tirto.id - Tanggal 1 Juni kini lazim diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Tanggal itu mengacu pada 1 Juni 1945 kala Sukarno berpidato di depan majelis Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUKI). Sukarno kemudian diagungkan sebagai perumus atau penemu Pancasila.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi…,” kata Sukarno.
Meski begitu, Sukarno pribadi enggan disebut sebagai perumus atau penemu. Berulang kali, dalam banyak kesempatan, Sukarno mengaku hanyalah “penggali” belaka. Sukarno mengatakan bahwa UUD 1945 dan juga Pancasila adalah suatu “ciptaan nasional” dan dirinya hanyalah satu dari “62 orang putera dan puteri Indonesia” yang ikut andil merumuskannya.
Selain Sukarno, ada satu nama lagi yang juga sempat mengemukakan gagasannya tentang kenegaraan Indonesia merdeka, yaitu Soepomo. Dia berpidato di hadapan BPUPKI sehari sebelum Sukarno. Kini, gagasannya itu dikenal sebagai konsep negara integralistik atau negara kekeluargaan.
Soepomo lahir di Sukoharjo pada 22 Januari 1903. Dia tumbuh besar di keluarga ningrat yang mengabdi untuk Kasunanan Surakarta. Kakeknya adalah Bupati Sukoharjo.
Sebagaimana kebanyakan anak keluarga bangsawan lainnya, Soepomo mendapat pendidikan terbaik yang ada di zaman kolonial. Dia tercatat menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Boyolali dan pendidikan menengah di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) Solo. Pada 1923, Soepomo berhasil menyelesaikan pendidikan tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool.
Usai lulus sekolah hukum itu, dia sempat mencicipi pekerjaan sebagai ambtenaar alias PNS Hindia Belanda di Pengadilan Negeri Sragen. Tak lama, Soepomo dapat kesempatan untuk menempuh studi lanjut ke Belanda. Soepomo pun belajar hukum lagi di Rijskuniversiteit Leiden sejak 1924 hingga 1927.
Semasa kuliah di Belanda itu, Soepomo dibimbing oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai begawan hukum adat Nusantara. Berkat buku tebalnya yang bertajuk Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië, para ahli hukum semasa dan sesudahnya bisa mengenal 19 lingkungan hukum adat di Hindia Belanda.
Medan kajian Soepomo jadinya tak jauh-jauh pula dari bidang hukum adat. Dia pun memilih sistem agraria tradisional yang berlaku di Surakarta sebagai topik tesis doktoralnya. Hasilnya adalah tesis berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta).
Di Panggung BPUPKI
Usai lulus, Soepomo dapat pekerjaan sebagai Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta dan kemudian Direktur Justisi di Batavia. Sembari menjalani perannya sebagai hakim profesional, Soepomo juga mengajar di almamaternya Bataviasche Rechtshoogeschool.
Lain itu, Soepomo juga bergabung dengan Budi Utomo dan pada 1930, dia dipercaya menjadi wakil ketuanya.
Soepomo terus berkecimpung di pengadilan hingga Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Kini, dia ditunjuk sebagai hakim di Saikoo Hoin—semacam mahkamah agung—dan sekaligus jadi anggota Panitia Hukum dan Tata Negara. Setahun kemudian, sebagaimana disebut laman Kompas, Soepomo dialihkan menjadi birokrat sebagai Kepala Shijobuco alias Departemen Kehakiman.
Memasuki masa pendudukan Jepang pada 1942, Soepomo melakoni peran baru sebagai Mahkamah Agung (Saikoo Hoin) dan anggota Panitia Hukum dan Tata Negara. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Kepala Departemen Kehakiman (Shijobuco).
Ketika senarai kekalahan mulai menghampiri di front Pasifik, otoritas Jepang mulai melonggarkan kebijakan dan mengobral janji kemerdekaan pada Indonesia. Puncaknya, Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Soepomo yang kala itu sudah terbilang ahli hukum senior ikut ditunjuk menjadi anggota BPUPKI. Rangkaian sidang pertama BPUPKI digelar pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Pokok bahasannya meliputi hal-hal kenegaraan yang mendasar, seperti konsep kenegaraan, bentuk negara, dan falsafahnya.
Soepomo tampil ke panggung pada sidang hari keempat, tanggal 31 Mei. Awam jamak disuguhi informasi bahwa Soepomo spesifik bicara tentang dasar negara. Menurut Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) Syaiful Arif, informasi itu tak sepenuhnya tepat. Pasalnya, Soepomo sebetulnya lebih banyak bicara soal teori-teori kenegaraan.
“Lima sila ala Soepomo ya, ada persatuan lahir batin, ada permusyawaratan dan sebagainya, mirip-mirip dengan Pancasila. Itu sebatas comotan-comotan saja dari para penulis era Orde Baru itu untuk menunjukkan bahwa, ya, ini Soepomo juga ngusulin ini kayak Sukarno,” tutur Syaiful sebagaimana dikuti laman Historia.
Di depan majelis BPUPKI, Soepomo mengemukakan tiga teori dasar tentang negara. Teori pertama adalah negara individualistis yang bertolak dari ide-ide John Locke, J.J. Rousseau, dan Harold Laski. Teori kedua adalah negara kelas yang berakar dari pemikiran Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin.
Teori ketiga—dan paling dikenal darinya hingga kini—adalah ide negara integralistik yang didasarkan pemikiran Baruch Spinoza, Adam Muller, dan Georg Hegel.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia E. Fernando M. Manullang, Soepomo bersepakat pada ide negara integralistik karena paling sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. Negara integralistik dalam pandangan Soepomo adalah bentuk negara yang mengedepankan semangat kekeluargaan.
“Dalam negara semacam itu tidak ada pertentangan, atau dalam kata lain terdapat harmoni kepentingan, karena negara dikelola layaknya keluarga yang harmonis,” tulis Manullang dalam artikel ilmiahnya yang terbit dalam jurnal Hukum dan Pembangunan (Vol. 38, No. 2, 2008—PDF).
Negara integralistik dalam perspektif Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa. Soepomo menilai tiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri-sendiri menurut kodratnya.
“Inilah idee totaliter, idee integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam susunan tata negaranya yang asli,” ujar Soepomo.
Soepomo menengok pula dua contoh negara yang tegak di atas dasar integralistik itu, yaitu Derde Reich Jerman di bawah Hitler dan Kekaisaran Jepang. Keduanya, sebagai negara integralistik, menyatukan negara dengan seluruh rakyatnya, mengatasi seluruh golongan. Negara berada di atas individu, dengan ekonomi sosialis dan setiap aktivitas ekonomi dijalankan “secara kekeluargaan”.
Muasal Asas Kekeluargaan
Akar gagasan negara integralistik dapat dirunut hingga polemik kebudayaan 1930-an. Dalam silang gagasan itu, Sutan Takdir Alisjahbana menganjurkan Barat sebagai kiblat kebudayaan. Konsekuensi dari hal itu adalah lahirnya individualisme, egoisme, serta materialisme.
Di lain kubu, Ki Hadjar Dewantara dan Poerbatjaraka gigih memajukan keluhuran nilai Timur yang berasas keselarasan, solidaritas, dan kolektivisme. Dari gagasan inilah, asas kekeluargaan muncul pertama kali.
“Termasuk dalam asas ini, kepercayaan akan perlunya tatanan politik paternalistik yang dipimpin oleh kebijaksanaan yang disebutnya ‘demokrasi dengan kepemimpinan’ dan keyakinan akan jalannya terbuka bagi Indonesia untuk mencapai ‘sosialisme tanpa perjuangan kelas’,” papar David Reeve dalam Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika (2013, hlm. 11).
Medan yang digunakan Ki Hadjar untuk mengkonkretkan asas kekeluargaan ini adalah Taman Siswa yang didirikannya pada 1922 di Yogyakarta.
Menurut Ki Hadjar, keluraga berasal dari kata “kawula” dan “warga”. Ia merepresentasikan dualisme peran yang terdapat dalam diri individu. Individu sebagai “kawula” atau abdi berkewajiban melayani tuan dengan sepenuh kekuatannya. Di saat yang sama individu juga berperan sebagai “warga” yang memimpin dan mengambil keputusan.
Pada zaman itu, bentuk kebatinan Timur memang relevan sebagai lawan tanding rasionalitas Barat. Ia berkelindan dengan gerakan politik nasionalis yang sedang melawan kolonialisme Belanda. Sarjana-sarjana nasionalis Indonesia mulai mencari sumber gagasan alternatif dari kearifan lokal, keluhuran, dan kebajikan yang bersemayam di masyarakat perdesaan.
Hukum-hukum adat mulai dipelajari dan direfleksikan untuk mendasari negara merdeka yang dicita-citakan kaum pergerakan. Soepomo yang meraih gelar profesor hukum adat dari Rechtshoogeschool pada 31 Maret 1941 itu ikut andil menggali asas kekeluargaan itu.
Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat”, Soepomo mencari bukti-bukti empirik dari asas kekeluargaan Ki Hadjar pada lingkup masyarakat desa.
Soepomo memaknai individu sebagai “suatu makhluk, di mana masyarakat mengkhususkan diri”. Maksudnya, ketika individu telah menjadi bagian dari suatu golongan—lewat profesi maupun kesukuannya—maka kepentingan golonganlah yang akan dibawa si individu, menyisihkan kepentingan pribadinya.
Pandangan-pandangan Ki Hadjar dan Soepomo itu juga berkelindan dengan semangat gotong-royong yang dikampanyekan Sukarno. Gotong-royong bagi Sukarno merupakan penolakan terhadap demokrasi parlementer yang dinilainya sebagai “ideologi industrialisme muda”.
Perdebatan
Dalam sidang kedua BPUPKI (10-17 Juli 1945), Sukarno ditunjuk memimpin panitia kecil perancang undang-undang dasar. Soepomo ikut tergabung dalam panitia kecil itu dan bisa dikatakan punya andil besar sebagai perumus konstitusi Indonesia.
Rancangan undang-undang dasar yang pertama dilaporkan kepada Sukarno pada 13 Juli. Gagasan integralistik alias kekeluargaan ala Soepomo pun turut mewarnai beberapa pasal dalam rancangan undang-undang dasar itu.
Contoh gamblangnya bisa dilihat dalam pasal tentang perekonomian negara yang dijalankan dengan asas kekeluargaan. Lain itu, ada pula pasal tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menampung utusan golongan.
“Profesor Soepomo pun secara tegas menyatakan bahwa urusan hak-hak dasar tidak perlu diatur dalam konstitusi. Menurutnya, pengaturan itu akan berdampak adanya paham yang bersifat perseorangan dalam konstitusi. Dan hal itu tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia,” tulis Manullang.
Gagasan Soepomo yang tertuang dalam rancangan undang-undang dasar itu secara kontan dibidas Mohammad Hatta. Negara yang dirancang Soepomo, dalam pendapat Hatta, akan menjadi negara penindas, bukan “negara pengurus” yang mengayomi rakyatnya. Hatta mengakui bahwa individualisme memang harus ditolak, tapi Hatta lebih tidak ingin negara menjadi totaliter.
Hak-hak asasi manusia, sekurang-kurangnya hak untuk berkumpul serta kebebasan berpendapat, harus dijamin untuk melindungi rakyat.
“Hatta terus mempertanyakan masalah pertanggungjawaban menteri. Dia juga menunjukkan bahwa panitia kecil itu tidak menjelaskan ‘golongan-golongan’ apa yang diwakili dalam MPR,” catat Reeve pula (2013, hlm. 79).
Tidak gentar, Soepomo menuding balik Hatta sedang mencoba mengajukan sistem parlementer yang sudah ditolak sebelumnya. Mengenai utusan golongan dalam MPR, Soepomo menjelaskan bahwa yang dimaksudnya ialah “golongan kolektif”, termasuk kemungkinan ‘golongan’ berlatar ekonomi.
Keberhasilan Soepomo mempertahankan gagasan negara kekeluargaan ternyata tak bertahan lama. Hanya tiga bulan sesudah proklamasi, gagasan itu dimentahkan sama sekali oleh Sutan Sjahrir yang membentuk pemerintahan parlementer.
Gagasan negara integralistik ala Soepomo agaknya punya kemungkinan terwujud dalam Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan Sukarno pada akhir 1950-an. Namun, sayang sekali, Soepomo tak sempat memastikan hal itu karena dia meninggal secara mendadak pada 12 September 1958—tepat hari ini 63 tahun silam.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi