Menuju konten utama
28 Oktober 1928

Resolusi Pemuda Menjadi Sumpah dan Digunakan sebagai Alat Politik

Resolusi Kongres Pemuda Kedua tahun 1928 yang spontan ditemuciptakan (reinvented) sebagai “sumpah” yang sakral dan digunakan sebagai senjata politik.

Resolusi Pemuda Menjadi Sumpah dan Digunakan sebagai Alat Politik
Ilustrasi Mozaik Distorsi Resolusi Pemuda. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada tahun 1973, Ketua Kongres Pemuda Kedua (27–28 Oktober 1928), Sugondo Djojopuspito, menuliskan secara detail mengenai asal mula tiga kalimat yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda 1928. Dalam artikel berjudul “Ke Arah Kongres Pemuda II” (Media Muda No. 6 dan 7, November 1973), alih-alih muncul sebagai elemen sentral yang telah dipersiapkan sebagai resolusi yang disetujui seluruh anggota kongres, tiga kalimat “Sumpah Pemuda” justru muncul dalam situasi yang spontan.

Tiga kalimat “Sumpah Pemuda” diajukan oleh Muhammad Yamin dengan menyodorkan secarik kertas kepada Sugondo pada saat pembicara terakhir dari Kongres Pemuda Kedua menyampaikan pidatonya. Akhirnya, Sugondo sebagai ketua rapat membubuhkan tanda persetujuan untuk resolusi singkat gubahan Yamin itu.

Resolusi Yamin dalam ejaan sekarang berbunyi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Selanjutnya, dari masa ke masa, resolusi itu akan dikutip berulang kali dengan berbagai macam kesalahannya, terutama pada bagian ketiga tentang bahasa Indonesia.

Apa sebenarnya yang terjadi pada Kongres Pemuda Kedua, dan bagaimana ia kemudian dikenal sebagai titik tolak peristiwa sejarah yang disebut orang-orang sebagai Sumpah Pemuda?

Dalam pandangan Keith Foulcher yang ia tuangkan dalam Sumpah Pemuda: The Making and Meaning of a Symbol of Indonesian Nationhood (2000), peristiwa kongres dan “penciptaan” Sumpah Pemuda merupakan dua hal yang berbeda. Kongres pada tahun 1928 memang terjadi, namun narasi Sumpah Pemuda sama sekali belum ada. Hal ini juga sempat diamini secara tidak langsung oleh Sugondo saat ia dengan kukuh menyatakan bahwa apa yang terjadi pada 27 hingga 28 Oktober 1928—mengikuti istilah yang ia gunakan—merupakan “Kerapatan Besar Pemuda Indonesia”.

Sugondo sama sekali tidak menggunakan istilah Sumpah Pemuda untuk merujuk pada kongres yang ia pimpin. Pada periode 1920-an, semangat persatuan Indonesia sedang digodok. Organisasi pergerakan tua yang lahir pada dekade 1900-an atau 1910-an seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam sama sekali tidak bersendikan konsep persatuan yang inklusif. Masing-masing memiliki dasar ideologi atau kultural yang sangat khusus.

Memang, pada 1912, Ernest Douwes Dekker (Setiabudi), seperti yang ia sampaikan dalam “The Indies Party, Its Nature and Objectives” (1913), sempat mencanangkan paham kebangsaan yang inklusif bagi semua orang yang tinggal di Hindia. Ia mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Namun, gerakan politik ini tidak berumur panjang dan ia justru dibuang ke Eropa.

Pandangan Ernest tentang persatuan bagi “siapa saja yang tinggal di Hindia” ini justru ditangkap oleh Perhimpunan Indonesia (sebelumnya Perhimpunan Hindia) di Negeri Belanda. Perasaan sebagai sesama orang asing yang berada di negeri asing membuat para mahasiswa dari berbagai tempat di Hindia yang berkumpul di Belanda mencanangkan semacam bentuk awal “persatuan Indonesia”.

Gagasan Perhimpunan Indonesia tentang persatuan itu kemudian kembali “diimpor” ke Hindia Belanda oleh Sugondo dengan menyelundupkan jurnal-jurnal terlarang mereka untuk disebarkan kepada siswa-siswa di Batavia. Saat itu, Sugondo bergerak sebagai tokoh organisasi pemuda. Tujuan utama yang jadi visinya adalah mempersatukan organisasi pemuda yang waktu itu bersendikan napas kedaerahan.

Namun, dalam perjalanan menggapai idealisme semacam itu, kelompok Sugondo dihadapkan pada satu tembok: apakah seluruh organisasi pemuda akan dijadikan satu dan memiliki satu dewan pengurus (gagasan fusi), atau akan memiliki dewan pengurus sendiri-sendiri yang akan membentuk badan perundingan bersama (gagasan federasi). Pertarungan dua konsep tersebut akan terus mewarnai dinamika politik Indonesia hingga masa awal kemerdekaan.

Jong Java (Pemuda Jawa) dan Sugondo mendukung ide fusi. Namun, kebanyakan organisasi pemuda non-Jawa mendukung sebaliknya. Dukungan Jong Java terhadap ide fusi sangat mudah dimengerti sebagai konsekuensi dari latar belakang kultural Jawa yang sentralistik. Ini juga yang membuat organisasi lain cukup was-was apabila akhirnya organisasi-organisasi pemuda dilebur.

Jong Java yang besar dan pola pemikiran sentralistiknya dikhawatirkan akan mendominasi organisasi pemuda baru yang dibentuk di atas dasar fusi. Untuk melakukan lobi politik agar organisasi pemuda yang lain dapat menerima ide fusi, Sugondo menyiapkan Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (Kongres Pemuda Kedua) pada tahun 1928.

Pencapaian Kongres Pemuda Kedua untuk meluaskan ide persatuan Indonesia memang menempati posisi penting dalam sejarah. Namun, konsep Sumpah Pemuda tidak dikenal pada waktu itu. Lalu kapan dan mengapa akhirnya peristiwa 1928 dijadikan tonggak Sumpah Pemuda?

Untuk menjawab ini, kita perlu memperhatikan bahwa pada perkembangan zaman selanjutnya, muncul distorsi terhadap resolusi hasil Kongres Pemuda Kedua. Distorsi paling awal dicatat oleh Foulcher terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938. Di sini, versi resolusi dikutip dengan agak berbeda oleh Mohammad Tabrani—tokoh yang tidak ikut dalam Kongres Pemuda Kedua tahun 1928—dengan perubahan besar pada bagian ketiga:

“Kita bertumpah tanah satu, yaitu bangsa Indonesia; Kita berbangsa satu, yaitu bangsa Indonesia; Kita berbahasa satu, yaitu bahasa Indonesia.”

Infografik Mozaik Distorsi Resolusi Pemuda

Infografik Mozaik Distorsi Resolusi Pemuda. tirto.id/Tino

Tidak jelas apakah perubahan ini merupakan kesengajaan—dalam arti merupakan perumusan ulang terhadap resolusi 1928—atau sekadar kesalahan kutip. Namun, perubahan inilah yang membuat resolusi Kongres Pemuda Kedua diberikan muatan politik dan selanjutnya ditransformasikan sebagai Sumpah Pemuda.

Terdapat perbedaan makna yang besar antara “menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia” seperti dalam resolusi awal Yamin, dengan “berbahasa satu, bahasa Indonesia” seperti dalam “gubahan” Tabrani—yang kelak versi tersebut akan banyak dikutip oleh sejumlah tokoh politik Indonesia.

Frasa “menjunjung bahasa persatuan” menaruh fokus kepada bahasa Indonesia, namun tidak mengharuskan bahasa lain dilepaskan untuk mengadopsi bahasa Indonesia. Sementara frasa “berbahasa satu” pada akhirnya meminggirkan berbagai macam bahasa di Indonesia.

Kembali lagi, konflik konseptual antara persatuan (fusi) dan perserikatan (federasi) mewarnai debat ini. Sejak terdistorsi lewat kutipan dalam Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938, resolusi Kongres Pemuda 1928 dijadikan simbol persatuan Indonesia dan legitimasi terhadap arah Indonesia yang cenderung menyetujui ide negara kesatuan ketimbang negara federasi.

Pada dekade 1950-an, ketika Indonesia dilanda berbagai gejolak di sejumlah daerah, resolusi tersebut mulai disakralkan sebagai Sumpah Pemuda. Peringatan dan penyematan istilah “sumpah” mulai terjadi pada tahun 1955, diucapkan oleh Presiden Sukarno ketika banyak media memberitakan kunjungannya ke Solo. Sejak itu, Sumpah Pemuda dijadikan senjata ideologis Sukarno untuk mempertahankan ide negara kesatuan yang didukungnya.

Menyusul konsep-konsep kenegaraan lain seperti Pancasila dan Undang-udang Dasar 1945, Sumpah Pemuda diramu dan dirangkai oleh para penguasa dalam zaman yang berbeda. Tiga pokok resolusi Kongres Pemuda Kedua 1928 telah bertransformasi. Mula-mula sekadar resolusi kongres pemuda yang muncul secara spontan, kemudian ditemuciptakan (reinvented)sebagai sebuah “sumpah” yang sakral, dan akhirnya digunakan sebagai senjata politik.

==========

Artikel ini sebelumnya terbit pada 28 Oktober 2021. Kami menyunting ulang dan menerbitkannya kembali dalam rangkaian Laporan Khusus Sumpah Pemuda 2022.

Baca juga artikel terkait SUMPAH PEMUDA atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi & Fadrik Aziz Firdausi