Menuju konten utama

Laba Pertamina yang Tergerus Saat Harga Minyak Naik Terus

Kinerja keuangan PT Pertamina masih dibayang-bayangi penugasan pemerintah yang membuat laba mereka tergerus.

Laba Pertamina yang Tergerus Saat Harga Minyak Naik Terus
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Elia Massa Manik, Direktur Keuangan Arief Budiman, Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Ardhy N Mokobombang, Direktur Hulu Syamsu Alam memaparkan pencapaian kinerja Triwulan III tahun 2017 PT Pertamina (Persero) di Jakarta, Kamis (2/11/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - “Pertamina masih tetap bisa mencatatkan laba, di tengah penugasan dalam penyediaan BBM bagi masyarakat di seluruh Indonesia, dengan harga sesuai ketetapan pemerintah,” kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Elia Massa Manik ketika memaparkan kinerja keuangan perusahaan periode Januari-September 2017.

Paparan kinerja perseroan kali ini digelar di sebuah Lounge & Bar ternama di kawasan Jakarta Pusat. Padahal biasanya Pertamina melakukan paparan kinerja di ruang Mezzanine Kantor Pusat sebagai wujud efisiensi perusahaan energi ini.

Elia Massa yang mengenakan kemeja batik saat itu memaparkan sepanjang Januari-September 2017, Pertamina mencatatkan laba bersih $1,99 miliar atau turun 29,6 persen dibandingkan capaian periode sama tahun lalu sebesar $2,83 miliar. Di sisi lain, pendapatan Pertamina memang naik 18 persen dari $26,62 miliar menjadi $31,38 miliar.

Kenaikan pendapatan ini memang tak terlepas catatan harga minyak mentah dunia yang memang berfluktuasi tapi dalam tren naik sepanjang tahun ini.

Merujuk pada data OPEC, rata-rata harga minyak dunia sepanjang tahun ini berada di kisaran $54 per barel. Harga ini sudah membaik dibanding tahun lalu yang sempat menyentuh di angka $30 per barel.

Laba Pertamina yang tergerus dalam sembilan bulan terakhir memang tak lazim. Terutama bila melihat Pertamina sebagai perusahaan migas nasional yang memiliki fokus bisnis hulu pada pengeboran minyak dan gas di tengah tren harga minyak mentah yang membaik.

Teorinya, Pertamina memang seharusnya bisa mengambil cuan dari kenaikan harga minyak dunia karena bisa menjual minyak hasil produksi dengan harga yang lebih tinggi. Namun, kenyataannya tak semudah itu di atas kertas, Pertamina terbebani oleh beban operasi yang timbul lantaran lebih banyak mengimpor minyak demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Selain itu, penugasan pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) PSO atau public service obligation dari pemerintah juga punya andil mempengaruhi kinerja. Kondisi harga yang ditetapkan pemerintah memang tidak berubah sudah sejak lama. Pertamina punya tugas dari pemerintah soal BBM satu harga di seluruh wilayah Indonesia.

Baca juga:Harga BBM 2017 Tetap, Pertamina Disinyalir Merugi

Menurut Massa, apabila harga disesuaikan dengan formula penghitungan harga BBM, kinerja keuangan Pertamina tentu bisa lebih baik lagi. Pendapatan diklaim seharusnya bisa mencapai $32,8 miliar dan laba bersih bisa menembus $3,05 miliar.

Seolah tak ingin dinilai menyalahkan penugasan dari Pemerintah, Massa mengatakan bahwa selisih pendapatan tersebut dianggap sebagai kontribusi Pertamina kepada masyarakat. Jika mengacu pada kenaikan Indonesia crude price (ICP), dan dihitung berdasarkan formula yang berlaku, maka pada September 2017 harga premium harusnya sudah naik jadi Rp7.100 per liter dan solar Rp6.500 per liter. Namun, kenyataannya BBM premium di Jakarta (16-31 Oktober 2017) misalnya masih dijual Rp6.550 per liter, dan solar Rp5.150 per liter.

Setidaknya ada selisih pendapatan sebesar US$1,42 miliar atau setara Rp19 triliun yang harus ditanggung Pertamina akibat selisih harga jual BBM dari harga seharusnya. Jumlah itu belum termasuk kontribusi dalam bentuk kontribusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)

“Sesungguhnya nilai tersebut sangat dibutuhkan Pertamina untuk investasi di sektor hulu, kilang dan proyek-proyek strategis lainnya. Tapi it’s ok. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Dapat harga BBM yang lebih murah,” ujar Massa.

Dari segi penjualan, kinerja Pertamina memang terbilang baik. Pertumbuhan penjualan BBM tumbuh 5 persen sepanjang sembilan bulan 2017. Kenaikan ini memang tumbuh tipis dibandingkan kenaikan periode sama tahun lalu yang hanya 4 persen. Penjualan BBM Pertamina terbagi atas BBM PSO, BBM penugasan, dan BBM Non PSO.

“Kalau lihat BBM PSO, dibanding tahun lalu itu meningkat 6,1 persen. Sedangkan BBM penugasan ada penurunan 35 persen. Penugasan ini untuk Premium non Jamali (Jawa-Madura-Bali),” kata Direktur Pemasaran Pertamina, Muchammad Iskandar.

Sedangkan untuk penjualan BBM non PSO yang terdiri dari Pertamax, Pertamax Plus, Pertalite, Pertamax Turbo, Pertadex, dan Dexlite mampu mencatatkan pertumbuhan yang signifikan. Untuk Pertamax naik 92 persen dibanding tahun lalu yang hanya 2,49 juta KL, menjadi 4,8 juta KL. Begitu pun Pertalite, naik 240 persen dari 3 juta KL pada 2016, menjadi 10,27 juta KL. Sedangkan Pertamax Plus naik 27 persen, Pertadex dan Dexlite naik masing-masing 32,5 persen.

Infografik Maunya sih cuan tapi

Catatan Soal Efisiensi di Pertamina

Menurunnya laba Pertamina dinilai sebagai wujud tidak efisiennya operasional perusahaan. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmy Radhi mengatakan, kondisi yang dihadapi Pertamina pada tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu.

Hanya saja pada 2016, di era kepemimpinan direktur utama, Dwi Soetjipto, Pertamina mampu membukukan laba yang lebih besar lewat strategi efisiensi. Salah satu efisiensi yang paling nyata ada pada impor BBM yang semula dilakukan oleh Petral dialihkan ke unit Integrated Supply Chain (ISC).

Baca juga:Bongkar Pasang Penggawa Pertamina

“Nah berkat itulah ada penghematan yang sangat besar. Berbeda dengan era Elia Massa saat ini yang saya lihat tidak lagi melakukan efisiensi. Buktinya pendapatan meningkat tapi laba berkurang karena operasional yang membengkak,” ujar eks anggota Tim Pemberantas Mafia Migas itu kepada Tirto.

Ia menyayangkan alasan Pertamina yang terbebani dengan tidak adanya penyesuaian harga BBM PSO dan penugasan. Awalnya, Fahmy termasuk yang menerima alasan dari Pertamina tapi itu semua berubah setelah mengetahui adanya kompetitor baru di sektor hilir Pertamina yang lebih efisien. “Saya setuju, namun kemudian saya terbelalak setelah melihat murahnya BBM yang dijual (SPBU) VIVO.”

“Memang bisa saja VIVO melakukan strategic pricing atau marketing. Namun saya tetap melihat ada potensi inefisiensi di Pertamina, bukan karena Pemerintah tidak melakukan penyesuaian harga,” katanya.

Pertamina memang harus membuktikan kinerja di sisa beberapa bulan terakhir di 2017 ini. Kritikan soal pekerjaan rumah soal efisiensi bisa jadi catatan bagi BUMN energi ini.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Dano Akbar M Daeng

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dano Akbar M Daeng
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra