Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Tiga Serangkai Indische Partij dalam Sejarah Pergerakan Nasional

Indische Partij (IP) merupakan salah satu organisasi dalam sejarah era pergerakan nasional di Indonesia.

Tiga Serangkai Indische Partij dalam Sejarah Pergerakan Nasional
Tiga Serangkai Indische Partij: Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara (kiri), Douwes Dekker (tengah) dan Tjipto Mangoenkoesoemo (kanan). FOTO/Wikicommon

tirto.id - Indische Partij (IP) merupakan salah satu organisasi yang berdiri pada era pergerakan nasional di Indonesia pada awal abad ke-20. Sejarah perjuangan perhimpunan berhaluan politik yang cukup keras ini digagas oleh Tiga Serangkai.

Tiga Serangkai terdiri dari Ernest Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka mendirikan Indische Partij di Bandung, Jawa Barat, tanggal 25 Desember 1912.

IP cukup berani melancarkan kritikan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, termasuk melalui artikel berjudul “Als ik een Nederlander was” atau "Seandainya Aku Seorang Belanda" yang ditulis oleh Soewardi.

Akibatnya, Tiga Serangkai ditangkap dan diasingkan ke negeri Belanda. Indische Partij pun dibubarkan paksa pada 4 Maret 1913. Nantinya, para mantan aktivis IP mendirikan organisasi baru bernama Insulinde.

Berdirinya Indische Partij (IP)

Nyoman Dekker dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1993) menyebutkan bahwa Indische Partij adalah organisasi kebangsaan di era pergerakan nasional yang memiliki program jelas untuk menegakkan semangat nasionalisme.

Hal ini berbeda dengan perhimpunan sebelumnya yakni Boedi Oetomo (BO). BO, yang didirikan pada 20 Mei 1908 dan disebut-sebut sebagai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia dan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, lebih berfokus dalam bidang kebudayaan serta pendidikan.

Pendirian Indische Partij digagas oleh seorang jurnalis berdarah campuran yakni Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Ia mengelola surat kabar De Expres yang nantinya menjadi media propaganda IP.

Pada 1912, Douwes Dekker mengajak Soewardi Soerjaningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo yang saat itu tercatat sebagai anggota Boedi Oetomo (BO).

Lantaran berbeda pandangan dengan angkatan tua di BO, Soewardi dan Tjipto memutuskan keluar, lalu bersama Douwes Dekker membentuk Indische Partij pada 25 Desember 1912. Tiga tokoh pendiri IP ini kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai.

Pemikiran Douwes Dekker

Robert Elson dalam The Idea of Indonesia: A History (2008) menyebut bahwa Douwes Dekker merupakan pemikir nasionalis.

Menurutnya, gagasan bangsa Indonesia bukan kesatuan yang dibangun atas solidaritas etnis atau ras, keagamaan, atau kedekatan geografis, tetapi karena rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus.

Pandangan politik Douwes Dekker juga dipengaruhi oleh prinsipnya yang lebih mengutamakan propaganda politik daripada ideologi politik.

Ini mendapat kritik dari Sneevliet (tokoh komunis asal Belanda di Indonesia) yang mengatakan bahwa Dekker membuat gerakan politik tanpa teori, atau teorinya bersifat samar.

Pemikiran Tjipto Mangoenkoesoemo

Secara umum, pandangan Tjipto Mangoenkoesoemo mengenai persatuan Indonesia masih selaras dengan pemikiran Douwes Dekker.

Namun, dikutip dari tulisan "Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker 1912-1914" karya Wildan Seno Utomo dalam Lembaran Sejarah (2014), Tjipto menganggap bahwa persatuan antara kaum pribumi dengan Belanda adalah suatu hal yang membawa kemajuan.

Tjipto beranggapan penggabungan unsur-unsur Barat dan Timur sebagai faktor penting dalam menjamin pertumbuhan subur bagi negara dan rakyat, termasuk bagi kaum bumiputera di Hindia atau Indonesia.

Selain dikenal sebagai aktivis pergerakan nasional dan jurnalis, Tjipto Mangoenkoesoemo juga berprofesi sebagai seorang dokter. Namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit besar di Jakarta.

Pemikiran Soewardi Soerjaningrat

Soewardi Soerjaningrat merupakan pangeran dari Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Walaupun keturunan bangsawan, ia tidak terlalu menikmati kehidupan di istana. Nantinya, seiring berdirinya Taman Siswa pada 1922, Soewardi dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Bagi Soewardi Soerjaningrat, tujuan nasionalisme adalah menghapuskan dominasi kolonial dan menyadarkan kaum peranakan, indo, dan bumiputera harus bersatu menghadapi musuh yang sama, yaitu pemerintah kolonial.

Soewardi Soerjaningrat pada masa muda adalah sosok yang keras dan berani mengkritik kebijakan kolonial. Ia pun harus menjalani pengasingan serta berkali-kali masuk penjara sebelum memutuskan berjuang melalui kancah pendidikan bersama Taman Siswa.

Bubarnya Indische Partij

Dikutip dari Nyoman Dekker dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1993), pada 1913 pemerintah Belanda akan mengadakan peringatan 100 tahun kemerdekaan dari Perancis.

Untuk itu, seluruh wilayah jajahan Belanda, termasuk Hindia atau Indonesia, diminta menyumbang demi membantu pelaksanaan peringatan tersebut.

Hal itu tentunya ditentang oleh para tokoh Indische Partij, termasuk Tiga Serangkai. Bahkan, Soewardi Soerjaningrat dengan berani menulis artikel berjudul “Als ik een Nederlander was” atau "Seandainya Aku Seorang Belanda" untuk menyindir perayaan itu.

Tulisan satir yang dimuat di surat kabar De Expres itu sontak menuai kontroversi. Pemerintah kolonial pun turun tangan dan menuding bahwa tulisan Soewardi Soerjaningrat telah menghasut rakyat.

Maka, para tokoh IP terutama Tiga Serangkai, diseret ke pengadilan kolonial. Diputuskan bahwa mereka harus menjalani hukuman pengasingan ke Belanda.

Sepeninggal Tiga Serangkai, IP dibubarkan paksa oleh pemerintah kolonial. Namun, nantinya beberapa bekas tokoh IP mendirikan organisasi baru bernama Insulinde. Soewardi Soerjaningrat sempat bergabung dengan Insulide setelah pulang dari pengasingan

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya