Menuju konten utama

9 Maret Diperingati Hari Musik Nasional dan Sejarah WR Supratman

Hari Musik Nasional dan kelahiran WR Supratman diperingati pada tanggal yang sama. Hal ini bukan kebetulan. Mengapa bisa begitu? Berikut ini sejarahnya.

9 Maret Diperingati Hari Musik Nasional dan Sejarah WR Supratman
Pengunjung mengamati koleksi sepeda kuno yang dipamerakan dalam Festival WR Soepratman di Kaza City, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (25/11/2017). ANTARA FOTO/Moch Asim

tirto.id - Tanggal 9 Maret diperingati hari kelahiran Wage Rudolf Soepratman atau WR Supratman. Di sisi lain, 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Tanggal lahir WR Supratman yang diabadikan menjadi Hari Musik Nasional punya sejarah panjang yang menarik untuk disimak.

Hari Musik Nasional yang diperingati di Indonesia setiap tanggal 9 Maret, bertepatan dengan hari lahir salah satu pahlawan nasional, WR Supratman, pencipta lagu kebangsaan "Indonesia Raya".

Peringatan Hari Musik Nasional ini pertama kali dilakukan pada 9 Maret 2013 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional. Dalam Keppres itu disebutkan pula bahwa peringatan Hari Musik Nasional bukan hari libur nasional.

Sejarah 9 Maret Diperingati sebagai Hari Musik Nasional

Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri, terlanjur menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional, merujuk pada tanggal yang akhirnya disepakati sebagai hari kelahiran WR Soepratman.

Kapan tepatnya putra daerah Purworejo itu lahir hingga kini sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut tanggal 9 Maret 1903, tetapi sebagian lainnya lebih meyakini bahwa Wage lahir 10 hari setelahnya, yakni 19 Maret (Radix Penadi, Beberapa Catatan Seputar WR Soepratman, 1988:29).

Penelusuran yang dilakukan oleh Dwi Rahardja, peneliti dan pembuat film dokumenter Saksi-saksi Hidup Kelahiran Bayi Wage, justru menghasilkan temuan bahwa sang pencipta lagu “Indonesia Raya” lahir tanggal 19 Maret 1903. Pendapat ini didukung keluarga Soepratman, bahkan dikuatkan dengan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.

“Semua pihak seharusnya mengikuti ketetapan PN Purworejo. Diharapkan, Hari Musik Nasional itu dapat segera disesuaikan dengan ketetapan PN Purworejo yang menyatakan bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903,” kata Dwi Rahardja (Kompas, 15 Maret 2008).

Akan tetapi, tanggal lahir WR Supratman yang diabadikan sebagai Hari Musik Nasional masih diperingati setiap 9 Maret hingga detik ini.

Sejarah WR Supratman

Nama aslinya Wage Soepratman. Rudolf adalah nama tambahan yang diberikan seorang pria peranakan Belanda-Indonesia bernama Willem van Eldik yang menikahi kakak perempuannya, Roekijem. Semasa remaja, Wage memang tinggal bersama kakak sulungnya itu di Makassar, tempat Willem berdinas sebagai tentara.

Minat Wage Soepratman terhadap seni bermula dari Roekijem dan suaminya, Willem van Eldik, yang memang penyuka musik. Tak jarang, Willem dengan sejumlah teman tentaranya menggelar pertunjukan teater di mes militer mereka di Makassar. Sejak lulus sekolah dasar pada 1914, Wage sudah ikut kakak perempuannya itu ke Sulawesi.

Lingkungan seperti inilah yang membuat Wage akrab dengan nada-nada. Ia banyak membaca buku tentang musik, juga berlatih biola. Pada 1920, Wage membentuk grup band bernama Black & White di Makassar yang mengusung aliran jazz. Band ini boleh dibilang salah satu perintis jazz di Indonesia. Saban akhir pekan, Black & White memainkan musik ala Barat itu untuk mengiringi pesta dansa tuan dan nyonya Belanda.

Tahun 1924, Wage meninggalkan Makassar dan merantau ke Batavia kemudian ke Bandung. Di kota kembang, ia justru tertarik dengan dunia jurnalistik. Wage pun bekerja sebagai wartawan di surat kabar Kaoem Moeda yang pernah dipimpin oleh salah seorang dedengkot pergerakan nasional, Abdoel Moeis. Setelahnya, Wage bekerja untuk surat kabar Sin Po.

Wage alias Soepratman juga mulai menulis buku. Salah satu karyanya yang berjudul “Perawan Desa” disita dan dilarang beredar lantaran dituding bisa menimbulkan keresahan masyarakat serta dianggap menghina pemerintah kolonial (Anthony Hutabarat, Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman, 2001:84).

Walaupun sempat menggeluti ranah jurnalistik dan penulisan, tetapi bakat bermusik Soepratman tidak luntur begitu saja. Justru dengan menjadi wartawan dan sering menulis, pengetahuan dan nalurinya akan musik semakin kuat dan kian berbobot.

Lagu “Indonesia Raya”

Suatu hari, Soepratman membaca artikel di majalah Timboel yang isinya menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Soepratman pun tertantang untuk menulis lirik lagu dalam bahasa Melayu yang baik. Pada dekade kedua abad ke-20 itu, bahasa Belanda lebih banyak dipelajari ketimbang bahasa anak negeri sendiri.

Soepratman mulai mengulik-ulik nada dan syair hingga akhirnya terangkailah untaian lirik sarat semangat nasionalisme dengan balutan aransemen yang menggugah kalbu. Itulah lagu “Indonesia Raya” yang dirampungkan Soepratman pada 1924, dan pertama kali dirilis ke publik pada penutupan Kongres Pemuda ke-II tanggal 28 Oktober 1928.

Lagu tersebut mendapat sambutan hangat. Sugondo, yang waktu itu memimpin Kongres Pemuda ke-II, awalnya mengizinkan Supratman membawakan lagu tersebut pada jam istirahat. Namun, ketika Sugondo membaca lebih teliti lirik lagu itu, ia menjadi ragu.

Sugondo khawatir pemerintah memboikot acara Kongres. Akhirnya Sugondo meminta Supratman membawakan lagu tersebut dengan instrumen biola saja. Ketika jam istirahat tiba, Supratman maju, membawakan lagu “Indonesia Raya” versi instrumental. Semua peserta kongres tercengang.

Mereka terharu mendengar gesekan biolanya. Itulah kali pertama lagu “Indonesia Raya” berkumandang. Lagu itu kembali berkumandang di akhir bulan Desember 1928 saat pembubaran panitia Kongres Pemuda ke-II.

Pada kesempatan itu, untuk kali pertama, lagu tersebut dinyanyikan dengan iringan paduan suara. Ketiga kalinya, lagu 'Indonesia Raya' dinyanyikan saat pembukaan Kongres PNI 18-20 Desember 1929.

Pada 17 Agustus 1938, Supratman tutup usia setelah jatuh sakit. Jenazahnya dimakamkan di Kuburan Umum di Jalan Kenjeran Surabaya, dengan jumlah pelayat tak lebih dari 40 orang.

Supratman telah tiada. Akan tetapi, fobia terhadap lagu “Indonesia Raya” tak kunjung reda. Ketika Jepang menduduki kawasan Hindia Belanda pada Maret 1942, lagu tersebut kembali dilarang dan baru bebas dicekal di ambang kejatuhan pendudukan Jepang pada medio 1945.

Lagu “Indonesia Raya” kembali bergema setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Sebagai bentuk penghormatan, pada 16 November 1948, dibentuklah Panitia Indonesia Raya.

Baca juga artikel terkait HARI MUSIK NASIONAL atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Ibnu Azis