Menuju konten utama

Melanesia dan Majapahit dalam Sawala Penentuan Wilayah Indonesia

Salah satu usulan tentang wilayah Indonesia pada sidang BPUPKI merujuk pada wilayah imperium Majapahit. Usulan gegabah ini menuai pro dan kontra.

Melanesia dan Majapahit dalam Sawala Penentuan Wilayah Indonesia
Header Mozaik Teritorial Indonesia. tirto.id/Tino

tirto.id - Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 11 Juli 1945, Mohammad Hatta meminta izin untuk berbicara tentang batas teritorial Indonesia sebagai negara yang hendak lahir.

"[Ia berbicara] dengan logika dan nalar khas seorang sarjana berkepala dingin yang tengah berpikir,” tutur Garth N. Jones dalam "Soekarno’s Early Views Upon The Territorial Boundaries of Indonesia (Australian Outlook, Vol 18 1964)".

Hatta tidak meminta wilayah Indonesia lebih dari wilayah bekas jajahan Belanda. Ia bahkan ikhlas seandainya bekas jajahan Belanda yang diincarnya sebagai wilayah masa depan Indonesia tak diartikan Jepang dengan mengikutsertakan Papua Barat.

Menurut Hatta, selain tak mau melihat pertempuran kembali muncul di tanah air, kengototan terhadap status Papua Barat dapat memberi kesan imperialisme di mata dunia terhadap Indonesia. Padahal, imperialisme merupakan pokok perlawanan Indonesia membebaskan diri dari belenggu Belanda dan Jepang.

Dengan alasan serupa, Hatta juga menolak ide Asia Timur Raya. Gagasan Hatta muncul saat Sukarno mengaku menerima telegram dari Letnan Kolonel Abdullah Ibrahim sebagai salah satu pemimpin Malaya.

Konon Ibrahim menyebut bahwa “rakyat Malaya (atau Melayu) merasa memiliki jiwa nasionalis yang sama dengan kita, Indonesia [...] rakyat Malaya merasa bahwa Indonesia adalah tanah air mereka.”

Ini perlahan melebar dengan mengikutsertakan Papua Barat, Filipina, North Borneo, Brunei, Sarawak, Timor Portugis, serta pulau-pulau lain yang ada di sekitarnya.

Namun, terang Sukarno, karena Filipina telah merdeka, “kita harus menghormati kedaulatan Filipina dan oleh karena itu pembahasan mengenai Pan Indonesia dengan cara demikian (mengikutsertakan Filipina) tidak dapat dilakukan lagi.”

Sukarno yakin Indonesia akan menjadi negara kuat jika seluruh penjuru Selat Malaka masuk wilayahnya. Sementara Mohammad Yamin berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara seharusnya dibangun atas dasar persamaan etnis, termasuk Melanesia.

Hatta tidak setuju dengan gagasan itu.

"Saya menyerahkan disposisi Papua Barat [serta Pan Indonesia] kepada orang lain. Jika Indonesia dirancang sebagai negeri Melanesia, mengapa kita tidak memasukkan semua wilayah di Cekungan Pasifik, etnis Melanesia pasti ada di sana.”

Menurut Hatta, "seandainya wilayah lain non-Hindia Belanda (terutama North Borneo) yang kita incar ditukar dengan Papua Barat [oleh Jepang], maka pertukaran semacam itu dapat menciptakan teritorial bangsa yang lebih sesuai.”

Namun, imbuh Jones dalam studinya, soal Papua Barat Sukarno meyakini bahwa wilayah tersebut wajib menjadi bagian Indonesia atas catatan sejarah yang pertama kali digaungkan oleh Mohammad Yamin.

"Saya seratus persen setuju dengan sudut pandang [Yamin]," ujarnya.

Hal ini bukan hanya merujuk pada kenyataan bahwa Papua Barat berada di bawah administrasi Hindia Belanda yang berkedudukan pusat di Batavia (Jakarta) meski terus-terusan disangkal Belanda, tetapi juga bersumbu pada kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Kerajaan yang eksis sejak 1293 hingga 1527 ini tutur Jean Gerlam Taylor dalam Indonesia People and Histories (2003), “dijadikan pijakan masa lalu Indonesia dalam membangun masa depannya.”

Alih-alih menjadi ahli waris Belanda, bagi Sukarno dan Yamin Indonesia memiliki kewajiban mengklaim hak waris dari Majapahit. Sembari meminta orang-orang yang hadir dalam sidang BPUPKI tersebut melihat peta dunia, Sukarno menunjuk posisi kepulauan Indonesia dan berkata, “tertulis dalam Nagarakertagama oleh Prapanca.”

“Indonesia merdeka harus mencakup [paling tidak] Malaya dan Papua Barat,” tutup Sukarno.

Ketika pembahasan soal teritorial Indonesia masa depan itu ditutup dengan pemungutan suara, proposal yang menyatakan bahwa teritorial Indonesia mencakup wilayah Hindia Belanda, Papua Barat, North Borneo, Brunei, Sarawak, Timor Portugis, Malaya, dan pulau-pulau disekitarnya terpilih sebagai pemenang dengan 39 suara.

Sementara dua proposal lain, yakni yang menghendaki hanya bekas jajahan Belanda (termasuk Papua Barat) memperoleh 19 suara, dan yang menghendaki bekas jajahan Belanda plus Malaya hanya meraup 6 suara.

