tirto.id - Pengusaha sekaligus putra dari pendiri Astra William Soeryadjaya, Edward Seky Soeryadjaya resmi ditahan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) pada Senin (20/11/2017) lalu. Penahanan diputuskan usai melihat tidak adanya itikad baik dari Edward untuk datang memenuhi panggilan pemeriksaan. Rencananya, Edward akan ditahan dari tanggal penetapan hingga 20 hari ke depan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
“Sebenarnya ia [Edward] pernah tiga kali dipanggil tapi tidak datang. Jadi saya pikir daripada nanti terdapat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dalam kasus ini, kami memutuskan melakukan penahanan. Karena dasarnya penyidik juga berhak menahan,” ujar Direktur Penyidikan JAM Pidsus Adi Toegarisman seperti dikutip Antara.
Edward merupakan tersangka korupsi pengelolaan dana pensiun PT Pertamina (Persero). Saat kasus tersebut terjadi, Edward menjabat sebagai Direktur Ortus Holding Ltd serta pemegang saham mayoritas PT Sugih Energy Tbk (SUGI). Dalam penetapannya, Edward diduga turut serta menikmati keuntungan pembelian saham di SUGI yang dilakukan tersangka lainnya, mantan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina tahun 2013-2015 Muhammad Helmi Kamal Lubis.
Kasus tersebut bermula pada 22 Desember 2014 hingga April 2015. Kala itu, Helmi menggunakan dana pensiun Pertamina untuk membeli saham yang tidak likuid. Saham tidak likuid adalah saham yang sulit diperdagangkan di bursa. Daftar saham yang dibeli Helmi antara lain ELSA, KREN, MYRX, dan SUGI, di mana Edward duduk di kursi pemegang saham mayoritas. Di SUGI, Helmi melakukan penempatan investasi dengan membeli saham sebanyak 2.004.843.140 lembar.
Secara hukum, investasi itu dilakukan tanpa adanya kajian, mengabaikan Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Saham sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina, serta tanpa persetujuan dari Direktur Keuangan dan Investasi seperti diatur dalam Surat Keputusan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina. Total kerugian yang negara dalam kasus ini ditaksir senilai Rp1,4 triliun.
Dalam kasus tersebut, mantan Presiden Direktur Dana Pensiun PT Pertamina (Persero) 2013-2015, Muhammad Helmi Kamal Lubis telah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Riwayat Korupsi Pertamina
Bukan sekali ini saja kasus korupsi melanda Pertamina. Di bawah pimpinan Ibnu Sutowo pada awal 1970-an, Pertamina adalah nama lain dari drama dugaan korupsi di Indonesia. Salah satu media yang getol menyerang Pertamina ialah Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis. Menurut penyelidikan Indonesia Raya, Pertamina diduga melakukan korupsi dan penyelewengan lewat bisnis non-migas yang mengakibatkan hancurnya keuangan perusahaan.
Di tengah silang sengkarut dugaan korupsi dan krisis keuangan tersebut, Pertamina harus berhadapan dengan fakta yang tak kalah pahit. Pada Februari 1975, Pertamina mengalami gagal bayar (default) kredit sebesar $40 juta kepada sindikasi bank Amerika. Melihat situasi yang semakin runyam, Presiden Soeharto mencopot jabatan Ibnu Sutowo dan menggantinya dengan Piet Haryono.
Memasuki era usai tumbangnya Orde Baru dan lahirnya reformasi, korupsi dan skandal lain di Pertamina yang merugikan negara terus bergulir. Pada 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Direktur Pengolahan Pertamina, Suroso Atmomartoyo sebagai tersangka kasus suap terkait pengadaan Tetra Ethyl Lead (TEL)—bahan untuk meningkatkan nilai oktan—oleh Innospec di Pertamina dalam rentang 2002 sampai 2006. Selain Suroso, tersangka lainnya yakni Dirjen Minyak dan Gas Rahmat Sudibyo serta Direktur PT Soegih Interjaya (agen tunggal penjualan TEL di Indonesia) M. Syakir.
Pembongkaran kasus suap berangkat dari putusan pengadilan Southwark Crown, Inggris yang menyatakan petinggi Innospec Ltd. telah melakukan penyuapan kepada para pejabat Indonesia (termasuk petinggi Pertamina) selama kurun waktu 2002 hingga 2006 guna memuluskan pembelian TEL. Total uang yang dikeluarkan Innospec untuk menyuap sekitar $17,7 juta. Soroso sendiri menerima suap senilai $190 ribu.
Lima tahun berselang, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia menetapkan pejabat Pertamina, Nina Nurlina Pramono yang duduk selaku Direktur Eksekutif Pertamina Foundation sebagai tersangka kasus korupsi program Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina. Dalam penyelidikannya, Bareskrim menduga Nina mencuri anggaran program CSR bernama “Pohon Menabung Pertamina Foundation.” Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp126 miliar.
Pada awal tahun 2017, Bareskrim lagi-lagi menetapkan pejabat Pertamina dalam kasus korupsi. Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim memutuskan Senior Vice President Asset Management Pertamina Gathot Harsono sebagai tersangka korupsi terkait penjualan aset Pertamina berupa lahan seluas 0,1 hektar di Simprug, Jakarta Selatan tahun 2011. Berdasarkan hasil analisa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kerugian negara akibat kasus itu mencapai Rp40,9 miliar.
Namun, di antara kasus korupsi di Pertamina, skandal Petral merupakan yang menyedot perhatian. Semula, tujuan pendirian Petral (Pertamina Energy Trading Ltd) adalah untuk menjual minyak hasil produksi Indonesia yang dianggap melimpah. Seiring perkembangan produksi minyak Indonesia yang terus menurun, fungsi Petral berubah menjadi pembeli minyak dari luar negeri untuk kebutuhan dalam negeri.
Berdasarkan temuan Lembaga audit KordaMentha, ditemukan kejanggalan dalam pengadaan minyak selama periode 2012-2014. Kejanggalan yang dimaksud ialah adanya dugaan jaringan mafia minyak dan gas dalam proses pengadaan minyak oleh Petral.
Mafia tersebut disinyalir menguasai kontrak penyediaan minyak senilai $18 miliar atau Rp250 triliun selama kurun tiga tahun. Akibatnya, Pertamina tidak mendapatkan harga terbaik dalam pengadaan minyak maupun jual-beli produk bahan bakar lainnya. Pertamina yang semestinya bisa mendapatkan potongan harga sebesar $1,3 per barel nyatanya hanya mendapat $30 sen. Atas kasus itu, KPK pada 2015 resmi melakukan penyelidikan terhadap Petral.
Selain berada dalam penyelidikan KPK, Petral juga resmi dibubarkan saat Joko Widodo menjabat presiden. Pembubaran Petral menjadi bagian dari reformasi tata kelola migas yang digaungkannya. Dengan pembubaran Petral, maka kegiatan bisnis Petral Group terutama yang menyangkut ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang akan sepenuhnya dijalankan Pertamina melalui Integrated Supply Chain (ISC).
Ketika Korupsi Menghancurkan Petrobras
Skandal korupsi di perusahaan minyak nasional ternyata tak cuma terjadi di Pertamina. Di Brazil, kasus korupsi juga menjangkiti Petrobas. Kasus di Petrobas merupakan contoh bagaimana budaya korupsi bisa menghancurkan perusahaan minyak nasional. Bedanya, jika skandal korupsi di Pertamina yang ketahuan hanya dilakukan segelintir pihak, korupsi di Petrobas justru dilaksanakan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Pihak yang terlibat pun tak main-main: dari pemangku jabatan pemerintah, eksekutif perusahaan, kontraktor, hingga partai politik.
Pengusutan skandal korupsi Petrobras terjadi pertama kali pada Maret 2014. Saat itu, pemerintah meluncurkan operasi bernama “Car Wash.” Awalnya, operasi hanya menargetkan pedagang pasar gelap (doleiros) yang menggunakan usaha kecil seperti pompa bensin hingga cuci mobil untuk menampung uang hasil tindak kejahatan. Akan tetapi, saat penyidikan berlangsung ditemukan fakta: doleiros juga bekerja atas nama pejabat eksekutif Petrobras, Paulo Roberto Costa. Semenjak itu, jaksa sadar sebuah jaringan korupsi menggurita dalam tubuh Petrobras.
Skema korupsi yang dilakukan Costa dan rekan-rekan eksekutif lainnya di Petrobras kira-kira bisa digambarkan seperti ini: saat menjalin kontrak bersama perusahaan konstruksi, pengeboran, kilang minyak, sampai pengadaan kapal eksplorasi, Costa menjamin bisnis akan sangat menguntungkan. Syaratnya, perusahaan tersebut setuju untuk menyalurkan 1-5 persen dari setiap kesepakatan ke sebuah rekening rahasia yang disediakan Costa. Seiring waktu, skema korupsi semacam ini menjadi kultur para pejabat Petrobras.
Meski demikian, praktik korupsi di Petrobras perlahan terbongkar lewat operasi “Car Wash.” Sejak investigasi dimulai, pelaku korupsi mulai dari pejabat Petrobras dan politikus Brazil satu per satu berhasil diciduk. Dilansir Financial Times, aparat telah menetapkan 179 tersangka korupsi di Petrobras dengan putaran uang suap dan sogokan mencapai $6,2 miliar. Sementara kerugian yang didapatkan pemerintah akibat korupsi Petrobras menyentuh angka $29 hingga $42 miliar.
Dampak besar dari korupsi di Petrobras ialah dimakzulkannya Dilma Rousseff dari jabatan presiden. Pemakzulan dilakukan Senat Brasil karena Rousseff dianggap tak bisa menyelesaikan permasalahan skandal korupsi dan krisis ekonomi yang tak kunjung reda. Banyak pihak menilai, Rousseff turut menikmati hasil korupsi di Petrobras saat menjabat direktur utama pada 2003 sampai 2010. Kendati demikian, anggapan tersebut muncul dari fakta bahwa kebanyakan korupsi di Petrobras terjadi saat Rousseff menjabat. Salah satu tuduhan kepada Rousseff ialah penggunaan uang korupsi untuk kampanye pemilihan presiden pada 2010 dan 2014.
Secara umum, meski apa yang terjadi di Pertamina tidak separah di Petrobras, korupsi tetap saja menjadi ancaman berbahaya bagi perusahaan nasional, terlebih pada bidang migas. Agar tak terjebak dalam kehancuran, Pertamina mesti melakukan reformasi seperti menentukan struktur dan peran yang jelas untuk pemangku kepentingan, memberdayakan kalangan profesional dan berintegritas, rutin melakukan audit maupun melaporkan catatan keuangan ke publik, sampai meningkatkan pengawasan berdasarkan undang-undang. Namun, di luar soal-soal teknis di atas, bagaimana jika ternyata skandal Petrobras juga hadir dalam tubuh Pertamina?
=========
REVISI: Pada infografik sebelumnya, pemuatan foto Gathot Harsono keliru. Perbaikan sudah dilakukan. Redaksi mohon maaf atas kekeliruan ini.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf