tirto.id - Februari 1960 menjadi bulan paling bersejarah bagi hubungan diplomatik Indonesia dan Uni Soviet. Untuk pertama kalinya setelah perang, Uni Soviet dengan diwakili Perdana Menterinya, Nikita Sergeyevich Khrushchev, berkunjung secara resmi ke Indonesia. Tak tanggung-tanggung, ia beserta rombongan menghabiskan waktu di Indonesia selama dua pekan.
Selain Jakarta, Khrushchev juga berkunjung ke berbagai tempat, antara lain Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Selama kunjungan, sambutan meriah ditunjukkan pemerintah Indonesia dan rakyatnya, meski sempat muncul nada sumbang pada kehadiran kepala pemerintahan negara komunis terbesar di dunia saat itu.
Khrushchev beserta rombongan tiba di Indonesia pada 18 Februari 1960 di Lapangan Udara Kemayoran, Jakarta. Kedatangan mereka disambut meriah Presiden Sukarno beserta jajaran kabinet. Malam harinya, pemerintah Indonesia mengadakan jamuan makan malam di Istana Merdeka.
Keakraban Indonesia dan Uni Soviet
Dalam pidato sambutan acara jamuan makan malam, seperti dikutip dari "Inventaris Arsip Pidato Presiden RI 1958-1967, Pidato P.J.M. Presiden Sukarno" koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Sukarno mengatakan bahwa kedatangan Khrushchev merupakan simbol persahabatan Indonesia dengan Uni Soviet.
Bagi Sukarno, Khrushchev adalah simbol perdamaian dunia, seorang tokoh yang konsisten menentang kolonialisme dan imperialisme, sejalan dengan apa yang diperjuangkan Sukarno dan pemerintahannya.
Melalui pidatonya, Sukarno juga menekankan bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan, masyarakat adil dan makmur, dan perdamaian.
“Memang perjuangan rakyat Indonesia yang telah berjalan berpuluh-puluh tahun ini bisa dimasukkan dalam tiga kerangka,” ungkap Sukarno.
Pertama, adalah perjuangan membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme dan mendirikan satu negara Republik Indonesia yang merdeka seratus persen. Kedua, membangun Republik Indonesia sebagai satu masyarakat adil dan makmur, tanpa penghisapan manusia kepada manusia. Ketiga, meletakkan Republik Indonesia dalam hubungan persahabatan dengan semua bangsa-bangsa di muka Bumi.
Menanggapi pidato sambutan Sukarno, seperti termaktub dalam "Inventaris Arsip Pidato Presiden RI 1958-1967, Pidato P.J.M. Perdana Menteri Khrushchev" koleksi ANRI, Khrushchev mengapresiasi sambutan pemerintah dan rakyat Indonesia atas kedatangannya dengan pidato yang tak kalah meriah. Ia memperkuat apa yang disampaikan Sukarno bahwa Uni Soviet selalu menaruh simpati pada bangsa-bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan.
Sebelum menutup sambutannya, Khrushchev mencoba membandingkan kekayaan yang dimiliki negerinya dengan apa yang dimiliki Indonesia. Ia berucap bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya raya, tetapi menurut dia negerinya juga tidak kalah kaya.
“Segala sesuatu yang dipunyai oleh Indonesia juga dipunyai oleh Uni Soviet, barangkali dengan pengecualian buah-buahan yang lezat sekali di sini, dan satu perbandingan lagi, kami di Uni Soviet ada banyak salju, di Indonesia tidak ada sama sekali,” kata Khrushcev, yang disambut gelak tawa hadirin dalam jamuan makan itu.
Di akhir pembicaraan, Khrushcev berseloroh, “Tetapi saya tidak mau menyembunyikan bahwa juga ada perselisihan antara saya dengan sahabat saya Bung Karno. Dan malahan perselisihan itu barangkali bisa tumbuh kalau saya diberikan tekanan terus. Perselisihan itu antara lain adalah bahwa di sini banyak sekali makanan dan saya dipaksakan terus agar makan semua.”
Dicibir Gara-Gara Komunis
Sehari kemudian, rombongan dari Negeri Beruang Merah itu dibawa Sukarno mengunjungi proyek pembangunan kompleks Asian Games 1962 di Kebayoran Baru, Jakarta. Kunjungan itu juga sebagai bentuk ucapan terima kasih atas bantuan pemerintah Uni Soviet berupa pinjaman berbunga rendah dan technical experts untuk membangun fasilitas Asian Games.
Dalam "Inventaris Arsip Pidato Presiden RI 1958-1967, Pidato P.J.M. Sukarno Pada Kunjungan P.M. Khrushchev di Kompleks Asian Games" koleksi ANRI disebutkan, Khrushchev diberi kehormatan untuk memancangkan pancang beton nomor seratus bagi landasan stadion utama.
Pada kunjungan ke Surabaya, 22 Februari 1960, Khrushchev mendapat sambutan meriah dari rakyat ibu kota Jawa Timur itu. Diperkirakan satu juta manusia menyambut kedatangannya. Namun, kedatangan Khrushchev juga memunculkan cibiran dari sebagian orang.
“Saya tadi mendengar ucapan seseorang; olah apa, Bung Karno iki nggawa komunis nang kene? (Mengapa Bung Karno membawa orang Komunis kemari?). Saya bertanya, lantas mau apa? Apa orang komunis itu setan? Tidak saudara-saudara, sama-sama manusia dengan kita, apalagi Perdana Menteri Khrushchev pemimpin daripada satu negara yang bersahabat dengan kita, pemimpin negara daripada negara yang rakyatnya berjumlah 212 juta manusia,” terang Sukarno dalam sambutannya ketika rombongan Khrushchev tiba di Surabaya (ANRI, "Inventaris Arsip Pidato Presiden RI 1958-1967, Pidato P.J.M. Sukarno Pada Kunjungan P.M. Khrushchev di Surabaya", nomor arsip 168).
Melanjutkan tanggapannya atas omongan miring tersebut, Sukarno melempar guyonan.
“Coba lihat Perdana Menteri Khrushchev yang tadi berdiri di hadapan saudara-saudara orangnya tidak tinggi, malahan rada-rada lemu (agak gemuk), amat sederhana sekali. Jadi sebenarnya, maaf, seribu maaf, manusia sederhana yang duduk di belakang saya ini yang badannya pendek, maaf seribu maaf, agak gemuk, beliau mewakili rakyat Soviet ditambah dengan rakyat negara-negara sosialis lain, paling sedikit 1.000 juta manusia. Tidakkah kita bangga bahwa kita didatangi oleh orang yang mewakili 1.000 juta manusia?”
Berharap Persahabatan yang Kekal
Seusai menyelesaikan kunjungan di Surabaya, rombongan Khrushchev bergerak menuju Bali. Pada 25 Februari 1960, rombongan sampai di Denpasar. Sepanjang jalan, tak kalah dengan daerah lain, rakyat Bali menyambut kedatangan rombongan dari Uni Soviet itu dengan gegap gempita.
Setelah mengunjungi Bali, tamu rombongan kembali ke Jakarta dan menuntaskan lawatan kenegaraan Uni Soviet di Indonesia pada 1 Maret 1960. Khrushchev dan rombongan kembali bertolak ke negerinya melalui Lapangan Udara Kemayoran, Jakarta.
Dalam sambutan penutup, Khrushchev mengatakan bahwa persahabatan Indonesia dan Uni Soviet akan semakin erat karena persamaan cita-cita dan tekad. Atas dasar itulah persaudaraan dua negara ini akan terus berdiri teguh.
“Dan oleh karena dasar-dasar yang objektif, maka saya yakin persahabatan Indonesia dan Uni Soviet akan berlangsung kekal,” ujar Khrushchev.
Pidato tersebut disambut baik oleh Sukarno. Presiden pertama RI itu menyatakan:
“Antara Moskow dan Jakarta terpisah jarak kurang lebih 10 ribu kilometer, tetapi dengan teknik modern telah membuat jarak itu menjadi amat pendek. Lebih daripada itu, cita-cita yang sama [...] Dengan adanya cita-cita yang sama, rasa simpati yang kuat, rasa cinta yang mendalam itu, maka kami rasakan jarak Moskow dan Jakarta menjadi dekat. Moga kita bertemu kembali, hiduplah persahabatan Uni Soviet-Indonesia.”
Tujuh tahun setelah kunjungan Khrushchev, Sukarno dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden. Suksesornya, Soeharto yang anti-komunis, memutus hubungan persahabatan dan diplomatik dengan Uni Soviet. Berpuluh tahun kemudian, pada awal 1990-an, hubungan tersebut dipulihkan kembali setelah rezim komunis Uni Soviet runtuh.
Penulis: Faishal Hilmy Maulida
Editor: Ivan Aulia Ahsan