tirto.id - Hari-hari ini agaknya tak banyak orang mengenal Cornelis van Vollenhoven. Namanya bisa jadi terbatas berseliweran di kalangan penekun hukum, terkhusus hukum adat. Namun, sarjana yang lahir di Dordrecht, Belanda, 8 Mei 1874, ini punya andil sejarah yang tak remeh.
Jika ada yang layak disemati sebagai begawan hukum adat Hindia Belanda, dialah orangnya. Berkat buku tebalnya yang yang bertajuk Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië para ahli hukum semasa dan sesudahnya mengenal 19 lingkungan hukum adat di Hindia Belanda.
Van Vollenhoven memulai langkahnya mempelajari hukum pada umur 17 ketika tercatat jadi mahasiswa hukum di Universitas Leiden. Usai mendapat gelar master hukum pada 1895, setahun kemudian ia kuliah di jurusan Bahasa-Bahasa Semit. Tak hanya itu ia juga menempuh pendidikan master ilmu politik yang diselesaikannya pada 1897.
Tak putus di saat itu, Van Vollenhoven lantas meneruskan pendidikan doktoral yang diselesaikannya dalam setahun. Pada 1898 ia memperoleh memperoleh gelar doktor dengan predikat cum laude.
G. van den Steenhoven dalam Biografisch Woordenboek van Nederland (PDF) menyebut karier akademis Van Vollenhoven begitu cepat menanjak. Pada 1901, ia yang masih berusia 27 diangkat menjadi Profesor Hukum Adat Hindia Belanda di Universitas Leiden. Lain itu ia juga mengampu bidang hukum publik dan administrasi kolonial.
“Selama paruh pertama masa jabatan profesornya, Van Vollenhoven bekerja terutama untuk menemukan hukum rakyat (adat) Indonesia, dan merupakan arsitek studi hukum adat,” tulis Van den Steenhoven.
Saintifikasi Hukum Adat Hindia Belanda
Pada 1848 Kerajaan Belanda mulai memberlakukan Undang-Undang Baru (Nieuwe Wetgeving), yang juga mencakup koloni-koloni kerajaan di seberang lautan. Hindia Belanda tak terkecuali.
Akan tetapi, undang-undang itu tak bisa serta-merta diterapkan total di Hindia Belanda. Secara praktik, undang-undang baru itu hanya diterapkan kepada orang-orang Eropa. Sementara itu, persoalan-persoalan hukum para bumiputera diselesaikan seturut aturan-aturan adat yang berlaku.
Di masa itu penyelesaian adat lebih dipercaya dan lebih efektif daripada hukum Barat. Hal ini mendorong para akademikus Belanda mempelajari pranata-pranata adat di Hindia Belanda.
R. Supomo dan Djokosutono dalam Sedjarah Politik Hukum Adat jilid II (1954) menyebut Batavia Genootschap, misalnya, mengumpulkan adat pajak tanah di luar pulau Jawa. Pemerintah kolonial menaruh perhatian terhadap adat tatanegara dan yang berkaitan dengan agraria. Sementara itu organisasi Zending menaruh perhatian pada hukum keluarga dan waris.
Selain oleh lembaga, penyelidikan terhadap pranata adat juga dilakukan oleh individu. Sebutlah misalnya G.A. Wilken yang menyelidi hukum Islam, F.A. Liefrinck yang mempelajari aturan-aturan kerajaan dan komunitas subak di Bali dan Lombok, dan Snouck Hurgronje yang menyelidiki masyarakat Aceh.
Tapi sejauh itu konsep “hukum adat” belumlah dikenal. Istilah itu—yang didefinisikan sebagai aturan-aturan adat tertentu yang mempunyai akibat hukum—baru dikenal ketika Snouck Hurgronje menerbitkan De Atjehers pada 1893.
“Baru pada permulaan abad keduapuluh Masehilah, dengan terlahirnja ilmu hukum adat oleh karena penjelidikannja Mr C. van Vollenhoven, jang menemui hukum adat pada permulaan kalinja serta mengangkatnja kederadjat ilmu pengetahuan,” tulis Supomo dan Djokosutono (hlm. 5).
Van Vollenhoven menyusun dan mengajarkan prinsip hukum-hukum adat di Hindia-Belanda dalam kuliah-kuliahnya. Ia bersama Hurgronje lantas mendirikan fakultas khusus hukum adat Hindia Belanda yang terpisah dari fakultas hukum Universitas Leiden.
Membela Hukum Adat
Predikat Van Vollenhoven sebagai “Bapak Hukum Adat” tak hanya dibangun dari fakultas yang yang ia prakarsai. Lebih dari itu, reputasinya juga tumbuh seiring usaha-usahanya menjaga eksistensi hukum adat di Hindia Belanda.
Pandangan-pandangan Van Vollenhoven amat dipengaruhi oleh semangat etis yang sedang mekar di Belanda awal abad ke-20. Ia mengembangkan perspektif hukum dari kacamata budaya bumiputra.
Pada 1906, Van Vollenhoven menerbitkan jilid pertama Het adatrecht van Nederlandsch-Indië. Melalui buku itu ia menjelaskan konsep dan skema hukum adat di Hindia Belanda. Ia memperkenalkan 19 lingkungan hukum adat yang berlaku di Hindia Belanda. Ia menolak asumsi kolot bahwa masyarakat tradisional di Hindia Belanda tak mengenal hukum formal.
Van Vollenhoven, yang wafat pada 29 April 1933—tepat hari ini 86 tahun lalu, juga menerbitkan karangan lain yang dimaksudkan untuk menggagalkan usaha pemerintah Belanda menghapus hukum adat di Hindia Belanda. Misalnya, pada 1914, ketika pemerintah Belanda meluncurkan proyek Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku untuk seluruh penduduk Hindi Belanda tanpa kecuali.
Van Vollenhoven lalu menerbitkan naskah ilmiah bertajuk Strijd van het Adatrecht (Perjuangan bagi hukum adat) untuk membantah argumen-argumen yang mendasari program itu.
“Van Vollenhoven dengan lantang berjuang agar pemerintah dan masyarakat Belanda dapat melihat cara rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri. Ia membantah keras bahwa hukum Barat kepada rakyat pribumi akan berarti memperkaya peradaban rakyat pribumi yang hidup tanpa hukum,” tulis Upik Djalins dan Noer Fauzi Rachman dari Sajogyo Institute.
Pada 1927 Van Vollenhoven mengajukan usul perubahan haluan kebijakan hukum kepada pemerintah Belanda. R. Soepomo dalam Bab-bab tentang Hukum Adat (1982, hlm. 12-13) menyebut Van Vollenhoven menganjurkan konsepsi dualisme progresif. Intinya: pertahankan hukum adat sembari melakukan pencatatan dan penelitian sistematis terhadapnya. Dengan begitu, hakim-hakim Hindia Belanda tak lagi gagap mengadili perkara menurut hukum adat.
“Konsepsinya Van Vollenhoven diterima dan mulai tahun itu sampai saat pendudukan Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942, politik kolonial Belanda ditandai dengan suatu langkah kembali secara teratur ke arah dualisme,” tulis Soepomo.
Editor: Nuran Wibisono