tirto.id - Korupsi adalah penyakit lama yang sulit disembuhkan dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Buktinya, usaha melawan itu sudah dilakukan sejak era Sukarno tapi sampai sekarang masih saja langgeng.
Orde Baru, rezim daripada Soeharto yang dicap korup oleh para penentangnya, juga mengaku berusaha menghilangkan penyelewengan duit negara. Buku 50 Tahun Indonesia Merdeka (1995:88), misalnya, menyebut pemerintah membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Tim Penyelidikan dan Pengusutan Perkara Penyelundupan (TP4). Hingga akhir 1969, beberapa tahun setelah Orde Baru berdiri, TPK dan TP4 telah menemukan 140 perkara.
Tak hanya TPK dan TP4, sebuah komisi antikorupsi juga pernah dibentuk di masa itu, namanya Komisi Empat, dibentuk Presiden Soeharto lewat Keppres No. 12/1970. Komisi Empat diresmikan pada 31 Januari 1970.
David T. Hill dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011:137) menyebut Komisi Empat dibentuk terutama untuk mendinginkan gelombang protes para mahasiswa yang muncul sejak awal Januari 1970. Memang terbukti setelah itu protes mereda.
Komisi Empat berisi beberapa orang berpredikat pendiri negara. Seperti disebut dalam Jejak Langkah Pak Harto (1991:194), anggotanya adalah Haji Anwar Tjokroaminoto (Partai Syarikat Islam Indonesia), Ignatius Joseph Kasimo (Partai Katolik), Yohannes (akademisi Universitas Gadjah Mada), Wilopo (mantan perdana menteri), dan Mohammad Hatta (wakil presiden pertama).
Lembaga tersebut nampak mentereng terutama karena diisi Hatta sebagai penasihat yang punya reputasi sebagai pejabat bersih dan sederhana. Sama seperti Hatta, para anggota lain juga mantan pejabat di era Sukarno.
Di luar tokoh sipil, terdapat pula Kepala Badan Koordinasi Intelijen Mayor Jenderal Sutopo Juwono yang menjabat sebagai sekretaris komisi.
Ketika meresmikan Komisi Empat, Soeharto menegaskan bahwa ini bukanlah lembaga baru dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Tidak seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang berdiri sejak 1 Januari 1947, Komisi Empat hanya berstatus “pembantu presiden” yang tugasnya “hanya melakukan penyelidikan saja,” tulis Rizki Febari dalam Politik Pemberantasan Korupsi: Strategi ICAC Hong Kong dan KPK (2015:113).
Komisi Empat berumur sangat pendek, enam bulan saja. Pada Juni 1970, pemerintah menganggap tugas komisi sudah selesai. Komisi Empat dibubarkan dengan Keppres No. 50/1970.
Hasil kerja Komisi Empat adalah laporan yang ditunggu banyak pihak di luar pemerintahan. Mochtar Lubis dalam Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya menyebut laporan tersebut dinanti para mahasiswa, kaum muda, dan rakyat yang masih ingin kritis walau jumlahnya sedikit.
Namun laporan tidak juga diumumkan setelah komisi bubar. Laporan itu rencananya baru dibacakan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada 16 Agustus 1970 di Senayan. “Kita merasa sayang Presiden Soeharto mengundurkan pengumuman isi laporan Komisi Empat begini lama, apalagi DPRGR ternyata selama ini tidak tertarik dan kurang sekali minat dan perhatiannya pada soal-soal korupsi,” tulis Mochtar Lubis (1997:114).
Pemerintah yang sangat lamban akhirnya disalip. Rizki Febari menyebut Sinar Harapan, yang dipimpin Aristides Katoppo, mempublikasikan laporan kerja Komisi Empat pada 19 Juli hingga 24 Juli 1970.
Pada 27 Februari 1970 Komisi Empat menyerahkan penyelidikan korupsi di Kejaksaan dan korupsi serta tunggakan Pertamina di bawah Direktur Ibnu Sutowo. Pada Juni 1970, mereka melaporkan pula malapraktik pengalokasian beras di Badan Urusan Logistik (Bulog). Komisi Empat juga menyarankan kepada pemerintah agar kasus di Telkom, Departemen Agama, PT Mantrust, CV Waringin, Coopa, dan beberapa tempat lain diprioritaskan penanganannya.
Disebut dalam 50 tahun Indonesia Merdeka, Komisi Empat menyimpulkan meluasnya korupsi karena kurangnya pendapatan dan penyalahgunaan wewenang serta ada kesempatan. Laporan komisi kemudian diteruskan ke Menteri Penertiban Aparatur Negara untuk dibikinkan tim kerja tersendiri. Selain itu, dikatakan pula bahwa pemerintah terus berbenah diri.
Soeharto sendiri, dalam pidato pada 16 Agustus 1970, mengaku: saya sendiri mempunyai suatu tekad sama: korupsi harus diberantas.
Namun nampaknya masukan dari Komisi Empat tidak ditanggapi dengan serius. Bertahun-tahun setelah Komisi Empat bubar, kasus Pertamina meledak. Semakin tahun pemerintahan Soeharto juga makin dianggap korup.
Hatta sebagai penasihat daripada Soeharto untuk urusan antikorupsi nampaknya memang hanya bisa menasihati. Soeharto tentu bisa menjadi pendengar yang baik dari orang yang pendidikannya lebih darinya itu. Namun, di lapangan, nasihat itu jadi sama sekali tak berguna.
Satu per satu tokoh Komisi Empat tutup usia. Anwar Tjokroaminoto pada 1975, Hatta pada 1980, Wilopo 1981, dan Kasimo pada 1986. Komisi Empat kemudian perlahan terlupakan baik eksistensi maupun temuan-temuannya.
Bagi Orde Baru, Komisi Empat tentu tak lebih penting daripada Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan juga Operasi Khusus (Opsus) yang jadi kunci stabilitas politik.
Editor: Rio Apinino