Menuju konten utama

Jalan Terjal Pertamina Menjadi Pemain Global

Dua tahun terakhir bukanlah waktu yang mudah bagi perusahaan migas, termasuk Pertamina. Anjloknya harga minyak memberikan tantangan tersendiri, dan butuh penanganan tepat agar perusahaan tidak kolaps. Bagaimana Pertamina menghadapinya?

Jalan Terjal Pertamina Menjadi Pemain Global
Petugas Pertamina bekerja menggunakan sistem pengontrol otomatis penyaluran BBM atau New Gantry System (NGS) pada truk tangki BBM di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Medan, Sumatera Utara, Jumat (25/11). ANTARA FOTO/Septianda Perdana/foc/16.

tirto.id - Pertamina baru saja mengalami perombakan direksi. Dwi Soetjipto dicopot dari posisi Direktur Utama, sementara Ahmad Bambang dicopot dari posisi sebagai Wakil Direktur Utama.

Penunjukan Wakil Direktur Utama pada Agustus 2016 yang diharapkan bisa membantu kinerja Pertamina, menurut Menteri BUMN Rini Soemarno justru berdampak sebaliknya. Tidak kompaknya direksi dinilai Menteri Rini bisa berdampak pada teamwork Pertamina, yang kini sedang menangani proyek-proyek skala internasional dari hulu hingga hilir.

"Mereka (Pertamina) perlu ada konsentrasi dalam hillirisasi dan megaproyek. Jika dihitung bisa mencapai sekitar Rp700 triliun," ujar Menteri Rini, seperti dilansir dari Antara.

Menteri Rini juga menyebut, 2017 merupakan tahun yang sangat penting, banyak proyek yang harus diselesaikan mulai dari implementasi satu harga BBM, revitalisasi kilang Cilacap, peningkatan kapasitas kilang Balikpapan, kilang Dumai, "refinery" hingga pengembangan sumur-sumur migas di Indonesia.

Namun, kondisi belakangan tambah Rini, situasi kepemimpinan di Pertamina justru semakin tidak stabil tercermin ketika dalam pengambilan keputusan jika ada direksi yang tidak setuju maka ada yang jalan sendiri-sendiri.

"Padahal dalam penerapaan GCG (tata kelola perusahaan yang baik), bahwa keputusan direksi itu jadi tanggung jawab bersama, tidak bisa dipotong sendiri," tegas Rini.

Pertamina memang sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah. Banyak yang menyebut Pertamina kini sudah kalah jauh dari Petronas, yang notabene sebenarnya anak didiknya. Bagaimana sebenarnya kinerja Pertamina dalam beberapa tahun terakhir?

Warisan Orde Baru

Pada awal tahun 1970-an, Pertamina terhitung maju untuk ukuran perusahaan Migas di ASEAN. Pertamina bahkan telah mengoperasikan 3 kilang minyak, yaitu Pangkalan Brandan, Plaju dan Dumai. Dengan kemampuan terintegrasi di sektor hulu dan didukung sektor hilir, Pertamina tercatat sebagai perusahaan paling berpengalaman dengan SDM yang mumpuni.

Kesuksesan Pertamina membuat Negeri Jiran terpesona. Tidak lama setelah Petronas berdiri pada tahun 1974, atas program kerja sama antar negara saat itu, maka belajarlah SDM Petronas ke Pertamina. Ini merupakan langkah “Quick Win” Pemerintah Malaysia untuk mempercepat Petronas dalam memiliki kemampuan di industri migas yang saat itu sudah dikuasai oleh perusahaan migas dari negara barat.

Kinerja Pertamina sendiri semakin maju setelah keluarnya UU No 8 Tahun 1971 yang memberikan kekuasaan kepada Pertamina untuk menguasai seluruh ladang migas di Indonesia. Pada 1980an, Pertamina terus menambah kapasitas kilang minyak, yaitu kilang Balikpapan, kilang Cilacap, kilang Balongan dan kilang Kasim Sorong (karena kapasitas yang kecil, kontribusi kilang Kasim tidak signifikan).

Memasuki 1997, krisis menerjang Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian berjuang untuk melewati krisis, salah satunya dengan melakukan deregulasi di semua lini perekonomian, termasuk sektor migas.

Pertamina yang dicap sebagai “warisan order baru” dan sarat KKN harus turut direformasi. Hak istimewa Pertamina yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1971 dicabut seiring dengan dilakukannya liberalisasi migas dengan terbitnya UU No 22 Tahun 2001. Semenjak berlakunya UU tersebut, maka posisi Pertamina sejajar dengan perusahaan migas lain yang ada di Indonesia dan harus berkompetisi untuk mendapatkan ladang-ladang migas. Tentu saja penguasaan ladang migas Pertamina otomatis anjlok dari 100 persen menjadi kurang dari 20 persen. Perusahaan asing kala itu seperti Caltex menjadi raja migas di Indonesia karena memproduksi lebih dari 50 persen minyak Indonesia.

Bersaing dengan berbagai perusahaan migas menjadikan beban Pertamina bertambah. Proyek-proyek strategis tak lagi menjadi prioritas. Salah satunya terkait pembangunan kilang. Investasi kilang kapasitas 300.000 barrel yang mencapai sekitar Rp80 triliun tidak mampu dicukupi oleh keuangan Pertamina.

Pertamina terakhir kali membangun kilang adalah kilang Balongan pada 1994. Setelah reformasi, hampir selama 20 tahun tidak ada lagi kilang yang dibangun Pertamina. Pertamina memilih fokus ke bisnis hulu yang saat itu sangat menjanjikan seiring naiknya harga minyak.

Infografik Sejarah Pertamina

Tekanan dari Harga Minyak

Kenaikan harga minyak dunia memang menjadi berkah bagi Pertamina pada awalnya. Tercatat mulai 2011, harga minyak secara rata-rata mencapai $100 per barel. Menurut data Statista untuk rata-rata harga minyak tahunan OPEC naik menjadi $109,45 per barel. Untuk 2014, harga minyak masih bertahan tinggi, rata-rata sebesar $105,87 per barel.

Kenaikan harga minyak mentah dunia itu secara signifikan mendorong pendapatan Pertamina. Pada 2012 sampai 2014 pendapatan Pertamina selalu di atas $70 miliar. Keuntungan Pertamina pada 2013 juga mencetak angka tertinggi dalam sejarah sebesar $3,97 miliar.

Pertamina juga berhasil masuk di Fortune Global 500 di tahun 2012 dan 2014. Peringkat Pertamina di tahun 2014 berada di posisi 122 mengalahkan perusahaan besar lain seperti PepsiCo yang ada di peringkat 137, Unilever yang ada di peringkat 140, Google yang ada di posisi 162 dan Caterpillar yang ada di peringkat 181.

Cobaan mulai datang pada September 2014 ketika harga minyak dunia secara perlahan turun. Secara rata-rata, harga minyak pada 2014 turun menjadi $96,29 per barel. Harga semakin anjlok ke $49,49 per barel pada 2015 dan turun lagi ke $40,68 per barel pada 2016. Turunnya harga minyak itu tentu saja berdampak signifikan pada kinerja Pertamina yang sebelumnya bertumpu pada sektor hulu.

November 2014, pemerintah melakukan perombakan jajaran direksi Pertamina. Karen Agustiawan mundur, digantikan oleh Dwi Soetjipto. Saat itu, kondisi industri migas sedang tidak sehat. Harga minyak yang menukik, konsumsi BBM yang semakin membesar, juga masalah impor yang menyeret kinerja Petral.

Seperti diketahui, tidak adanya kilang baru sebenarnya tidak hanya menjadi problem bagi Pertamina, tetapi problem juga bagi pemerintah di saat konsumsi BBM terus meningkat. Impor menjadi solusi untuk menutupi kekurangan BBM, terlebih kilang minyak yang sudah menua memiliki yield valuable produk yang rendah rata-rata pada kisaran 70 persen.

Impor yang dilakukan melalui Petral ternyata memunculkan masalah inefisiensi tersendiri. Pemberantasan mafia migas yang dilakukan Jokowi dengan pembentukan Tim di bawah komando Faisal Basri melahirkan berbagai rekomendasi salah satunya adalah pembubaran Petral. Rekomendasi tersebut dijalankan, Petral dibubarkan dan sebagai gantinya adalah dibentuknya Integrated Supply Chain (ISC) untuk mengatur jalur impor BBM.

Manajemen baru Pertamina akhirnya melakukan akuisisi TPPI Tuban yang mampu meningkatkan kemampuan produksi BBM Pertamina. Pertamina juga melakukan efisiensi di semua lini, sentralisasi pengadaan strategis, menekan loses dan lainnya.

Pada saat bersamaan, Pertamina melakukan inovasi di sektor hilir dengan meluncurkan produk Pertalite, Dexlite dan lainnya. Kebijakan tersebut mampu mengubah struktur pasar BBM di Indonesia. Dari Januari hingga Desember 2016 pengguna Pertalite tumbuh 453%.

Sentralisasi pengadaan BBM oleh ISC dan juga serangkaian efisiensi yang dilakukan Pertamina sejak Januari 2015 membawa penghematan hingga 22 juta dolar AS. Secara total hingga triwulan III-2016, program efisiensi yang dilakukan Pertamina secara total telah memberikan kontribusi hingga $2,83 miliar.

Dengan semua strategi tersebut, Pertamina mampu mempertahankan kinerjanya meski harga minyak dunia turun tajam. Ketika perusahaan-perusahaan migas lainnya mengalami penurunan laba secara signifikan pada 2015, Pertamina tidak mengalaminya. Misalnya Shell yang mengalami penurunan laba hingga 40% menjadi 3,8 miliar dolar, Chevron yang turun 76% menjadi 4,6 miliar, atau Petronas yang turun 56% menjadi 1,4 miliar dolar. Pemex bahkan labanya anjlok 168 persen menjadi rugi 2,2 miliar dolar. Pertamina sendiri hanya mengalami penurunan laba sebesar 2 persen menjadi 1,42 miliar dolar.

Ketika penurunan harga minyak berlanjut pada 2016, hingga di bawah $50 per barel, Pertamina mampu mempertahankan kinerjanya. Meskipun pendapatan Pertamina hingga kuartal III-2016 turun menjadi hanya 26,62 miliar dolar, dibandingkan tahun 2015 sebesar $41,76 miliar, justru keuntungan Pertamina meningkat. Hingga kuartal III-2016, Pertamina sudah mencetak laba hingga 2,83 miliar, naik dibandingkan laba tahun 2014 yang hanya 1,42 miliar.

Seiring dengan gencarnya Pertamina membangun mega proyek kilang dan petrokimia, maka diprediksi pada 2025 mendatang kinerja Pertamina akan berlipat dibandingkan saat ini. Namun, Pertamina tetaplah BUMN yang penuh misteri, sebagai perusahaan tempat berputarnya ratusan triliun uang setiap tahun, yang tentu saja menarik minat banyak pihak. Langkah tepat harus diambil agar Pertamina sebagai “The Real National Oil Company” benar-benar mampu menjadi sebuah entitas bisnis yang sehat, bukan lagi sebagai sapi perahan semata.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Arief Hermawan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Arief Hermawan
Penulis: Arief Hermawan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti