Menuju konten utama

Bongkar Pasang Penggawa Pertamina

Semenjak kejatuhan Soeharto, kursi direktur utama PT Pertamina begitu panas. Silih berganti dan bongkar pasang jajaran direksi dan pucuk tertinggi Pertamina terus terjadi.

Bongkar Pasang Penggawa Pertamina
Dwi Soetjipto (kanan) saat menjabat Dirut Pertamina meresmikan anjungan lepas pantai Pertamina Hulu Energi (PHE) 24 di Lepas Pantai Perairan Madura, Jawa Timur, Rabu (12/10). ANTARA FOTO/Zabur Karuru.

tirto.id - Ibnu Sutowo merupakan direktur utama paling lama di Pertamina. Ia memimpin Pertamina hampir 20 tahun (sejak era PN Permina). Dua belas dirut Pertamina lainnya belum bisa mengalahkan rekor Ibnu Sutowo. Semenjak Ibnu Sutowo lengser dari pucuk tertinggi Pertamina, sejak itu pula kursi empuk dirut Pertamina begitu panasnya sehingga sangat sedikit yang bisa bertahan lama.

Penerus Ibnu Sutowo bisa dibilang sebagai pengganti saja. Hanya Faisal Abda’oe yang bisa sedikit menandingi Ibnu Sutowo, dengan masa tugas hampir 10 tahun. Abda’oe barangkali jadi dirut terlama bila dihitung sejak periode merger PN Permina dan PN Pertamin menjadi Pertamina pada 1968.

Rata-rata lama periode menjabat seluruh dirut Pertamina selama 4,9 tahun. Sedangkan rata-rata lama memimpin para nakhoda Pertamina di era Orde Baru 8,2 tahun. Setelah reformasi, pergantian dirut Pertamina lebih cepat, rata-rata kekuasaan para pimpinan Pertamina hanya 2,3 tahun saja. Karen Agustiawan masih yang terlama memimpin Pertamina semenjak 1998, ia mampu melewati masa tugas 5 tahun.

Pergantian dan bongkar pasang direksi, terutama dirut Pertamina memang menjadi isu yang sensitif dan umumnya terjadi tak sampai masa jabatan mereka tuntas. Nuansa politis, pertimbangan kinerja, bahkan sinergi di internal Pertamina dan lainnya memengaruhi lengsernya seorang dirut Pertamina.

Ibnu Sutowo Hingga Dwi Soetjipto

Ibnu Sutowo merupakan sosok militer yang melekat dengan Pertamina. Ia membangun Pertamina dari awal berdirinya PN Permina 10 Oktober 1957, hingga PN Permina dan PN Pertamin melebur pada 1968 jadi Pertamina.

Di bawah Ibnu Sutowo, Pertamina jadi bulan-bulanan media nasional yang sangat kritis waktu itu. Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis membombardir pemberitaan dugaan penyelewengan di Pertamina, termasuk bisnis-bisnis Pertamina yang di luar bidang perminyakan, yang berdampak pada keuangan perusahaan yang morat-marit terlilit utang. Padahal Pertamina kala itu melewati masa-masa booming harga minyak.

”…tiga bulan Indonesia Raya menyerang Pertamina dan saya pribadi, dari serial sampai pojok-nya.” kata Ibnu Sutowo dalam Buku Saatnya Saya Bercerita! (Ramadhan KH: National Press Club of Indonesia, 2008) dikutip dari kompas.

Pada Februari 1975, Pertamina mengalami gagal bayar (default) kredit sebesar 40 juta dolar AS kepada sindikasi bank Amerika. Sampai pada akhirnya, Soeharto yang berkuasa pada waktu itu mencopot Ibnu Sutowo pada 1976, dan melantik Piet Haryono yang juga berlatar militer pada 15 April 1976. Muncul spekulasi pencopotan Ibnu Sutowo karena pertimbangan politis. Namun, secara nyata kinerja Pertamina di bawah Ibnu Sutowo mendapat catatan langsung dari Presiden Soeharto meski diberhentikan dengan hormat.

“Kesulitan yang dialami oleh Pertamina memang cukup parah, terutama karena terlibat dalam kewajiban pembayaran utang-utang yang tidak terpikul lagi oleh kemampuan perusahaan tersebut. Besarnya kewajiban-kewajiban itu disebabkan oleh meluasnya kegiatan Pertamina, yang sebagian besar tidak langsung ada hubungannya dengan kegiatan di bidang minyak,” kata Soeharto dalam acara pelantikan Piet Haryono di Istana, dikutip dari laman soeharto.co.

“Tugas yang dipikulkan oleh pemerintah di pundak saudara Piet Haryono sungguh tidak ringan, lebih-lebih karena Pertamina harus terus menertibkan dan mengkonsolidasikan diri sebagai akibat kesulitan yang dialami.”

Perintah Soeharto kepada Piet sangat jelas yaitu menyelamatkkan Pertamina yang diambang kebangkrutan. Berbagai kontrak yang sudah disepakati akhirnya dibatalkan untuk mengurangi beban keuangan Pertamina. Piet Haryono mampu menjawab pekerjaan berat itu.

Infografik Dirut Pertamina

Dalam buku Transformasi Pertamina: Dilema Antara Orientasi Bisnis dan Pelayanan Publik (2009), disebutkansalah satu keberhasilan Piet adalah mengembangkan proyek LNG dan ekspansi kilang di Balikpapan dan Cilacap. Setelah menjabat selama lima tahun, Piet diganti. Pada April 1981 kursi tertinggi di Pertamina dipegang oleh Joedo Sumbono. Joedo dianggap punya peran dalam meletakkan dasar distribusi BBM di Indonesia dalam skema unit pemasaran. Joedo harus menyerahkan estafet ke penerusnya AR Ramly. Pada 19 Agustus 1988, Faisal Abda'oe menjadi orang nomor satu di Pertamina yang kelima.

Pada Juni 1998 Soegianto didapuk menakhodai Pertamina. Ia tercatat sebagai dirut Pertamina yang paling singkat dan menghadapi kondisi ekonomi Indonesia yang sedang sulit kala itu. Pada Desember 1998, Soegianto digantikan oleh Martiono Hadianto. Setelah Hadianto lengser, Baihaki Hakim menduduki tahta Pertamina. Hanya bertahan dua tahun, jabatan Baihaki diteruskan Ariffi Nawawi yang memimpin Pertamina hingga 2004. Pada masa itulah kasus persekongkolan penjualan VLCC Pertamina terjadi dan menjadi perkara karena dianggap merugikan negara.

Setelah itu, Widya Purnama dipercaya memegang kepemimpinan di Pertamina. Persoalan tarik menarik soal pengelolaan Blok Cepu, membuat Widya dicopot lalu diganti oleh Ari Hernanto Sumarno. Ari yang memulai karier di Pertamina sejak 1978, pada 2006 didapuk sebagai orang nomor satu di Pertamina. Hanya berselang tiga tahun, pada 5 Februari 2009, Ari Sumarno diganti oleh Karen Agustiawan.

Dari lama jabatan kursi dirut Pertamina setelah era Orde Baru, Karen Agustiawan menjadi pemegang pucuk tertinggi terlama di Pertamina. Karen akhirnya mengundurkan diri mulai 1 Oktober 2014.

Di bawah Karen, Pertamina sempat melakukan berbagai akuisisi non-organik di lapangan minyak di luar negeri seperti di Algeria. Karen juga mampu mencatatkan Pertamina masuk peringkat 122 Fortune Global 500. Selepas Karen, Pertamina sempat dipimpin oleh Muhamad Husen sebagai pelaksana tugas (Plt) Dirut Pertamina. Dwi Soetjipto kemudian ditunjuk memimpin Pertamina mulai 28 November 2014.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya target pargantian direksi Pertamina punya manajemen yang lebih kuat dengan penambahan tiga direksi baru. Pada waktu itu, Dwi memiliki ranking tertinggi saat tes baik kemampuan global, kemampuan manajemen, dan kompetensi.

“Di SKK Migas sudah ada Pak Amin (Sunaryadi) kemudian juga Pak Faisal Basri di tim untuk reformasi di situ. Kemudian sekarang ada manajemen yang baru sehingga nanti bisa bersinergi akan lebih baik,” kata Jokowi dikutip dari laman Setkab.

Sayangnya, harapan bersinergi untuk membangun Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia, sistem transparan dari hulu hingga ke hilir dengan pemangku kepentingan lain menjadi antiklimaks. Kabar tak adanya sinergi di internal Pertamina menyeruak hingga puncaknya pada Jumat (3/2/2017) Menteri BUMN Rini Sumarno melalui SK No: SK-26/MBU/02/2017 memberhentikan Dwi Soetjipto sebagai Direktur Utama dan Ahmad Bambang sebagai Wakil Direktur Utama.

Menteri BUMN Rini Sumarno menghapus nomenklatur Wakil Direktur Utama untuk efektivitas jalannya kepemimpinan di Pertamina. Ini menghapus pakem lama di Pertamina. Pada masa Karen sempat ada sosok Omar S Anwar, sebagai wakil dirut. Lalu ada sosok Mustiko Saleh di bawah Dirut Widya Purnama, ada juga Iin Arifin Takhyan saat Pertamina bawah Ari H. Sumarno.

Dalam suasana industri migas yang penuh tantangan, kepemimpinan yang kuat memang sangat dibutuhkan. Tak hanya itu, koordinasi di dalam manajemen, termasuk kerja sama dengan para pemangku kepentingan sangat diperlukan agar Pertamina tak mengulang kisah keterpurukan seperti yang terjadi di masa silam karena salah pengelolaan.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti