tirto.id - Tatkala Indonesia mencapai kemerdekaan setelah Perang Dunia II, peran Partai Komunis Indonesia (PKI) jauh di bawah harapan para pemimpin Uni Soviet. Sebagai akibat dari keterlibatan sekelompok anggota PKI dalam pemberontakan 1948, yang lazim disebut Peristiwa Madiun, PKI dihancurkan tetapi secara resmi tidak dibubarkan.
Para pemimpin dan anggota PKI yang masih hidup berupaya untuk mempertahankan apa yang masih tersisa di dalam partai. Tetapi, PKI yang baru saja dipersatukan itu pecah lagi ke dalam beberapa organisasi dan partai yang saling terpisah, meskipun sebenarnya beroperasi di bawah kendali (Comite Central) PKI Sementara.
Dalam hal ini, ada satu pertanyaan penting dan mengusik: Apakah Moskow terlibat dalam kebangkitan kembali PKI, baik secara organisasional maupun ideologis?
Dalam artikelnya, “Stalin and the Revival of the Communist Party of Indonesia”, yang dimuat di jurnal Cold War History (Vol. 5, No. 1, February 2005: 107-120), sejarawan Larissa M. Efimova berusaha menjawab pertanyaan itu. Ia meneliti berbagai dokumen yang ditemukan dalam arsip milik Joseph Stalin (1878-1953), pemimpin besar Soviet. Berdasarkan penelusuran Efimova, dokumen-dokumen tersebut sepenuhnya menolak pendapat sarjana terdahulu, yang menyatakan bahwa Moskow tidak menaruh perhatian terhadap PKI.
Dokumen-dokumen tersebut mengungkapkan bahwa Uni Soviet memberi perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia secara umum, dan nasib komunisme Indonesia secara khusus. Bahkan Stalin berperan langsung dalam proses pembahasan dan pematangan program baru bagi PKI, yang tengah dirumuskan tokoh-tokoh PKI sendiri maupun bekerjasama dengan para tokoh Partai Komunis Cina (PKC).
Stalin dengan cermat membaca laporan-laporan dan memberikan tanggapan dengan penuh perhatian. Dia menyodorkan rumusan-rumusan dan pelbagai saran perbaikannya sendiri dan mendedahkan pandangan-pandangannya secara rinci.
Menyingkap Intisari Dokumen
Menurut Efimova, dokumen-dokumen itu juga menerangkan keberadaan sekelompok anggota PKI di Beijing. PKI di bawah perlindungan PKC ini hampir tidak pernah disebut dalam historiografi Indonesia. Kelompok Beijing inilah yang memprakarsai strategi dan taktik baru PKI. Sebagaimana dengan bernas muncul dalam dokumen Stalin, komunis Cina menganggap Tan Ling Djie, pimpinan lama PKI dari era 1940-an, sebagai tokoh sentral partai itu. Melalui orang inilah PKC memelihara kontak dengan PKI.
Tan Ling Djie menjadi narahubung utama masuknya pengaruh politis dan ideologis PKC ke dalam PKI. Pengaruh kuat perjuangan revolusioner model Cina ini tampak jelas dalam program pertama PKI pada masa awal kebangkitan kembali (pasca-Peristiwa Madiun).
Setelah Peristiwa Madiun, beberapa tokoh PKI pergi ke Cina, sehingga PKI tetap bisa menjalin kontak dengan PKC. Melalui kader bernama Kando alias Muriono, salah satu orang yang berangkat ke Cina, PKI mengajukan proposal kerja sama kepada PKC bertanggal 6 Oktober 1950.
Proposal itu kemudian dikirim Sekretaris CC PKC Liu Shaoqi kepada Stalin untuk meminta pendapat pemimpin Soviet tersebut. Ini menandakan bahwa komunis Cina maupun Indonesia membutuhkan persetujuan dan dukungan CC Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), dan terutama dari Stalin. Di sini, komunis Cina berperan sebagai makelar.
Pada 12 Oktober 1950, Duta Besar Soviet untuk Cina, Nikolai Roshchin, mengirimkan sebuah telegram rahasia kepada Filippov (nama samaran Stalin). Roshchin mengabarkan kepada Stalin bahwa dia telah menerima pesan mengenai permohonan kerja sama oleh CC PKI kepada CC PKC. Dan CC PKC melaporkan serta meminta pendapat CC PKUS mengenai hal itu dengan melampirkan surat proposalnya.
Proposal itu diawali dengan kata-kata berikut: "Setelah mempelajari pengalaman Revolusi Cina yang berhasil, kami mengajukan usulan sebagai berikut ini untuk CC PKI." Selanjutnya dipaparkan sejarah singkat keberhasilan dan kegagalan PKI, mulai dari pemberontakan 1926-1927 hingga Peristiwa Madiun, yang juga berakibat pada kekalahan PKI.
Dokumen ini kemudian menggambarkan situasi rumit yang dihadapi PKI, di mana kekuasaan Republik Indonesia berada di tangan pemerintahan reaksioner antek imperialis Amerika Serikat dan Belanda. Tentu saja, imperialisme AS akan menggiring Indonesia ke dalam pengaruhnya.
Arsip ini menyebutkan juga bahwa di dalam negara Indonesia, kekuatan-kekuatan feodal masih belum berubah. Selama perang, sekelompok kapitalis komprador-feodal tetap berkuasa, dipimpin klik Sukarno-Hatta, yang mencapai dominasi dengan bersandar pada tuan tanah feodal dan membangun kontak dengan kaum imperialis. Dokumen ini menganggap pula bahwa kemerdekaan Republik Indonesia masih sebatas di permukaan dan para pemimpin Republik tetap melindungi dominasi kaum imperialis.
Jika dokumen itu ditilik lebih jauh, terang bahwa para perancangnya sangat terpengaruh oleh pengalaman Revolusi Cina dan pemikiran para pemimpin PKC. Banyak doktrin khas PKC yang mencolok di situ.
Stalin membaca laporan itu dengan cermat, menggarisbawahi beberapa bagian, dan membuat banyak catatan pinggir. Dalam reaksi Stalin, dengan jelas bisa dilihat sikapnya terhadap PKI dan atas proposal para pemimpin komunis Indonesia dan Cina tersebut. Catatan pertama Stalin berkaitan dengan tugas pokok PKI, yang berfokus pada perlunya menelanjangi kepalsuan kemerdekaan Indonesia. "Dan bagaimana dengan persoalan agraria?" lanjut Stalin, karena tidak satu kata pun dalam proposal yang menyinggung persoalan ini.
Lebih jauh, Stalin menandai kata-kata tentang perlunya "revolusi bersenjata melawan kontrarevolusi bersenjata" dan "penciptaan tentara pembebasan-nasional nan kuat dan setia." Pada bagian yang memaparkan perlunya "mengusir semua kekuatan imperialis Belanda, Amerika, dan Inggris dari Indonesia", Stalin menambahkan: "Nasionalisasikan perusahaan-perusahaan mereka!"
Mengenai proposal tentang "penggulingan dominasi kaum reaksioner dalam negeri yang menjadi antek-antek imperialis dan digantikannya mereka oleh pemerintahan koalisi demokratis", Stalin berseru: "Salah!" Stalin mengajak mereka untuk "bergabung dengan Uni Soviet, Cina, dan negara-negara demokrasi rakyat."
Stalin setuju bahwa revolusi di Indonesia akan berhasil hanya setelah melalui perjuangan yang keras, panjang, dan sungguh-sungguh. Tapi bagi Stalin, tujuan PKI tetaplah kabur. Di bagian kata-kata "memimpin revolusi sampai tujuan tercapai", dia menulis sebuah pernyataan: "Maksudnya apa?" Ia menekankan pentingnya menguasai cara-cara kerja ilegal dan setuju pada ajakan untuk secara legal "melakukan aktivitas parlementer di semua bidang", seraya berkomentar: "Benar!"
Stalin mendukung rencana intensifikasi kerja di serikat-serikat buruh, mengingat pentingnya kerja ini bukan dalam serikat buruh resmi, tetapi serikat buruh independen. Sarannya kepada kaum komunis Indonesia, yang bermaksud menyusupkan agen-agennya ke dalam "tentara reaksioner", adalah "mempenetrasi prajurit".
Perihal persoalan membebaskan wilayah-wilayah dari dominasi kaum reaksioner dan penciptaan unit-unit gerilyawan, Stalin menanggapi: "Harus dijalankan secara lihai". Dia juga menggarisbawahi kata-kata mengenai penciptaan front nasional yang diperluas, tentang daya pikat PKC terhadap kinerja di kalangan penduduk keturunan Cina di Indonesia, dan bagian-bagian lain.
Gagasan memindahkan pengalaman Revolusi Cina ke Indonesia sama sekali tidak didukung Stalin. Dia menolak saran penciptaan gelombang baru perjuangan bersenjata kaum komunis Indonesia. Stalin hanya menyetujui usulan-usulan praktis yang operasional buat kerja-kerja PKI di kalangan massa, serta di kalangan organisasi-organisasi yang legal, lebih khusus lagi menunjuk pada pentingnya menggarap persoalan agraria bagi kaum komunis Indonesia.
Namun, Stalin memutuskan bahwa dia tidak bisa mengungkapkan pendapatnya atas dokumen tersebut secara seketika, karena dia merasa tidak cukup memahami dengan baik situasi ekonomi yang sedang berlangsung di Indonesia. Tanpa pengetahuan yang memadai, sulit baginya untuk menulis masukannya secara benar.
Dia lalu meminta kepada Liu Shaoqi agar disediakan bahan-bahan informasi tentang masalah komunis di Indonesia. Stalin mengisyaratkan bahwa dia akan puas bahkan dengan data kasar sekalipun. Sebuah telegram rahasia yang memuat permintaan ini dikirim ke Cina pada 26 Oktober 1950.
PKI Menanggapi Stalin
Tanggapan Liu Shaoqi dan bahan-bahan mengenai struktur ekonomi dan sosial Indonesia diterima di Moskow pada 23 November 1950. Setelah mempelajari semua bahan itu, Stalin benar-benar menyampaikan jawabannya. Pada Januari 1951, dengan tulisan tangan, Stalin memberi tanggapan dan pelbagai komentarnya atas program untuk CC PKI tersebut.
Singkat kata, Stalin menyarankan kepada PKI agar fokus pada kerja-kerja praktis terkait kebutuhan sehari-hari serta kepentingan buruh, petani, dan intelektual pekerja, termasuk penggalakan pendidikan massa rakyat dan organisasi partai. Stalin menganjurkan agar PKI tidak usah, dalam waktu dekat, memasukkan rencana aksi yang tidak realistis seperti mengambilalih kekuasaan dengan cara-cara militer ke dalam agenda kerjanya.
Telegram rahasia yang memuat komentar-komentar Stalin itu dikirim kepada Dubes Soviet di Beijing pada 3 Februari 1951. Pukul 22.00 di hari yang sama, Dubes itu secara pribadi menyerahkannya kepada Liu Shaoqi. Namun, sesudah penyerahan telegram itu, pihak Cina berubah menjadi diam membisu cukup lama. Stalin bahkan terpaksa harus menanyakan langsung kepada Mao Zedong.
Pada 5 April 1951, jawaban Liu Shaoqi yang ditujukan kepada Stalin tiba. Dalam pesannya, Liu Shaoqi menyatakan dukungan penuh atas segala pengarahan Stalin kepada PKI, dan berjanji melakukan yang terbaik untuk menyampaikannya kepada pimpinan PKI. Shaoqi menjelaskan tertundanya tanggapan ini karena, menurut informasi yang diterima CC PKC, Politbiro PKI menyelenggarakan pertemuan rahasia pada 6 Januari 1951. Rapat itu memutuskan reorganisasi pimpinan PKI. Dia kemudian berjanji mengirimkan keputusan CC PKI yang diterima PKC kepada Stalin.
Pimpinan baru PKI, yang diketuai kader muda bernama Dipa Nusantara Aidit, secara bertahap menjalin kontak dengan kaum komunis Cina. Baru setelah hal ini jelas, para pemimpin PKC dapat menyampaikan rekomendasi Stalin kepada Politbiro CC PKI yang baru. Sialnya, komentar-komentar Stalin sampai ke tangan para pemimpin komunis Indonesia dalam waktu yang lama.
Para pemimpin baru PKI tidak serta merta menyetujui rekomendasi pemimpin Soviet itu. Diskusi panjang antara anggota CC PKI dengan Stalin pun terjadi, baik secara tertulis maupun ketika berlangsung pertemuan pribadi antara kedua pihak.
Akhirnya, Stalin pun berhasil meyakinkan para pemimpin PKI perihal kebenaran komentar-komentarnya. Ide-ide pokok yang dikemukakan Stalin dalam berbagai diskusi dengan para pemimpin PKI itu selanjutnya dimasukkan ke dalam program aktual PKI yang dirumuskan pada 1954, serta tampak dalam artikel dan pidato Aidit.
Minat dan perhatian Stalin kepada PKI sebagai pemimpin potensial gerakan pembebasan nasional di Indonesia juga terlihat dalam kebijakan Uni Soviet. Kebijakan ini tetap konsisten dengan tujuan Stalin: bantuan kepada rakyat Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan, mencegah pengaruh Belanda, dan, yang terpenting, mencegah kontrol Amerika Serikat atas Indonesia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan