tirto.id - Pagi di Tirana, ibu kota Albania, dilanda kesunyian. Hari itu, 12 April 1985. Sejak pagi buta, warga mendengarkan kantor berita Albania yang mewartakan kematian Enver Hoxha, pemimpin tertinggi Albania cum Ketua Partai Komunis Albania.
"Pengumuman resmi mengatakan bahwa Tuan Hoxha meninggal pada pukul 02:15 pagi. Dia menderita gangguan jantung sejak tahun 1973 akibat diabetes yang telah dia lawan sejak tahun 1948," tulis The New York Times edisi Jum'at, 12 April 1985.
Sejak saat itu, bendera Albania mulai dipasang setengah tiang di Tirana. Jenazah Hoxha disemayamkan Aula Presidium Majelis Rakyat Nasional sebelum akhirnya dimakamkan di Permakaman Martir Tanah Air.
Selama empat dekade berkuasa, Hoxha mewariskan fondasi komunisme bagi Albania. Manifestasi kebijakan politiknya seperti persempitan ruang gerak bagi kaum religius, pengisolasian Albania dari dunia internasional, teror polisi berdarah terhadap masyarakat sipil, dan pembersihan besar-besaran terhadap lawan-lawan politiknya menjadi corak khas komunisme ala Hoxha.
Setelah kematiannya, masyarakat mulai mencercanya diikuti pamor Partai Komunis Albania yang menurun dan proses demokratisasi politik dalam negeri yang melahirkan oposisi.
"Saya meminta orang-orang untuk memaafkan saya. Saya tidak dapat menyangkal bahwa kesalahan telah dibuat dan Enver [Hoxha] memiliki tanggung jawabnya sendiri sebagai pemimpin utama," ujar Nezhmije—janda Hoxha, saat sidang kongres Partai Komunis Albania, mengutip The New York Times edisi 12 Juni 1991.
"Karyanya bukan Alkitab atau Al-Qur'an, dan kami bukan penganut dogmatis. Akan tetapi, karya Enver [untuk Albania] tidak boleh ditolak sama sekali walaupun telah usang," imbuh perempuan yang wafat pada 2020 lalu.
Anak dari Keluarga Kelas Menengah
Kehidupan Enver Hoxha dimulai pada 16 Oktober 1908 di Gjirokastra, Albania. Ia anak dari keluarga muslim pedagang pakaian. Hoxha (diucapkan Hod-ja) mendapat kesadaran politik untuk pertama kalinya ketika makan malam bersama pamannya.
Penulis terkenal Albania yang lahir dan besar di Gjirokastra, Ismail Kadare, sebagaimana dikutip Blendi Fevziu dalam Enver Hoxha: The Iron Fist of Albania(2016, hlm. 11), mendeskripsikan bagaimana keluarga dan tempat tinggal Hoxha tidak pernah dianggap sebagai bagian dari lingkaran kota yang menonjol.
Saat mencapai puncak kekuasaannya, Hoxha justru melakukan penulisan ulang terhadap sejarahnya diri sendiri. Ia berusaha membangun citra dirinya sebagai keturunan keluarga yang berpengaruh dari Gjirokastra.
"Itu terdengar agak tidak biasa mengingat komunis biasanya berusaha keras untuk membuktikan asal-usul mereka yang sederhana dengan orang biasa, seperti kelas buruh dan kaum tani," catat Blendi Fevziu (2016, hlm. 10).
Hoxha sekolah di lycée (setara SMA) di Korça pada 1927. Musim panas 1930, ia berhasil menuntaskan studinya dan bertolak menuju Tirana (Fevziu: 2016, hlm. 17).
Alih-alih berlibur di ibu kota, tujuan utamanya justru mencari Eqrem Libohova, Menteri Luar Negeri Albania saat itu. Eqrem pernah menjanjikan Hoxha sebuah beasiswa untuk studi botani di Montpellier, Prancis. Penagihannya berhasil, Hoxha langsung terbang menuju Montpellier (Fevziu: 2016, hlm. 18).
Menurut laporan The New York Times edisi 26 Oktober 1961, kontak pertama Hoxha dengan ide komunisme terjadi ketika ia bertemu dengan redaktur koran corong Partai Komunis Prancis, L' Humanité. Pada periode ini, Hoxha menulis serangkaian artikel tentang Albania untuk koran tersebut.
Sembari mengambil kursus hukum di Universitas Brussels, Hoxha diangkat sebagai sekretaris Konsulat Jenderal Albania di Brussels pada 1934. Sepanjang periode menjadi pejabat pemerintah, ia terus menulis artikel untuk L' Humanitê dengan nada yang semakin kritis terhadap pemerintah Albania. Ujungnya, pada 1936, penunjukan konsulatnya berakhir.
"Bagaimanapun, Hoxha kembali ke Albania dan menjadi profesor bahasa Prancis di sekolah Korça, serta tetap melanjutkan serangan terhadap pemerintah yang mengakibatkan ia ditangkap atas tuduhan konspirasi pada awal 1939," tulis The New York Times masih edisi yang sama.
Dari Bawah Tanah ke Kursi Istana
Pada akhir 1939, militer Italia di bawah Mussolini menganeksasi Albania dan membentuk pemerintahan boneka.
Hoxha bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain dan menjalankan politik dari bawah tanah. The New York Times edisi 12 April 1985 menyebut bahwa di tengah situasi genting Hoxha mendirikan dan menjadi pemimpin Partai Komunis Albania (CPA) pada 1941.
Ia menjalankan bisnis tembakau di Tirana dengan dalih untuk mendapatkan informasi yang menguntungkan bagi kegiatan partainya.
"[...] militer Italia tidak pernah menangkapnya, tetapi terkadang dia harus pergi ke pergunungan tertentu untuk menerima bantuan dari seorang perwira Soviet yang mendarat di Albania menggunakan parasut serta petugas penghubung dari Inggris dan Amerika," tulis The New York Times edisi 12 April 1985.
Setelah Italia menyerah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II, kekuatan gerilya komunis yang berjumlah 70 ribu orang yang dihimpun Hoxha memproklamasikan pemerintahan sementara pada Oktober 1944.
Saat itu, Hoxha telah berpangkat jenderal. Ia menduduki langsung jabatan perdana menteri dan menteri pertahanan. Pemerintahan ini diakui oleh Sekutu pada tahun 1945 dengan pemahaman bahwa pemilihan bebas akan diadakan.
Pertemuan dengan Stalin
Pada 14 Juli 1947, untuk pertama kalinya sebagai delegasi dari Republik Rakyat Albania dan Partai Komunis Albania, Hoxha mengunjungi Uni Soviet. Ia sangat ingin bertemu dengan Stalin.
Dalam With Stalin: Memoirs from my Meetings with Stalin (1981), Hoxha menggambarkan betapa “antusias dan tak terlukiskan ketika melihat Stalin yang agung.”
“Saat pertama kali bersentuhan dengan teori Marxisme-Leninisme, kami selalu bermimpi baik siang maupun malam untuk bertemu dengan Stalin,” kenangnya.
Pertemuannya dengan Stalin banyak membicarakan kondisi ekonomi, politik, dan sosial di negara masing-masing. Sesekali Stalin memuji Hoxha sembari memberi saran kepadanya. Di tengah pembicaraan, Stalin menyarankan agar Partai Komunis Albania berganti nama menjadi Partai Buruh Albania.
Pertemuan dengan Stalin kembali diadakan pada Maret-April 1949. Kali ini Hoxha mengkhawatirkan pengaruh “kepemimpinan Trotskyis” Yugoslavia terhadap Partai Buruh Albania.
"Partai telah bertahun-tahun menghadapi aktivitas persekongkolan dari orang-orang [Josip Broz] Tito, arogansi dan intrik utusan Tito, seperti Vukmanovich-Tempo dan Dushan Mugosha," ujarnya.
"Agen Tito juga menyelundup di jajaran petinggi Partai Buruh Albania," tambahnya.
Dua tahun kemudian, Hoxha membicarakan lagi masalah Tito dengan Stalin. Kali ini, menurut Hoxha, politik Tito kian mengarah kepada sikap anti-Albania.
Menurut Hoxha, rumor bahwa Soviet akan menyerang Yugoslavia juga adalah buatan Tito.
Dalam artikelnya untuk memperingati seabad ulang tahun Stalin, Hoxha kembali mengingat ucapan pada Stalin tahun 1951, “Kami adalah komunis dan tidak akan pernah menyerang negara asing mana pun, termasuk Yugoslavia, tetapi kami akan membeberkan kemunafikan Tito dan kaum Tito karena itulah tugas kita sebagai Marxis.”
Oktober 1952, Hoxha berjumpa dengan Stalin untuk terakhir kalinya. Saat itu tengah berlangsung Kongres ke-19 Partai Komunis Uni Soviet.
“Di sana untuk terakhir kalinya aku melihat Stalin yang tak terlupakan. Untuk terakhir kalinya pula mendengar suaranya yang hangat dan menginspirasi,” kenangnya.
Jalan Berdarah Menuju Sosialisme
Kekagumannya pada Stalin mengantarkan Hoxha untuk menjiplak model pembangunan ekonomi ala Stalin.
"...percepatan untuk konstruksi basis ekonomi sosialis untuk mengubah Albania dari negara agraris menjadi industrial-agraris," terang Hoxha.
Hasilnya mencengangkan. Volume total produksi industri meningkat 179 persen dibanding tahun 1950. Sebanyak 17.152 rumah baru telah dibangun di sepanjang perdesaan Albania.
Tak hanya itu, program jaminan sosial pun berjamuran, seperti kesehatan dan pendidikan universal, asuransi, dan pensiun. Hal itu diikuti juga dengan "peningkatan jumlah pekerja dan anak-anak yang menghabiskan liburannya di rumah peristirahatan."
Namun, di tengah gemerlapnya prestasi tersebut, harus ada yang ditumbalkan guna mencapai sosialisme.
Pada 1948, seperti dilansir The New York Times edisi 12 April 1985, hampir separuh dari 31 anggota Komite Sentral telah dibunuh pada tahun-tahun berikutnya.
Aleksandra Bogdani dalam artikel "Victims of Albanian Communism Struggle for Closure" menyatakan, Hoxha juga membangun penjara-penjara yang lebih kecil dalam suatu penjara besar.
"Musuh negara dikirim ke kamp penjara, meniru gulag Stalin. Para narapidana dipaksa bekerja di proyek pertambangan dan konstruksi pemerintah, serta banyak yang meninggal akibat kondisi yang memprihatinkan," tulis Bogdani.
Secara statistik, Albania yang berpenduduk tiga juta jiwa kala itu, "hampir satu dari setiap 15 orang memiliki anggota keluarga yang dipenjara atau digusur oleh komunis."
Dari beribu-ribu korban, Mehmet Sheshu adalah salah satunya. Menurut The Washington Post edisi 12 April 1985, ia adalah kolega politik terdekat Hoxha selama 27 tahun. Nahas, pada 1981 ia dinyatakan tewas bunuh diri akibat nervous distress.
Banyak desas-desus menduga bahwa kematian Sheshu bukan karena bunuh diri, melainkan dibunuh. Ini semakin diperkuat ketika Hoxha mengatakan, "Sheshu adalah pengkhianat yang bekerja untuk agen rahasia Amerika Serikat, Soviet, dan Yugoslavia".
Pengorganisasian yang terstruktur untuk membunuh mereka yang dianggap sebagai musuh negara tidak bisa lepas dari peran “sigurimi” atau polisi rahasia.
“Jenderal Hoxha telah berhasil menjaga kekuasaannya berkat itu (sigurimi),” tulis The New York Times edisi 26 Oktober 1961.
Dritero Agolli, seorang penyair Albania yang pernah kagum terhadap revolusi komunis Albania, merasakan paranoia atas kehadiran sigurimi.
“Tradisi negara kita dihancurkan,” ucapnya seperti dikutip The New York Times edisi 12 Juni 1991. “Orang-orang menjadi takut satu sama lain, dan mereka melihat mata-mata pada setiap orang.”
Sebelumnya Dritero berujar bahwa “perjuangan kelas Albania menghasilkan kultus Hoxha, partai, dan organ keamanan”.
Tak lama, ia juga mengkritik orang-orang di sekeliling Hoxha. “Orang-orang tinggi ini, kulitnya sangat berkilau karena makanan yang mereka makan,” katanya, “di vila rahasia mereka menjadi tak peduli terhadap kemiskinan rakyat.”
Hoxha berada di menara gading kekuasaan hingga kematian menjemputnya pada 12 April 1985.
Penulis: Alvino Kusumabrata
Editor: Irfan Teguh Pribadi