tirto.id - Dengan predikat ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mulai memberanikan diri lepas dari cengkeraman Barat, gurita kapitalis paling kuat di dunia saat ini. Sejak satu dekade terakhir, berbagai upaya sudah dilakukan. Kendati masih jauh dari kata sukses, situasi geopolitik teranyar membuka peluang lebar-lebar.
Barat didefinisikan sebagai negara-negara yang dibentuk oleh kebudayaan Eropa Barat. Misalnya Amerika Serikat (AS) dan Australia yang pernah dijajah Inggris. Ia juga mencakup sebagian banyak negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE), di antaranya Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Portugal dan Spanyol.
Ketergantungan Indonesia terhadap Barat bermula di masa lampau. Setelah Blok Sekutu memenangkan Perang Dunia II, AS menjadi representasi Barat yang secara perlahan tapi pasti berhasil mendominasi dunia dengan kekuasaan lunak alias soft power, yakni konsep politik untuk melebarkan pengaruh tanpa tindakan memaksa ala militeristik.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan Joseph S. Nye Jr dalam bukunya yang berjudul Soft Power (1990) untuk merujuk kebijakan luar negeri AS pada akhir abad ke-20. Saat itu, Paman Sam membentuk hegemoni melalui bermacam ikatan, mulai dari ekonomi, politik hingga budaya. Kini, dominasi AS menggurita di belahan dunia, termasuk Indonesia.
Dominasi dimulai saat AS mendukung RI dalam forum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1949. Kala itu, negara kita masih berupaya bebas sepenuhnya dari Belanda. Mengikat Indonesia dengan diplomasi begitu penting bagi AS guna mencegah pengaruh Uni Soviet berkembang di Asia Tenggara semasa Perang Dingin.
Melalui penelitian berjudul The US Dollar as The Global Reserve Currency: Implications for US Hegemony (2017) Thomas Costigan dkk menjelaskan betapa besar peran Bretton Woods Agreement dalam membentuk hegemoni AS di muka bumi. Perjanjian itu ditekan 44 negara di New Hampshire pada 1944 jelang kemenangan Barat dalam Perang Dunia II.
Mereka sepakat mata uang dunia tidak perlu lagi dikaitkan dengan emas tapi cukup dengan greenback alias dolar AS. Pertemuan itu juga menjadi cikal bakal pembentukan aneka lembaga internasional yang kelak menjadi bagian penting dalam soft power AS, yakni World Bank, International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO).
Di samping AS, UE juga menjadi entitas tak terpisahkan dari tentakel gurita ekonomi dan politik Barat. Menurut Desmond Dinan dalam bukunya yang berjudul Europe Recast: A History of European Union (2014), sejarah pembentukan UE dipenuhi dengan unsur kekerasan. Ide mempersatukan Eropa telah ada sejak zaman kekaisaran Romawi hingga Hitler.
Setelah Perang Dunia II berakhir, sejumlah negara di Eropa sepakat membentuk European Coal and Steel Community pada pertengahan 1950. Pendirinya adalah Perancis, Jerman, Italia, Belgia, Luksemburg dan Belanda. Melalui Traktat Roma pada 1957, mereka kemudian membangun European Economic Community (EEC).
Semasa unifikasi Jerman, EEC menetapkan Treaty of the European Union atau Traktat Maastricht pada 1992. Berkat perjanjian inilah UE yang kita kenal sekarang terbentuk. Saat ini, anggotanya berjumlah 27 negara. Pada 2020 lalu, Inggris telah resmi keluar dari UE. Langkah ini populer dengan istilah Brexit alias Britania Exit.
Di penelitian berjudul Mengkaji Peluang Pasar Internasional Melalui Kinerja Ekonomi Negara-Negara Uni Eropa (2004), Devie menjelaskan bahwa UE merupakan pasar potensial sejak dulu. Pada 2001, Produk Domestik Bruto (PDB) mereka terbesar kedua setelah AS. Selain itu, pertumbuhan ekonominya juga sempat tercatat lebih tinggi 1,5% dari AS.
Meski tidak melulu sepaham, UE dikenal harmonis dengan AS. Hubungan keduannya telah terjalin sejak lama dan berkembang selama lebih dari enam dekade. Dilansir dari situs resminya, UE menganggap AS sebagai mitra dalam menegakkan supremasi hukum, proses demokrasi, usaha bebas, hak asasi manusia, dan pengentasan kemiskinan.
Ketergantungan RI Terhadap Barat
Dengan instrumen lengkap, pengaruh Barat di Indonesia berlanjut jelang dan pascareformasi. Sekarang, Pemerintah RI menjalin kerja sama dalam aneka bidang dengan mereka, di antaranya sektor perekonomian. Kekayaan alam dan jumlah penduduk berlimpah menjadikan negara kita pangsa investasi potensial bagi mereka.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), AS berinvestasi USD3 miliar dari 1.036 proyek pada 2022. Sedangkan tahun ini tercatat USD832 juta dari 988 proyek. Sejak 2016, totalnya mencapai USD12,5 miliar atau setara Rp187 triliun (kurs Rp15.034 per USD). Itu menobatkan AS ke daftar investor asing penting bagi Indonesia.
Begitu pula dengan UE. Tahun lalu, nilai investasi mereka tembus USD2 miliar dari 4.816 proyek. Tahun ini, nilainya tercatat USD730 juta dari 4.946 proyek. Sejak 2016, total modal yang ditanamkan negara-negara UE mencapai USD16,8 miliar atau setara Rp252 triliun. Dengan demikian, UE menjadi investor asing terbesar kelima kurun delapan tahun terakhir.
Di tengah ketidakpastian global, Barat masih tergolong mitra dagang utama Indonesia selain Tiongkok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai ekspor RI pada Mei 2023 tercatat USD21,72 miliar dan impor USD21,28 miliar. Kedunya naik 12,61% dan 38,65% secara month to month (mtm) serta 0,96% dan 14,35% secara year on year (yoy).
Pada bulan lalu, Paman Sam merupakan pangsa ekspor nonmigas terbesar kedua bagi Indonesia dengan nilai mencapai USD2,05 miliar atau setara Rp30,7 triliun. Kinerjanya naik 23% (mtm) atau senilai USD475,9 juta. Sepanjang Januari-Mei 2023, total nilai ekspor ke AS sudah mencapai USD9,45 miliar atau setara Rp141 triliun.
Sementara itu, nilai ekspor Indonesia ke negara-negara UE tercatat USD1,56 miliar atau setara Rp23 triliun pada Mei 2023 atau meningkat 8,65% (mtm). Pada periode yang sama, ekspor ke Australia, negara yang juga merupakan representasi Barat, tercatat mencapai USD 271 juta atau setara Rp4 triliun.
Meski kontribusinya tak sebesar ekspor, geliat impor Indonesia juga tak lepas dari kelompok Barat. Pada bulan lalu, nilai impor dari AS tercatat USD987,9 juta atau setara Rp14,68 triliun, naik 49,61% (mtm). Sepanjang Januari-Mei 2023, total impor dari negara tersebut mencapai USD3,88 miliar. Sejauh ini, peran AS terhadap sektor impor RI sekitar 5,03%.
Masih berdasarkan data BPS, nilai impor dari UE pada Mei 2023 tercatat USD1,34 miliar atau setara Rp20 triliun, meningkat 37,70% (mtm). Sepanjang Januari-Mei 2023, total impor mereka mencapai USD5,69 miliar atau setara Rp85 triliun. Sejauh ini, peran UE terhadap kinerja impor RI berkisar 7,38%. Sedangkan Australia berkontribusi 4,41%.
Lebih lanjut, bagi Negeri Paman Sam, soft power-nya tidak sebatas ekspor-impor, tetapi juga melilit Indonesia di bidang pertahanan. Misalnya soal sengketa Laut Cina Selatan. Dalam kajian berjudul Indonesia’s Responses toward the South China Sea Dispute During Joko Widodo’s Administration yang diterbitkan jurnal Politica (2021), Yuli Ari Sulistyani dkk menjelaskan akar masalah ini.
Dalam perkembangannya, konflik Laut Cina Selatan mulai menyeret Indonesia sejak 2010 setelah Tiongkok mengklaim wilayah utara Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Beijing beralasan perairan tersebut merupakan bagian dari area memancing leluhur mereka. Jakarta menolak hingga ketegangan memuncak pada 2016.
Pada 2020, ribut-ribut kembali mencuat. Dalam hal ini, AS mendukung Indonesia dari klaim Tiongkok yang kala itu mulai terlibat perang dagang dengan AS. Melalui pernyataan resmi, Michael R. Pompeo – Menteri Luar Negeri AS saat itu – menegaskan bahwa sengketa Laut Cina Selatan tetap mengacu hasil keputusan Mahkamah Arbitrase 12 Juli 2016.
Lebih lanjut, soft power AS juga terlihat dari agenda penggunaan energi terbarukan. Mereka turut memberi pendanaan lingkungan kepada Indonesia yang konon merupakan satu di antara penghasil emisi karbon terbanyak. Sedangkan dalam segi kebudayaan, pengaruh AS menyusup dari berbagai cara, termasuk melalui film-film Hollywood.
Cengkeraman AS berhenti di situ? Belum. Saat pandemi Coronavirus Disease 19 (Covid-19) merebak awal 2020 lalu, mereka juga ambil peran heroik dengan menyumbangkan empat juta vaksin Moderna ke Indonesia. Selain itu, ada pula Johnson & Johnson dan BioNTech yang keduanya juga merupakan produsen vaksin asal AS.
Melalui studi berjudul Hegemony, Counter-hegemony, Anti-hegemony (2006), William K. Carroll menjelaskan bahwa kunci dari hegemoni adalah kontinuitas. Meskipun Tiongkok mulai mendominasi perekonomian Indonesia melalui investasi dan pembangunan infrastruktur, konsistensi AS di Bumi Pertiwi masih berlangsung sampai saat ini.
Dalam penelitian berjudul Jaminan Kepastian Keberlangsungan Hegemoni Amerika Serikat di Indonesia pada Era Pemerintahan Joe Biden (2022), Meidia Rea Smithiana menyimpulkan bahwa pengaruh AS di Indonesia masih cukup besar di era Joe Biden. Washington mempertahankan hegemoninya melalui soft power.
Editor: Dwi Ayuningtyas