tirto.id - Perasaan Auwjong Peng Koen, pemimpin umum surat kabar KOMPAS dan pengasuh rubrik “Kompasiana” yang terkenal dengan esai-esai kritis, padat, dan lugas, antusias betul pagi itu. Ia satu di antara ratusan orang yang datang ke aula Universitas Indonesia (UI) di Jalan Salemba Raya 6. Selama tujuh bulan terakhir, kampus tersebut menjadi “markas besar” pergerakan mahasiswa Jakarta.
Jumat itu, 6 Mei 1966, Auwjong menghadiri pembukaan “Simposium Kebangkitan Semangat Angkatan ’66” yang diselenggarakan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KASI (Kesatuan Aksi Sardjana Indonesia) Jakarta. Pertemuan ini merupakan satu dari belasan seminar yang digelar UI setelah 11 Maret dengan beragam tema tetapi memiliki benang merah yang sama: mengkritik kepemimpinan Sukarno, mengecam menteri-menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (“Kabinet 100 Menteri”), serta menyambut lahirnya Orde Baru yang dinilai menjanjikan lebih banyak harapan dan angin kebebasan.
“Suasana murni, jernih, tetapi ramai. Aula yang luas jadi penuh sesak. Di luar ruangan, ratusan orang melongok ke dalam. Tidak kebagian tempat,” demikian Auwjong melukiskan suasana menjelang pembukaan simposium dalam “Kompasiana” edisi 7 Mei 1966.
Animo hadirin yang tidak terduga ini membuat heran. “Padahal yang dibagikan pagi itu bukanlah nasi atau roti, melainkan makanan rohaniah melulu. Para pembicara saja yang disuguhkan sesuatu. Air putih tok,” sambungnya. Keheranan itu lantas dijawab sendiri oleh Auwjong. “Kita lapar. Tapi kelaparan spiritual kita lebih besar lagi. Perhatian besar, karena diduga terlebih dulu, ada bom bakal meledak.”
“Bom” yang dimaksud Auwjong tentu bukan dalam arti sebenarnya. Itu merujuk pada apa yang dibicarakan pemateri simposium, ilmuwan dan praktisi kampus, yakni kritik yang mempreteli kebobrokan Demokrasi Terpimpin.
Simposium dibuka oleh ceramah Dr. Ali Wardhana, ekonom yang tergabung dalam tim perekonomian yang dipimpin Widjojo Nitisastro. “Di masa lampau terlalu banyak tekanan yang diberikan pada unsur ‘terpimpin’ tanpa memperhatikan ‘demokrasi’. Terlalu sibuk mengejar mercusuar dunia tanpa mengingat kebutuhan Indonesia sendiri,” kata Ali tanpa tedeng aling-aling. “Akibatnya, disintegrasi sosial, kemerosotan ekonomi, macetnya demokrasi, dan lumpuhnya pertumbuhan kita sebagai bangsa yang berwatak,” sambungnya.
Sesudah Ali, berturut-turut Rektor UI Prof. Ir. Soemantri Brodjonegoro dan Deputi Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Mashuri Saleh menyampaikan pandangan. Keduanya menyatakan syukur atas kembalinya kebebasan mimbar akademik dan berakhirnya rupa-rupa penyelewengan politik yang terjadi di kampus dan organisasi para mahasiswa.
Setelah Mashuri, tampillah bintang panggung yang telah dinantikan sejak awal: Mohammad Hatta. Sesuai dugaan Auwjong, Hatta meledakkan “bom” paling banyak, sampai-sampai ringkasan pandangan Hatta harus dipisah menjadi dua edisi “Kompasiana”, dalam KOMPAS Sabtu dan KOMPAS Senin.
Tema ceramah Hatta mempunyai rentang cukup luas, dimulai dari pujian terhadap mahasiswa “Angkatan 1966” yang berani membebaskan tanah airnya dari “imperialisme ideologi yang datang dari utara” dan berani berpikir ilmiah meskipun dijejali berbagai indoktrinasi politik. Hatta selanjutnya mengkritik Demokrasi Terpimpin yang baginya tidak berbeda dengan kediktatoran; mengkritik pembungkaman terhadap oposisi rezim Sukarno; mengkritik perkembangan komunisme yang diberi angin oleh Sukarno; serta tak lupa mengkritik keadaan ekonomi yang karut-marut akibat pemborosan dan prioritas ekonomi yang keliru.
Menurut Auwjong, jumlah seluruh “bom” yang diledakkan Hatta dalam simposium hari pertama itu mencapai delapan buah, dan semuanya disambut tepuk tangan meriah peserta.
Dari Panggung Seminar ke Panggung Politik
Simposium tersebut merupakan tempat ketiga Hatta menampilkan diri di depan publik sejak keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Penampilan pertama adalah artikelnya di berbagai media massa berjudul “Pancasila Jalan Lurus”. Ia kemudian muncul menyampaikan pidato yang cukup emosional dan sarat kritik di penguburan Sutan Sjahrir pada 18 April 1966.
Seakan tak kenal lelah, di masa-masa awal pembentukan Orde Baru Hatta terus berpindah dari satu seminar ke seminar lain, sebagai pemateri yang banyak menyampaikan keynote speech dengan bermacam tema. Pihak yang mengundangnya pun beragam. Terbanyak dari organisasi mahasiswa seperti KAMI, KAPPI, dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Dalam sebagian besar ceramah itu, Hatta mengulas peran mahasiswa dan pemuda, perbaikan fungsi utama organ-organ politik, penyehatan ekonomi nasional, serta implementasi Pancasila tanpa dibebani kepentingan politik. Menurut Deliar Noer dalam biografi politik Mohammad Hatta dan Orde Baru, makalah dan pidato yang disampaikan Hatta dapat dibagi menjadi dua kategori: kritik terhadap keadaan lampau dan harapan akan masa depan yang lebih cerah. “Ia lebih banyak menilai kebijaksanaan semasa, sungguhpun masa-masa sebelumnya kadang-kadang ia singgung juga,” catat Deliar (2018, hal. 8).
Ceramah Hatta tidak pernah sepi dari tanggapan dan selalu bernada positif, mengingat titik pijaknya yang berseberangan dengan pendirian politik Sukarno dan Demokrasi Terpimpin. Selain bobot materi, kapasitas pribadi Hatta sebagai kompatriot Sukarno tentu memiliki nilai tambah, sekalipun hanya pengamatan dan wejangan untuk angkatan yang lebih muda.
Terdapat dua pilihan yang saat itu sebenarnya dapat dipilih Hatta: kembali ke pentas kekuasaan dan menjadi presiden sementara atau berkecimpung dalam politik dengan memimpin partai. Opsi ini muncul karena salah satu fokus yang juga diperjuangkan Hatta adalah pemulihan iklim politik yang sarat tekanan kepada oposisi di tahun-tahun terakhir kepemimpinan Sukarno.
Hatta sempat memikirkan pilihan pertama, terlebih karena implikasi yang cukup besar. “Bagi Hatta, kembali ke puncak kekuasaan bukan hanya memberikan kesempatan baginya untuk berusaha memulihkan kredibilitas pada pemerintahan sipil, tetapi secara tidak langsung akan memberikan kemungkinan membuktikan diri sebagai pemimpin tanpa Sukarno,” papar Mavis Rose dalam Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta (1991, hal. 358).
Namun Hatta juga realistis dan karenanya memilih jalan lain. Hatta dan beberapa kawan merumuskan ide pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII).
Gagasan ini muncul karena beberapa faktor. Pertama, PSI dan Masjumi dianggap sulit kembali ke pentas politik nasional—yang dikonfirmasi dengan dilanjutkannya larangan terhadap dua partai tersebut oleh rezim Orde Baru. Kedua, ia melihat kebangkitan mahasiswa dan akademisi Islam modernis yang merupakan agen paling gigih memperjuangkan demokrasi yang utuh dan penghormatan terhadap nilai religius. Mendirikan PDII, pikirnya, adalah cara yang tepat agar aspirasi kelompok-kelompok itu tidak serta-merta dilindas ide pembangunan.
Dasar-dasar PDII ditulis sendiri oleh Hatta dalam sebuah dokumen berjudul “Rencana Dasar, Program, dan Struktur Partai Demokrasi Islam Indonesia” bertitimangsa 17 Maret 1967. Di dalamnya ditekankan aspek demokrasi sosial yang secara eksplisit menyatakan tujuan PDII adalah memperjuangkan “Sosialisme Indonesia” bernapaskan Islam.
Tafsir tentang “Sosialisme Indonesia” ini mengindikasikan penerimaan Hatta terhadap salah satu pilar Manipol-USDEK Sukarno, meski praktiknya jauh berlainan. Sosialisme menjadi karakter utama partai bersama dengan pandangan Islam yang bercorak modern, seperti dianut oleh eks-simpatisan dan anggota Masjumi. Tentu, visi politik itu dikombinasikan dengan gaya Hatta dalam membentuk partai kader yang menekankan fungsi pendidikan politik--seperti pernah ia kerjakan dalam “PNI Baru” di awal 1930-an.
Penekanan Hatta pada aspek sosialisme jelas terasa gasal di tahun-tahun pertama Orde Baru, ketika sentimen antikomunis mulai mencengkeram Indonesia. Selain itu, cita-cita mempertemukan sosialisme dan Islam terasa utopis karena sejak lama keduanya berada dalam pertentangan sengit. Sebagai jalan keluar, Hatta mencoba merekonsiliasi dua aliran politik itu.
Untuk mendapat dukungan Islam modernis, ia menyerang Marxisme yang kerap kali diparalelkan dengan ateisme. Sementara untuk menggaet minat kaum sosialis, Hatta menyitir ketajaman Marx dan beberapa butir pemikirannya yang dapat dia terima. Tentu, mengenai yang terakhir, Hatta tetap menaruh antipati kepada Leninisme. Sebaliknya, Pancasila dipilih sebagai dasar, sosialisme sebagai tujuan, dan Islam sebagai napas dan semangat partai secara umum.
Tanggapan terhadap rencana pembentukan PDII sangat beragam. Sebagian menyambut positif. Sebagian yang lain tidak tegas menerima tetapi tidak pula menolak. Sikap ini adalah efek rencana PDII yang menimbulkan dua pertanyaan: pertama, nama partai yang membaurkan demokrasi dan Islam; kedua, dasar partai yang mencitrakan PDII sebagai partai Pancasila dan bukan partai Islam. Penjelasan Hatta yang menyatakan PDII merupakan terusan “Gerakan Demokrasi Islam Indonesia” yang pernah berkembang pada awal 1960-an kurang memuaskan. Usia Hatta yang saat itu sudah 65 juga menambah tanda tanya tentang regenerasi kepengurusan partai di kemudian hari.
Kerapuhan dukungan di aras bawah--yang kurang cermat diperhatikan Hatta--berdampak pada seretnya dukungan dari atas. Hatta sempat dua kali menyurati Soeharto dan memintanya mendukung pembentukan partai, terutama agar deklarasi dan operasional PDII dapat berjalan kondusif tanpa intervensi pejabat di daerah. Setelah menunggu nyaris dua bulan, Hatta pun akhirnya mendapatkan jawaban: pemerintah tidak dapat memberikan persetujuan.
Soeharto mencantumkan tiga alasan menolak PDII: tidak/belum dapat menjamin bersatunya semua kekuatan Islam di luar partai-partai politik yang sudah ada; tanggapan masyarakat yang dianggap tidak positif; serta bertentangan dengan rencana MPRS mengenai penyederhanaan partai-partai politik. “Soeharto justru menunjuk seorang pemimpin Muhammadiyah konservatif untuk membentuk Partai Muslimin Indonesia. Untuk menjamin supaya partai Islam baru tersebut disetujui, para mantan pemimpin Masjumi tidak dimasukkan ke dalam unsur pimpinan,” tulis Rose (1991, hal. 364).
Hatta jelas kecewa, juga para pemrakarsa PDII terutama kalangan muda. “Sebagian dari mereka melihat larangan ini sebagai pertanda pertumbuhan ke arah yang kurang cerah dibandingkan dengan harapan pada mula kebangkitan Orde Baru,” ungkap Deliar (2018, hal. 45).
Kekecewaan tidak Hatta pertahankan lebih lama. Ia menyembunyikan perasaannya dengan menyatakan legawa dan menerima putusan itu. Ia juga membela Parmusi yang direstui Soeharto. Sejak itu ia harus kembali berjuang dalam bayang-bayang demi visi kedaulatan rakyat yang diyakini.
Kecewa dan (Nyaris) Terjerumus
Reputasi Hatta tidak surut meski cita-cita PDII digunting putus oleh Soeharto. Ia memilih kembali dalam perjuangan lamanya sebagai pendidik: menulis artikel di surat kabar, mengajar, dan menyampaikan ceramah di berbagai kesempatan mengenai haluan bernegara.
Meski demikian, situasi nasional yang berangsur mengarah ke dwifungsi militer membuat Hatta jengah. Baginya, para tentara hanya dibutuhkan dalam jabatan-jabatan sipil apabila memang jumlah pegawai biasa kurang.
Hatta juga memberi tanggapan dingin malah cenderung kecewa pada perkembangan ekonomi yang semakin berorientasi modal asing. Hal ini menurutnya menyeret Indonesia ke pusaran ekonomi liberal yang bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu menganjurkan koperasi serta sentralisme negara dalam pengelolaan sumber daya.
Situasi yang tak sesuai harapan ini membawa Hatta pada rutinitas lama: menyurati pejabat, mulai dari Soeharto hingga menteri-menteri di Kabinet Pembangunan I.
Korespondensi Hatta dan Soeharto dimulai sejak 1968, beberapa bulan setelah dilantik sebagai Presiden ke-2 RI. Isi surat umumnya berkisar antara dua hal: wejangan arah pembangunan di daerah dan penegasan komitmen Soeharto untuk memberantas korupsi di semua tingkatan pemerintahan.
Khusus isi surat kedua, Soeharto menindaklanjutinya dengan meminta Hatta menjadi penasihat Komisi Empat yang dibentuk awal Februari 1970. Komisi tersebut beranggota Prof. Johannes (guru besar di Universitas Gadjah Mada), Anwar Tjokroaminoto (tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII); I. J. Kasimo (tokoh Katolik), dan Wilopo (eks-perdana menteri). “Tugasnja adalah meneliti dan menilai kebidjaksanaan pembrantasan korupsi selama ini dan memberikan pertimbangan pada pemerintah mengenai kebidjaksanaan jang masih diperlukan untuk membrantas korupsi,” tulis KOMPAS dalam Tajuk Rencana edisi 2 Februari 1970. Tugas ini, dengan kata lain, tidak memberi wewenang Hatta untuk memperbaiki keadaan lewat turun tangan langsung, apalagi untuk bertindak, karena kedudukan “Komisi Empat” hanya semacam satuan tugas penasihat Soeharto.
Setelah bekerja selama empat bulan, Komisi Empat melaporkan hasil kerjanya pada Soeharto pada 30 Juni 1970--dikirimkan oleh Wilopo. Melengkapi laporan kerja itu, Hatta sekaligus menyertakan surat pada hari yang sama, yang menyatakan beberapa hal, antara lain pangkal korupsi adalah kurangnya gaji dan insentif pegawai negeri, perlunya penyederhanaan dan rasionalisasi administrasi negara, perombakan struktur kepemimpinan pada perusahaan pelat merah yang “sakit” seperti Pertamina, dan prioritas pembiayaan yang lebih tepat guna dalam produksi. Jika hal tersebut tidak dilakukan, kata Hatta, korupsi perlahan akan menjadi budaya.
Tahun-tahun selanjutnya Hatta tetap aktif menulis mengenai berbagai masalah politik, ekonomi, maupun sosial-budaya umum. Dalam berbagai forum, Hatta aktif mempromosikan pentingnya penguatan negara hukum dan membina Pancasila dalam “jalan yang lurus.” Hatta juga memenuhi undangan kepala-kepala daerah untuk mengikuti kegiatan sambung rasa dan temu wicara dengan rakyat.
Di samping itu, untuk memelihara kebugaran di usia tua, Hatta pun rutin melaksanakan “Olahraga Hidup Baru” atau Orhiba, sejenis yoga yang berfokus pada latihan pernapasan untuk mengatasi degenerasi fungsi tubuh. Rutinitas terakhir ini ia lakukan dalam sebuah kelompok yang antara lain beranggotakan Said Soekanto, mantan Kapolri periode 1950-an.
Aktivitasnya di Orhiba membawa Hatta pada cerita lain, yaitu dugaan terlibat dalam “Gerakan Sawito” pada 1976.
Gerakan yang menggegerkan kancah perpolitikan itu dimulai dari pernyataan Sawito Kartowibowo, bekas pegawai negeri Departemen Pertanian dan menantu Said Soekanto. Ia menyusun sebuah dokumen berjudul “Menuju Keselamatan” bertanggal 17 Juli 1976. Dokumen itu dibubuhi tanda tangan enam tokoh: Sawito, Kardinal Julius Darmojuwono, Hamka, Said Soekanto, T. B. Simatupang, dan Hatta sendiri. Isi dokumen cukup panjang dan bernada kuat, dengan penekanan pada kedaulatan rakyat dalam menjalankan negara dan koreksi atas rencana-rencana pembangunan. Dokumen tersebut merupakan bagian pertama dari dokumen-dokumen lain yang memiliki judul-judul provokatif seperti “Surat Pelimpahan”, “Pernyataan Pemberian Maaf bagi (Alm.) Bung Karno”, hingga “Mundur untuk Maju Lebih Sempurna”.
Dokumen terakhir itulah yang menghadirkan klimaks dahsyat: menganjurkan Soeharto menyerahkan kekuasaan secara damai kepada Hatta. Gerakan yang semula desas-desus ini baru meledak saat Soeharto merilis pernyataan terbuka pada 22 September 1976. Ia mengatakan, “ada usaha ilegal menggantikan Presiden Soeharto dengan cara-cara inkonstitusional.”
Rilis itu juga menyatakan bahwa tokoh-tokoh penandatangan dokumen-dokumen buatan Sawito telah ditipu dan namanya dicatut. Mulailah gelombang penangkapan dilancarkan pada tokoh-tokoh gerakan, mulai dari Sawito, yang ditengarai sebagai pelopor, hingga Singgih, tokoh proklamasi yang dititipi oleh Sawito untuk menunjukkan dokumen tersebut kepada Soeharto.
Persidangan kasus dimulai pada 6 Oktober 1977. Saat itu Sawito menyatakan bahwa Hatta merupakan sumber atau tokoh intelektual gerakan.
Kegemparan dan teka-teki bermunculan terutama karena Hatta tak pernah dipanggil menjadi saksi, tidak seperti tokoh-tokoh penanda tangan lain. Terdapat isyarat bahwa majelis hakim takut mendengar kesaksian Hatta serta berusaha menghalang-halanginya memberikan pernyataan terbuka dengan berbagai alasan, misalnya digambarkan hanya korban manipulasi dan seorang uzur yang daya pikirnya telah melemah.
Pernyataan ini jelas dibantah keluarga dan para penasihat kesehatan Hatta. Ia memang sempat mengalami stroke ringan pada awal 1976, tetapi saat membubuhkan tanda tangan pada dokumen Sawito, ia telah pulih. Hakim jalan sendiri dan tanpa mendengar kesaksian Hatta menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara pada Sawito. Ia disebut memanipulasi aliran kebatinan untuk kepentingan diri sendiri dan menipu tokoh-tokoh penting untuk tujuan subversif.
Sesudah ontran-ontran yang cukup menyedot perhatian itu, kesehatan Hatta berangsur menurun. Dampak stroke ringan ditimpali penurunan penglihatan dan lemah jantung. Hatta terpaksa membatasi kegiatan. Ia mengalihkan perhatian pada agama dan mengutus putrinya, Halida, atau menantunya, Sri Edi Swasono, untuk mewakili jika ada undangan ceramah, sambutan, atau pidato.
Meski lebih banyak tinggal di rumah, pikiran Hatta tidak lantas menjadi tumpul. Ia terus menjaganya agar tetap tajam. Di masa tuanya ia bahkan menjadi patron A. H. Nasution dan beberapa orang lain yang hendak mengajukan tuntutan kepada DPR, yang kelak dikenal sebagai kelompok Petisi 50.
Itulah tindakan politik terakhir Hatta sebelum dibawa ke Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo untuk menjalani pengobatan. Karena kondisinya terus memburuk, ia harus dipindahkan ke unit perawatan intensif tapi tak berhasil.
Perjuangan Hatta di dunia berakhir pukul 18.56 WIB, menjelang azan isya tanggal 14 Maret 1980, tepat 42 tahun lalu.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Rio Apinino