Agus Salim sebagai Penengah

Di tengah perbedaan pendapat itu, Agus Salim mengemukakan bahwa usaha menjadikan Indonesia tak hanya berwilayah bekas jajahan Belanda adalah langkah berbahaya. Pasalnya, wilayah North Borneo, Brunei, Sarawak, Timor Portugis, Malaya, dan pulau-pulau disekitarnya belum tentu setuju.

“Tidak ada informasi yang dapat dipercaya tentang bagaimana perasaan orang-orang di wilayah tetangga itu, dan bahwa keputusan integrasi seperti itu tidak boleh diputuskan berdasarkan suara dua atau tiga pemuda [Indonesia] saja.”

Seakan menengahi pemikiran antara Hatta dan Sukarno-Yamin, Agus Salim berujar bahwa Indonesia seharusnya dibentuk dalam kerangka "sejarah akal sehat". Maksudnya, jauh sebelum Belanda atau kekuatan Barat tiba, wilayah kekuasaan Majapahit memang luas, tapi hampir tidak ada lagi ingatan kolektif masyarakat Indonesia tentang Majapahit.

Merujuk penuturan David Henley dalam "The Origins of Southeast Asian Nations" (The Oxford Handoob of the History of Nationalism, 2013), hal ini menjadi pembeda utama asal-usul kelahiran bangsa-bangsa modern di Asia Tenggara, yakni antara negara-negara yang berada di Asia Tenggara Daratan dan Asia Tenggara Kepulauan.

Sebagai contoh, meskipun Vietnam, Kamboja, dan Laos sempat bersatu sebagai negara kolonial bernama French Indochina, ketiganya tercerai-berai menjadi negara berbeda karena punya ingatan kolektif masing-masing yang merujuk pada kerajaan kolosal masing-masing wilayah.

Sebaliknya, wilayah-wilayah yang berada di Asia Tenggara Kepulauan penetapan garis batas wilayahnya dilakukan oleh para imperialis Barat, yang jauh berbeda dengan garis delimitasi yang ditetapkan kekuasaan kolosal yang sempat eksis di wilayah ini, seperti Majapahit atau Sriwijaya.

Hal ini dibuktikan dengan penggunaan nama beberapa wilayah di Asia Tenggara Kepulauan, semisal Malaysia dan Indonesia sebagai neologisme atau kata baru yang dikonstruksi dari bahasa-bahasa Eropa.

Setelah "diciptakan" oleh Barat, maka kesadaran nasional akhirnya lahir. Kesadaran yang tak bisa dirujuk pada kejayaan kekuataan kerajaan kolosal.

Infografik Mozaik Teritorial Indonesia

Infografik Mozaik Teritorial Indonesia. tirto.id/Tino

Bagi Agus Salim, "sejarah akal sehat" yang paling pas dijadikan patokan Indonesia merdeka adalah sama-sama menderita, atau satu penderitaan, di bawah belenggu Belanda dan Jepang. Maka, wilayah yang pas dijadikan teritorial Indonesia saat menyongsong kemerdekaannya adalah wilayah bekas jajahan Belanda, yakni Hindia Belanda.

Maka itu, menurutnya, tidak ada kekeliruan apapun menganggap Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia. Sebab, Papua Barat pun dijajah Belanda. Sebaliknya, jika "Imprium Indonesia" dikedepankan, kembali merujuk penuturan Taylor, Indonesia tak memiliki legitimasi konkret mengklaim kepemilikan Papua Barat.

Musababnya, meskipun kekuasaan Majapahit sampai hingga Papua, kekuasaannya hanya berada di garis pesisir, tidak sampai ke titik pusat Papua. Terlebih, menukil studi yang dilakukan Mohamad Rosyidin dalam "The Cult of Glory" (Southeast Asia Research, 2021) misalnya, inti kekuasaan kerajaan kolosal seperti Majapahit berbeda dengan kerajaan-kerajaan Barat.

Majapahit dan Sriwijaya tak terlalu peduli dengan teritorial, yang penting bagi mereka adalah kesetiaan. Dan jika kejayaan Majapahit dijadikan patokan membentuk Indonesia, sisi barat Jawa seharusnya memiliki hak tak ikut serta dengan Indonesia, karena pada puncak kejayaan Majapahit pada abad ke-14, mereka terbebas dari pengaruh Majapahit.

Langkah gegabah menjadikan Indonesia sebagai pewaris Majapahit, terang Jean Gerlam Taylor dalam Indonesia People and Histories (2003), sesungguhnya dapat dimengerti. Sebab, bertahun-tahun dibelenggu kekuatan luar, Indonesia berusaha membebaskan diri dari segala hal yang berbau imprealisme. Dan itu dirasa akan tetap melekat jika Indonesia merdeka hanya sebagai "bekas jajahan Belanda".

Dan menukil kembali penuturan Mohamad Rosyidin dalam "The Cult of Glory" (Southeast Asia Research, 2021), tidak rasionalnya menjadikan Majapahit sebagai pijakan Indonesia menata masa depan hanyalah usaha para pendiri bangsa yang mencoba memberi makna dan motivasi penduduk negeri ini mengapa Indonesia harus merdeka.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi