
- Raden Suleiman Effendi Kusumaatmaja
- Raden Suwandi
- Raden Syamsudin
- Rajiman Wedyodiningrat
- Ruslan Wongsokusumo
- Samsi Sastrawidagda
- Soepomo
- Sukarjo Wiryopranoto
- Sukarno
- Sukiman Wiryosanjoyo
- Susanto Tirtoprojo
- Sutarjo Kartohadikusumo
- Tan Eng Hoa
Anggota Pasif
- Ichibangase Yosio
- Matuura Mitukiyo
- Miyano Syoozoo
- Tanaka Minoru Minoru
- Tokonami Tokuzi
- Itagaki Masumitu
- Masuda Toyohiko
- Ide Teitiroo
Editor: Yantina Debora
Penyelaras: Ibnu Azis