Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Biografi WR Supratman: Cikal-Bakal Sejarah Hari Musik Nasional

Tanggal kelahiran WR Supratman menjadi cikal bakal sejarah peringatan Hari Musik Nasional.

Biografi WR Supratman: Cikal-Bakal Sejarah Hari Musik Nasional
Wage Rudolf Supratman. FOTO/Kemdikbud

tirto.id - Hari Musik Nasional 2021 jatuh pada tanggal 9 Maret. Peringatan itu berkenaan dengan sejarah hari lahir Wage Rudolf Soepratman atau WR Supratman. Ia adalah komponis sekaligus pencipta lagu asal Indonesia, yang belakangan menjadi pahlawan nasional.

Hari Musik Nasional pertama kali ditetapkan pada tanggal 9 Maret 2013 yang disahkan lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional. Kendati demikian, dalam Keppres itu disebutkan: peringatan Hari Musik Nasional bukan hari libur nasional.

Lantas bagaimana kisah dan perjalanan hidup WR Supratman yang hari lahirnya ditetapkan sebagai tanggal untuk memperingati musik nasional?

Kisah Hidup WR Supratman

WR Supratman, barangkali lebih dikenal sebagai pengarang lagu "Indonesia Raya". St. Sularto dalam “Wage Rudolf Supratman Menunggu Pelurusan Fakta Sejarah” di Majalah Prisma edisi 5 Mei 1983 menulis, WR Supratman memang sangat yakin bahwa untuk dapat menciptakan lagu kebangsaan, ia harus terlibat dan melebur ke dalam perjuangan, serta bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakan.

Supratman mengalami transformasi dalam hidupnya. Ia yang semula sering berkencan dan berfoya-foya bersama sinyo-sinyo Belanda karena ketenarannya sebagai pemain biola Black White Jazz Band, berubah menjadi sosok yang tertarik dalam bidang politik. Ia pun gemar mengikuti pelbagai pidato dan bacaan politik, terutama koran Pemberita Makasar.

Hasratnya menciptakan lagu kebangsaan mulai tumbuh. Konsep lagu mulai dibuat. Sayang, meski sudah berjam-jam mengerjakannya, konsep lagu tak kunjung selesai. Sampai akhirnya ia sadar bahwa untuk bisa menciptakan lagu kebangsaan, ia harus melibatkan diri di dalam perjuangan. Lagu kebangsaan mustahil dibuat tanpa bersentuhan dengan tokoh-tokoh pergerakan.

Berbekal sebuah biola, ia merantau ke tanah Pulau Jawa. Tujuannya ke Bandung, pusat pergerakan tokoh-tokoh muda. Namun, ketika memasuki kota Surabaya, ia segera memutuskan tinggal sementara. Supratman kemudian bergaul akrab dengan anggota Kelompok Studi Indonesia dan terpengaruh dengan semangat kemerdekaan para tokohnya.

Infografik Cikal Bakal Hari Musik Nasional

Infografik Cikal Bakal Hari Musik Nasional. tirto.id/Fuad

Dari Musikus Menjadi Wartawan

Akhir 1924, ia pergi menuju Cihami. Di sana ia sangat mengagumi koran Kaoem Moeda, yang membuatnya tertarik menjadi reporter. Sambil menunggu lamarannya di Kaoem Moeda, Supratman mengikuti kursus kader politik Kelompok Studi Umum yang didirikan oleh Sukarno. Cita-citanya terpenuhi. Supratman diterima sebagai reporter Kaoem Moeda.

Kariernya di Kaoem Moeda tak berlangsung lama. Gaji yang diterimanya tak cukup buat biaya hidup. Ia memutuskan hijrah ke Biro Pers Alpena (Algemene Pers Niews Agency) sebagai reporter dan editor. Pekerjaannya di Alpena tak berlangsung lama. Kondisi ekonomi perusahaan yang seret membuatnya harus hengkang.

Ia lantas bergabung di surat kabar Sin Po. Di sini, kehidupannya jauh lebih membaik. Keuntungan lain: ia bisa dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti M. Tabrani, Sugondo Djojopuspito, dan Sumarso.

Supratman mendapat penugasan untuk meliput Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada 30 April–2 Mei 1926. Dari sinilah keinginannya untuk membuat lagu perjuangan kembali muncul, terutama setelah mendengarkan pidato tokoh-tokoh muda seperti M. Tabrani, Sumarno, Sumarto, Paul Pinontoan, dan Bahder Djohan.

Supratman bahkan mengakui hal itu secara langsung kepada M. Tabrani. Ia berkata: “Mas Tabrani, saya terharu kepada semua pidato yang diucapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Terutama Pidato Mas Tabrani dan Sumarto. Cita-cita satu nusa, satu bangsa yang digelari Indonesia Raya itu saya akan buat. Namanya Indonesia Raya.”

Selesai kongres, Supratman membuat konsep lagu kebangsaan yang ditulisnya dalam not balok dan not angka, terdiri dari tiga kuplet dengan bait ulangan dan irama lagu 6/8. Lagu ini selesai dengan judul 'Indonesia Raya'.

Menjelang Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, di Batavia, ia kembali ditugaskan untuk meliput. Kali ini keinginannya tak cuma menulis berita, tetapi ingin membawakan lagu 'Indonesia Raya'. Atas inisiatifnya sendiri, ia menyebarkan salinan lagu itu kepada para pimpinan organisasi pemuda. Gayung bersambut. Lagu tersebut mendapat sambutan hangat.

Sugondo, yang waktu itu memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua, awalnya mengizinkan Supratman membawakan lagu tersebut pada jam istirahat. Namun, ketika Sugondo membaca lebih teliti lirik lagu itu, ia menjadi ragu. Ia takut pemerintah memboikot acara Kongres. Akhirnya Sugondo meminta Supratman membawakan lagu tersebut dengan instrumen biola saja.

Ketika jam istirahat tiba, Supratman maju, membawakan lagu 'Indonesia Raya' versi instumental. Semua peserta kongres tercengang. Mereka terharu mendengar gesekan biolanya. Itulah kali pertama lagu 'Indonesia Raya' berkumandang.

Lagu itu kembali berkumandang di akhir bulan Desember 1928 saat pembubaran panitia kongres kedua. Pada kesempatan itu, untuk kali pertama, lagu tersebut dinyanyikan dengan iringan paduan suara. Ketiga kalinya, lagu 'Indonesia Raya' dinyanyikan saat pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember 1929. Para peserta berdiri dan bernyanyi mengikuti kur dan iringan biola Supratman sebagai tanda penghormatan kepada Indonesia Raya.

Meresahkan Pihak Belanda

Lagu 'Indonesia Raya' semakin populer. Ini membuat resah pihak Belanda. Mereka takut jika lagu tersebut mampu membangkitkan semangat kemerdekaan. Karena itu, pada 1930, lagu itu dilarang dan tak boleh dinyanyikan dalam kesempatan apa pun, Alasan pemerintah kolonial: lagu tersebut dapat "mengganggu ketertiban dan keamanan."

Selaku pencipta, Supratman tak luput dari ancaman. Ia sempat ditahan dan diinterogasi soal maksud lirik “merdeka, merdeka, merdeka”. Tetapi kekangan itu cuma sebentar. Setelah diprotes dari pelbagai kalangan, pemerintah Hindia Belanda mencabutnya dengan syarat hanya boleh dinyanyikan di ruang tertutup.

Supratman kemudian menciptakan lagu Matahari Terbit. Lagu ini membuatnya kembali merasakan tahanan pemerintah Hindia Belanda. Otoritas kolonial menafsirkan bahwa Supratman ikut memuji Dai Nippon. Berkat bantuan van Eldik, Supratman dibebaskan dari tuduhan tersebut.

Keluar dari masa tahanan, Supratman jatuh sakit. Di masa itu ia berkenalan akrab dengan kakak iparnya, Oerip Kasansengari. Supratman berkata, “Mas, nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka.”

Pada 17 Agustus 1938, Supratman tutup usia setelah jatuh sakit. Jenazahnya dikebumikan di Kuburan Umum di Jalan Kejeran Surabaya, dengan jumlah pelayat tak lebih dari 40 orang.

-------------------------

Sebagian isi dari naskah ini pernah tayang dalam tulisan berjudul "Air Mata dan Dugaan Plagiat Lagu Indonesia Raya". Penulis hanya mengubah judul dan beberapa isinya untuk disesuaikan dengan konteks saat ini.

Baca juga artikel terkait HARI MUSIK NASIONAL 2021 atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya