Menuju konten utama

Panas-Dingin Hubungan Indonesia-Rusia

Selama ini hubungan Indonesia dengan Rusia mengalami pasang surut terkait ideologi. Saat KTT ASEAN-Rusia di Sochi, Jokowi bertemu dengan Putin dan membahas hubungan bilateral dalam bidang pertahanan dan investasi. Akankah Jokowi-Putin membawa hubungan kedua negara menjadi lebih erat?

Panas-Dingin Hubungan Indonesia-Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Indonesia Joko Widodo menghadiri upacara penandatanganan setelah pertemuan di kediaman resmi Bocharov Ruchei di Sochi, Rusia, Rabu (18/5). Antara Foto/Reuters/Sergei Karpukhin

tirto.id - Kita sudah tak asing lagi dengan adagium “Dalam dunia politik tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi." Begitu pula hubungan Indonesia dengan Rusia.

Hubungan Indonesia dengan Rusia tak bisa dibilang dekat setelah Soeharto berada di tampuk kekuasaan sejak 1966. Tapi runtuhnya Soviet dan berubahnya peta politik Indonesia setelah reformasi mengubah pola itu. Termasuk di era Jokowi.

Saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Rusia berlangsung di Sochi, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Keduanya membahas hubungan bilateral dalam bidang pertahanan, penanganan illegal fishing, investasi bidang infrastruktur dan energi di Indonesia.

Presiden Joko Widodo juga menandatangani kerjasama perdagangan senjata antara kedua negara. Hal ini dilakukan karena Rusia merupakan eksportir senjata terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Bahkan di tahun 2015, Rusia telah mengekspor senjata senilai lebih dari $15 Miliyar.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dalam Russia Beyond the Headlines, mengatakan bahwa Rusia merupakan mitra penting bagi Indonesia. Dengan Rusia, Indonesia mampu mendirikan kemitraan strategis pada 2003. Selain itu, Menteri Retno juga melihat Indonesia dan Rusia dihadapkan pada posisi yang sama yaitu menjaga perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.

Hubungan Indonesia dan Rusia pada dasarnya telah terjalin sejak lama bahkan sebelum Rusia dikenal dengan Uni Soviet dan akhirnya runtuh pada tahun 1991, sekaligus mengakhiri periode Perang Dingin.

Awal Hubungan Indonesia-Rusia

Vladimir I Braginsky, doktor sastra Indonesia dan Malaysia di School of Oriental and African Studies, University of London, Inggris menyebutkan, pada mulanya orang-orang Rusia memendam kekaguman terhadap kawasan Nusantara semenjak abad ke 11. Namun kekaguman itu bersifat misterius karena mereka sendiri tidak tahu dimana gerangan Nusantara berada, tulis Tomi Lebang dalam bukunya Sahabat Lama, Era Baru (2010).

Lebang menyebut bahwa pengetahuan masyarakat Rusia soal Indonesia kebanyakan berasal dari mitos. Mitos itu berupa kepercayaan bahwa kepulauan Nusantara sebagai Taman Eden, yang memiliki kekayaan berupa emas dan batu berharga lainnya.

Pada 1846-1888, peneliti antropologi asal Rusia Miklouho-Maclay melakukan ekspedisi ke Filipina, Papua Nugini, dan Papua yang kelak menjadi wilayah Indonesia. Bahkan pada November 1878, pemerintah Belanda berdasarkan rekomendasi dari Maclay menghentikan jalur perdagangan manusia di Ternate dan Tidore.

Ketika Indonesia masih di bawah jajahan Belanda, Kekaisaran Rusia sudah menempatkan seorang konsul pertama (dan terakhir) di Batavia (kini Jakarta) yaitu Modest M. Bakunin. Ia memegang jabatan itu pada periode 1894-1899. Saat masa tugasnya di Batavia usai, ia menerbitkan memoar setebal 456 halaman berjudul Negeri Belanda Tropika: Lima tahun di pulau Jawa (1902).

Buku ini pun memuat kamus pertama bahasa Rusia-Melayu yang terdiri dari sekitar 500 kata dan ekspresi. Buku ini menjadi salah satu tonggak studi Indonesia di Rusia setelah berdirinya federasi negara-negara Rusia dan sekitarnya sebagai: Uni soviet setelah 1917.

Pada awal 1920-an, Alexander Huber lulusan Moskow College of Oriental Study memulai studi sistematis tentang Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Berdasarkan penelitian tersebut, diluncurkanlah buku setebal 279 halaman berjudul Indonesia, Sketsasosial-Ekonomi (1932).

Huber dianggap sebagai orang pertama yang memakai nama Indonesia dalam tulisan akademis, yang saat itu masih dikenal dengan nama Hindia Belanda, Hindia Timur, atau Holand Tropikan (wilayah Belanda yang beriklim tropis). Baru pada abad ke-20 seorang sarjana Jerman, Ernst Heinrich Haeckel, menerbitkan hasil penelitiannya berjudul Aus Insulinde dimana tulisan tersebut dikecam oleh Belanda karena dianggap pro-Indonesia.

Tidak sampai di situ saja, pada 1940 Huber juga telah meramalkan invasi Jepang ke Asia Tenggara dalam brosur Indonesia dan Indochina. Di tahun yang sama, Huber juga ditabiskan menjadi Bapak Studi Indonesia di Rusia. Pada 1945, Jurusan Indonesia resmi didirikan di Institut Studi Bangsa-Bangsa Asia-Afrika, Universitas Negara Moskow. Lima tahun kemudian, berdiri jurusan filologi Indonesia di Universitas Leningrad (sekarang St. Petersburg).

Hubungan Rusia-Indonesia juga tertaut ketika Tan Malaka menghadiri Kongres Komintern IV di Moskow pada tahun 1923. Tidak hanya Tan Malaka, Munawar Musso yang adalah pemimpin Partai Komunis Indonesia dari tahun 1920-an sampai dengan pemberontakan PKI di Madiun 1948 pernah tinggal di kota ini bahkan sebelum kembali ke Indonesia tahun 1946. Di sana Musso menyusun bahan pelajaran Bahasa Indonesia untuk mahasiswa Uni Soviet.

Bahan-bahan ajar tersebut kemudian disempurnakan oleh Semaun yang mengajar Bahasa Indonesia pada 1945-1947 di Institut Hubungan Luar Negeri Moskow. Hasil revisi Semaun inilah yang kemudian diterbitkan sebagai buku pelajaran Bahasa Indonesia yang pertama untuk mahasiswa Uni Soviet.

Tidak hanya itu, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Rusia adalah salah satu negara yang terus-menerus mendukung.

Bahkan dalam kurun 1945-1947 di PBB, Andrew Gromyko, salah satu pemimpin Uni Soviet pada masa perang dingin, memelopori gerakan mengecam Belanda yang mau melestarikan penjajahan di bumi Indonesia. Pers Rusia pun dipenuhi dengan reproduksi surat kabar Indonesia yang melukiskan seorang pejuang kemerdekaan dengan slogan “Darahku merah, tak sudi dijajah.”

Pada 1948, Uni Soviet secara de-facto mengakui kemerdekaan Indonesia, lalu disusul dengan pengakuan de-jure sekaligus usulan pembukaan diplomatik Uni Soviet-Indonesia pada tanggal 3 Febuari 1950. Tanggal inilah yang kemudian menjadi rujukan sebagai awal hubungan resmi diplomatik antara Indonesia dan Rusia.

Mesra dengan Soekarno

Wakil Dubes RI untuk Federasi Rusia A. Agus Sriyono, pada 28 November 2009, pernah menulis sebuah artikel berjudul "60 tahun RI-Rusia." Menurut Sriyono, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Rusia berjalan begitu harmonis pada masa pemerintahan Soekarno.

Uni Soviet juga menjadi salah satu penyokong pencalonan Indonesia sebagai negara anggota PBB, September 1950. Ditambah lagi adanya kedekatan antara Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Rusia Nikita Kruschev, yang terlihat ketika Soekarno melontarkan gagasan tentang Tugu Nasional pada 1955. Menurut Lebang, Soekarno meminta pendapat ataupun saran dari Kruschev terkait gagasan tersebut.

“Tuan Presiden, kalau ada orang sedang telanjang, maka yang harus dilakukan adalah beli celana. Jangan sedang telanjang, yang didahulukan beli dasi,” Kata Kruschev. Soekarno berang dengan kritikan Kruschev itu.

“Lha, pada waktu rakyat Soviet Uni sedang telanjang, sedang menderita, rakyat di Samar dekat Leninggrad kelaparan, kok Soviet Uni mendirikan monument-monumen, kok mendirikan lambing-lambang?” jawab Soekarno secepat kilat.

Kendati mengkritik gagasan Soekarno yang membangun tugu nasional (Monas), pemerintah Soviet nyatanya memberikan bantuan dana kepada Indonesia. Tak hanya untuk membangun Tugu Monas, negara ini juga menyumbang pembangunan Stadion Gelora Bung Karno (GBK).

Di waktu yang sama, Mesjid Istiqlal juga mulai dibangun. Bahkan hampir seluruh persenjataan dan peralatan tempur Indonesia era Soekarno itu, terutama Trikora (Tri Komando Rakyat untuk pembebasan Irian barat) dan Dwikora (Dwi Komando Rakyat untuk konfrontasi dengan Malaysia), berasal dari Uni soviet.

Uni Soviet juga memberi bantuan kepada Indonesia senilai $600 juta dalam bentuk kapal penjelajah, destroyer, kapal selam, tank amfibi, dan pesawat tempur MiG. Tak heran jika mediang Letnan Jenderal Ali Sadikin pernah mengatakan bahwa angkatan laut Indonesia dulu adalah yang terkuat kedua di Asia setelah Republik Rakyat Cina (RRC).

Soviet juga menghormati sosok Soekarno. Saat kunjungan Presiden Soekarno ke Uni Soviet tepatnya ke kota Leningrad, Soekarno tertumbuk pada bayangan bangunan berbentuk masjid namun dimanfaatkan sebagai gudang. Saat ditanya komentarnya tentang Leningrad, Soekarno justru bercerita tentang kondisi masjid berwarna biru yang dilihatnya dan meminta masjid itu dikembalikan sesuai fungsinya.

Hanya dalam waktu 10 hari setelah kunjungan Presiden Soekarno, bangunan itu kembali menjadi masjid, yang saat ini dikenal dengan Central Mosque, tulis Retno Marsudi dalam Russia Beyond the Headlines.

Presiden Soekarno tercatat mengunjungi Uni Soviet sebanyak tiga kali dalam kurun 1956-1964. Bahkan ulang tahunnya yang ke-60 dilewatkannya di Rusia. Dalam perayaan ulang tahunnya, Kruschev memberi kado ulang tahun berupa patung seorang gadis yang sedang memegang dayung, karya seniman kenamaan Manizer.

Patung itu kemudian dikirim dengan kapal laut ke Indonesia. Hingga kini patung itu terpajang di Bogor. Rusia juga mengirim karya lain dari Manizer ke Indonesia, di antaranya patung di Taman Prapatan, Menteng Jakarta Pusat yang kelak dikenal sebagai Tugu Tani.

Eratnya hubungan bilateral juga tercermin di bidang-bidang lain. Pada tahun 1956, dimulainya pengiriman pertama kali mahasiswa Indonesia ke Moskow. Dari tujuh mahasiswa, dua diantaranya adalah pekerja film yakni Sjumandjaya dan Ami Prijono. Hingga 1962, tercatat sekitar 700 mahasiswa Indonesia belajar di berbagai Universitas di Rusia dan sejumlah perwira Angkatan Laut belajar di Vladivostok dan Leningrad.

Soeharto Meredupkannya

Kemesraan Indonesia dan Uni Soviet sayangnya tidak bertahan lama. Setelah terjadinya peristiwa G30S pada 1965, pemerintah Soekarno digantikan oleh Soeharto. Orientasi politik pemerintahan Soeharto berseberangan dengan pemerintahan lama. Akibatnya, Soeharto membekukan segala bentuk hubungan kerjasama dengan Uni Soviet.

Hal itu ditandai dengan dibubarkannya Lembaga Persahabatan Indonesia-Soviet, padahal lembaga inilah adalah penggerak utama kerja sama ilmu dan kebudayaan kedua negara.

Saat itu yang paling terkena dampaknya adalah mahasiswa Indonesia di Uni Soviet. Mereka tak bisa pulang ke tanah air. Rezim Soeharto tak hanya mencabut paspor mereka, tetapi hubungan dengan instansi kedinasan yang mengirim mereka juga diputus.

“Sejak itu kami menjadi orang-orang yang terhalang pulang karena peristiwa 30 September 1965 dengan TAP MPR No XXV/1967”, kata Supardi seperti dikutip Lebang dalam bukunya.

Supardi adalah salah satu mantan mahasiswa Indonesia di Moskow yang belakangan dia berdomisili di Belanda. Selain Supardi, ada pula M. Djumaeni Kartaprawa.

“Saat G30S, kami bingung dan tidak tahu binatang apa gerangan G30S itu. Makanya absurd sekali kalau menuduh kami tersangkut itu, apalagi sampai paspor kami dicabut. Itu kebijakan yang brutal,” kata Djumaeni.

Begitu juga yang menimpa Soekarman. Lelaki asal Kediri ini, pada 1962 mengikuti pendidikan di Akademi Tank dan Artileri Medan (Armed), Uni Soviet. Setelah terjadi peristiwa G30S, biaya hidupnya diputus pemerintah Indonesia.

Dia begitu berterima kasih pada Rusia yang membantunya bertahan hidup di sana. Bahkan di usia tuanya, Soekarman mengaku mendapatkan uang pensiun sekitar $350 per bulan. Biaya itu di luar jaminan perawatan kesehatan dan penggunaan kenderaan umum gratis di Rusia, hal yang tidak akan mereka peroleh di Indonesia.

Kembali ke Titik Cerah

Uni Soviet di era awal 1990 bubar. Hanya tersisa Rusia dan negara-negara merdeka lainnya yan berpisah dari Soviet. Pemimpin federasi Uni Soviet yang bernama Rusia menjadi penerus dari kejayaan Uni Soviet. Kerjasama Indonesia Soviet yang terputus di era Orde Baru itu kembali terjadi dengan kerjasama Indonesia-Rusia di saat komunisme Rusia sudah runtuh.

Hubungan Indonesia dan Rusia kembali harmonis ala Megawati menjadi presiden. Pada April 2003, Presiden Megawati mengadakan kunjungan resmi ke Rusia sekaligus menandatangani Deklarasi mengenai dasar hubungan persahabatan dan kemitraan diantara Rusia dan Indonesia dalam abad 21. Megawati dan Vladimir Putin menyepakati kerja sama teknik dan militer yang lebih erat di masa depan.

Tulisan Bringing Russia to the World and World to Russia, menyebutkan bahwa Megawati sempat menandatangani kontrak pembelian dua jet tempur Sukhoi Suu-27SK, dua versi SU-30MK, dan dua helikopter Mi-35. Keharmonisan itu juga dapat dilihat ketika Indonesia dan Rusia mengadakan pagelaran Budaya Indonesia-Rusia di Moskow dengan tema "Dua Budaya dalam Satu Nada," pada 10 Juli 2003

Hubungan harmonis itu berlanjut di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memperkuat kerjasama dalam bidang pertahanan dan ekonomi. Presiden SBY juga mendorong investasi Rusia agar masuk ke Indonesia. Tercatat volume perdagangan Indonesia dan Rusia pada tahun 2005 mencapai $680 juta, melebihi angka pada 2004 yang hanya mencapai $480 juta.

SBY merencanakan pada 2015 Indonesia bisa meningkatkan volume perdagangan dengan Rusia menjadi $5 Miliar. Menurut Hatta Rajasa, yang kala itu menjabat menteri perekonomian, volume perdagangan Indonesia-Rusia selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan, di mana meningkat rata-rata 29,27 persen per tahun.

Saat ini, masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, keharmonisan Indonesia dan Rusia tetap terjaga. Bahkan saat KTT ASEAN-Rusia, kedua Presiden dua negara ini sempat menandatangani beberapa perjanjian bilateral. Kita akan sama-sama melihat, apakah Presiden Jokowi akan mempererat hubungan Indonesia-Rusia lebih dari presiden sebelum-sebelumnya.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN DIPLOMATIK atau tulisan lainnya dari Sammy Mantolas

tirto.id - Politik
Reporter: Sammy Mantolas
Penulis: Sammy Mantolas
Editor: Maulida Sri Handayani & Petrik Matanasi