tirto.id - Pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesa (BPUPKI) sangat penting di masa pra proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Dari badan inilah Indonesia memiliki dasar negara yang perumusannya melalui jalan berliku. BPUPKI bekerja secara maraton hingga akhirnya mendapatkan hasil yang disepakati bersama melalui sidangnya.
Diawali dari kekalahan telak Dai Nippon dalam Perang Asia Timur Raya, membuat posisi Jepang sangat rumit termasuk mengambil tindakan di berbagai wilayah pendudukannya. Teruntuk Indonesia, Jepang menyadari wilayah ini nantinya menjadi sasaran pendudukan Sekutu setelah menyudutkan Jepang.
Perdana Menteri Jepang saat itu, Kuniaki Kaiso, lantas menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia “kelak di kemudian hari”. Namun pernyataan itu masih ambigu terkait uangkapan “kelak di kemudian hari”. Kaiso berharap dengan janjinya itu tidak sampai terjadi pemberontakan baru oleh rakyat Indonesia.
Untuk mendukung usulan Kaiso, pada 1 Maret 1945, Kumakichi Hurada selaku Jenderal Dai Nippon di Jawa menyatakan segera dibentuk badan baru bernama Dokuritsu Junbi Cosakai (George S. Kanahele, The Japanese Occupation of Indonesia, 1967:184).
Inilah yang kemudian menjadi waktu lahirnya BPUPKI yang merupakan nama lain dari Dokuritsu Junbi Cosakai. Awalnya sebenarnya akal-akalan Jepa ng saja untuk janji kemerdekaan. Namun akhirnya diresmikan pada 2 April 1945 dan anggotanya dilantik 28 Mei 1945.
Susunan anggotanya masih dipengaruhi Jepang. Dalam tubuh BPUPKI terdiri dari seorang kaico (ketua), 2 orang fuku kaico (ketua muda), dan 59 orang iin atau anggota.
Ketua BPUPKI dijabat oleh Radjiman Wediodiningrat yang merupakan penggagas organisasi Bud Utomo. Ketua Muda diserahkan pada Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yoshio sebagai wakil Jepang.
Lalu, 59 anggota didominasi orang Indonesia termasuk 4 orang golongan Cina, 1 orang golongan Arab, dan 1 orang peranakan Belanda. Ada pula 8 orang sebagai anggota kehormatan yang tidak punya suara tapi boleh ikut bersidang.
Selama masa kerja yang hanya beberapa bulan, BPUPKI melaksanan dua kali sidang resmi yaitu pada 29 Mei-1 Juni 195 dan 10-17 Juli 1945. Sementara sidang tidak resminya dilakukan saat masa reses 2 Juni-9 Juli 1945 yang dihadiri 38 anggota saja.
Pada sidang pertama BPUPKI, dibahas mengenai dasar negara. Dalam buku ajar PPKn Kelas VII Kemendikbud 2017, disebutkan para tokoh pendiri bangsa saling merumuskan dasar negara dan berbeda satu sama lain. Namun ada persamaan dari sisi materi dan semangat di dalamnya.
Ada 12 anggota berpidato pada sidang pertama. Muhammad Yamin adalah salah satunya yang menyampaikan 5 asas dasar negara yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Sementara itu Mr. Soepomo turut memberikan rumusannya di hari ketiga sidang dengan judul rumusan “dasar Negara Indonesia Merdeka”. Isinya adalah Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, serta Keadilan Sosial.
Lalu, pada 1 Juni 1945 atau hari terakhir, Ir. Soekarno menyampaikan rumusan lima sila. Isinya Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanggal 1 Juni lantas menjadi Hari Pancasila sampai sekarang.
Ketiga rumusan tersebut belum mencapai titik temu hingga dibentuklah Panitia Sembilan yang terdiri dari Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis. Mereka bersidang pada 22 Juni 1945. Hasilnya, muncullah Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisi:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Piagam Jakarta inilah yang kemudian menjadi lima sila dalam Pancasila. Pancasila menjadi dasar negara Indonesia. Atas kompromi yang dilakukan beberapa pihak kala itu, kalimat “menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus pada sila pertama.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dipna Videlia Putsanra