tirto.id - “Tanggal 8 Maret pemerintah kolonial menyerah. Tanggal itu juga, aku menyerahkan diri kepada yang Mahakuasa.”
Itulah yang kata-kata terakhir Tjipto Mangoenkoesoemo seperti dikutip buku Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Sang Demokrat Sejati karya M. Balfas (1952:41). Tanggal 8 Maret 1942, Belanda takluk kepada Jepang, dan tepat setahun berikutnya, hidup dan perjuangan Tjipto pungkas.
Sekitar jam 6 pagi 74 tahun silam, ia menghembuskan napas penghabisan di Jakarta. Tjipto tak sempat merasakan buah perjuangan yang dilakoninya selama puluhan tahun. Kemerdekaan Indonesia baru hadir dua warsa setelah Tjipto meninggalkan dunia.
Tjipto adalah sang manusia buangan. Dari berbagai tanah pembuangan, ia terus berjuang menentang kaum kolonial yang sudah berabad-abad mengangkangi tanah airnya.
Pejuang Multitalenta
Di mana Tjipto Mangoenkoesoemo dilahirkan masih simpang-siur. Yang jelas, ia berasal dari Jawa Tengah. Akira Nagazumi (1989) dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia hanya menyebut Tjipto lahir di desa bernama Pecangakan.
Desa yang dimaksud menurut Achmad Baidowi & Dalimun Sentono (1979) dalam buku berjudul Tiga Serangkai itu berada di dekat Ambarawa. Sedangkan buku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977) dengan tajuk Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Pembela Rakyat, Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Nasional menuliskan bahwa Pecangakan adalah nama desa di Jepara. Namun, agaknya versi Ambarawa-lah yang benar, karena Tjipto pun dikebumikan di sana.
Begitu pula dengan waktu kelahirannya. Ada referensi yang menyebut Tjipto Mangoenkoesoemo lahir pada 1883, tapi ada pula yang meyakini bahwa salah satu anggota Tiga Serangkai selain Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara ini dilahirkan pada 1886.
Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan seorang pejuang pergerakan nasional yang mampu mempermainkan hati pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia kerap dipenjara dan diasingkan, tapi Belanda sering pula melunak agar Tjipto lebih kompromis dan tidak terlalu banyak tingkah.
Tjipto adalah seorang dokter lulusan STOVIA, sekolah dokter Jawa di Batavia yang kini menjelma menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tidak mengherankan jika namanya diabadikan sebagai salah satu rumah sakit terkemuka di Jakarta.
Saat menempuh studi di STOVIA itulah ia sempat turut dalam pembentukan Boedi Oetomo (BO) pada 1908 yang kemudian didapuk sebagai organisasi kebangsaan pertama di Indonesia, meskipun penetapan ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan.
Bersama saudara kandungnya, Goenawan Mangoenkoesoemo, Tjipto adalah aktivis angkatan pertama BO selain nama-nama populer lain macam Wahidin Sudirohusodo, Radjiman Wedyodiningrat, Soetomo.
Namun, Tjipto tidak bertahan lama di Boedi Oetomo karena berselisih paham dengan kubu Radjiman Wedyodiningrat. Tjipto ingin agar BO menjadi organisasi terbuka dan lebih demokratis. Sedangkan Radjiman ngotot mempertahankan BO sebagai gerakan murni priyayi Jawa.
Selepas dari BO, Tjipto lalu membuka praktek dokter di Solo. Ia juga berandil besar dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada 1911. Berkat jasanya itulah, Dokter Tjipto mendapat bintang emas, penghargaan dari pemerintah kolonial Hinda Belanda.
Tapi, Tjipto tidak sudi menerima anugerah dari penjajah. Dengan menempelkan bintang emas itu di pantat sebagai bentuk penentangannya, Tjipto pergi ke Batavia untuk mengembalikan penghargaan tersebut kepada yang memberikannya (M. Balfas, 1952:49).
Pada 1912, ia kembali ke kancah pergerakan. Tjipto mendeklarasikan Indische Partij (IP) di Bandung bersama dua sahabatnya, Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). IP adalah organisasi terbuka yang tanpa tedeng aling-aling menyerukan tujuan kemerdekaan.
Tiga Serangkai itu juga menerbitkan De Expres sebagai media propaganda IP. Nantinya, De Expres menjadi salah satu senjata utama Tjipto dan kawan-kawan dalam melancarkan “perang” terhadap rezim kolonial Hindia Belanda.
Akrab dengan Pengasingan
Berkali-kali Tjipto harus menjalani hidup sebagai orang buangan. Dalam konteks perjuangan, ini adalah status yang membanggakan. Tanggal 8 Agustus 1913, pengadilan kolonial memutuskan bahwa Tiga Serangkai bersalah dengan dakwaan “menentang pemerintahan yang sah.” Ketiganya kemudian diasingkan ke Belanda.
Baru setahun menjalani pengasingan di negeri asal penjajah, Tjipto dipulangkan terlebih dulu dengan alasan kesehatan (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, 2000: 277). Tiba di tanah air pada 22 Agustus 1914, ia langsung membangkitkan IP—yang sebelumnya telah diberangus—dengan nama baru: Insulinde.
Untuk mendukung gerakan Insulinde, Tjipto menerbitkan dua media sekaligus, yakni Panggoegah dan Indische Beweging. Tulisan-tulisan Tjipto di dua surat kabar ini kerap membuat orang kolonial meradang. November 1915, ia sempat diajukan ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik, namun bebas karena kurangnya bukti.
Aparat kolonial kini lebih berhati-hati dalam menghadapi Tjipto. Ia dianggap sebagai pribumi yang paling berpengaruh selain H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam (SI) serta orang-orang Boedi Oetomo.
Tentang sejarah Sarekat Islam (SI) baca: Rekso Roemekso, Ormas Keamanan Menjelma Sarekat Islam.
Tjipto diminta oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk masuk ke jajaran Dewan Rakyat (Volksraad) yang dibentuk 18 Mei 1918. Kendati jadi anggota dewan, Tjipto tetap vokal dan terus mengkritisi pemerintah, termasuk Volksraad sendiri. Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga sering menjadi sasaran kecam Tjipto yang memang anti-feodalisme (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, 1997:240).
Tjipto tetap konsisten dengan tujuan perjuangan yang dulu diusung IP dan lantas dilanjutkan oleh Insulinde –yang kemudian berganti nama menjadi Nationaal Indische Partai-Sarekat Hindia (NIP-SH)– yakni “pembentukan suatu kebangsaan Indonesia dengan negara yang merdeka.”
Pergerakan Tjipto dan Insulinde tak pelak membuat pemerintah kolonial kelabakan. Ia dan kawan-kawan, termasuk Mohammad Misbach sang haji merah yang kala itu juga aktivis Insulinde, kerap melakukan propaganda kepada kaum tani di desa-desa untuk mogok kerja. Tanggal 4 Januari 1921, Tjipto ditangkap dan diseret ke pengadilan.
Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) menyarankan kepada Gubernur Jenderal agar Tjipto Mangoenkoesoemo diasingkan ke daerah yang penduduknya tidak bisa berbahasa Jawa. Pasalnya, pesona Tjipto yang paling membius adalah kemampuannya menggerakkan rakyat dengan bahasa Jawa.
Tjipto sempat rehat sejenak dari ranah pergerakan karena statusnya sebagai orang buangan sangat dibatasi oleh aturan kolonial. Selama beberapa tahun, ia menjalani profesinya sebagai dokter dan keluar-masuk kampung untuk mengobati warga yang membutuhkan pertolongannya.
Namun, pecahnya perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926, Tjipto ikut kena getahnya. Ia dianggap membantu pergerakan kaum merah sehingga ditangkap dan dipenjara. Tjipto sering dituduh sebagai komunis karena sifatnya yang keras dan radikal itu (Soegeng Reksodihardjo, dkk., Dr. Cipto Mangunkusumo, 1992:89).
Pada 19 Desember 1927, pemerintah memutuskan Tjipto dibuang ke Banda, Kepulauan Maluku. Dari Banda, ia dipindahkan ke Bali, kemudian ke Makassar, lalu diungsikan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Seringnya berpindah tempat selama belasan tahun membuat penyakit asma yang sejak lama diderita Tjipto kian parah.
Tjipto pun dilarikan ke Jakarta untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, jiwanya tidak tertolong hingga akhirnya ia wafat pada 8 Maret 1943. Meskipun berstatus sebagai orang buangan, Tjipto justru sangat bersyukur, dan ia sudah mengatakan itu jauh-jauh hari sebelumnya:
“Kalau nanti aku harus menanggung segala akibat dari kata-kata keras yang kukeluarkan dari jiwa yang pedih, aku akan bersyukur kepada Allah untuk keadilan-Nya yang memberikan kenikmatan padaku dalam hukuman: kenikmatan bahwa aku dapat berbuat jasa bagi bangsaku. Tuntutlah aku, siksalah aku, aku tiada gentar!”
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani