tirto.id - Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Gubernur Papua, Lukas Enembe belum juga menemui titik terang. Setelah berkali-kali mangkir dengan dalih sakit, kini kuasa hukumnya meminta agar kasus Enembe diselesaikan secara adat, tidak pakai UU Tipikor.
Aloysius Renwarin, kuasa hukum Lukas Enembe beralasan karena klienya tersebut telah ditetapkan sebagai tokoh besar Papua dan telah dikukuhkan pada 8 Oktober 2022. “Berarti semua urusan akan dialihkan kepada adat yang mengambil sesuai hukum adat yang berlaku di tanah Papua,” kata Aloysius kepada wartawan di Gedung KPK, Senin, 10 Oktober 2022.
Karena itu, kata dia, pemeriksaan terhadap Lukas Enembe telah disepakati untuk dilakukan di Papua. “Pemanggilan terhadap Pak Lukas telah disepakati oleh keluarga dan masyarakat adat Papua, mereka menyatakan pemeriksaan ketika Pak Lukas sembuh dilakukan di Jayapura. Dilakukan, disaksikan oleh masyarakat Papua di lapangan terbuka,” kata dia.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut, Aloysius menyebut bahwa pihak yang mengusulkan penanganan kasus Lukas Enembe secara adat tersebut adalah dewan adat Papua. Sebab, penetapan Enembe sebagai tersangka dinilai tak sesuai KUHP sehingga dewan adat meminta perkara itu ditangani secara adat.
“Nanti mekanismenya mereka akan atur di sana. Mereka lihat karena penetapan Pak Gubernur tidak sesuai dengan prosedur KUHP, langsung periksa saksi, lalu tahu-tahu tetapkan gubernur sebagai tersangka. Sehingga dewan adat Papua meminta untuk tarik perkara ini ke dewan adat,” kata Aloysius menegaskan.
KPK pun telah merespons permintaan kuasa hukum Lukas Enembe tersebut. Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaganya mengakui eksistensi seluruh hukum adat di Indonesia. Namun untuk kejahatan, terlebih korupsi, baik hukum acara formil maupun materiil tentu mempergunakan hukum positif yang berlaku secara nasional.
Ali meyakini para tokoh masyarakat Papua tetap teguh menjaga nilai-nilai luhur adat yang diyakininya, termasuk nilai kejujuran dan antikorupsi. Ali justru menyayangkan pernyataan kuasa hukum Lukas Enembe tersebut.
“Justru KPK menyayangkan pernyataan dari penasihat hukum tersangka, yang mestinya tahu dan paham persoalan hukum ini, sehingga bisa memberikan nasihat-nasihat secara profesional,” kata Ali dalam keterangan tertulis, Selasa (11/10/2022).
Lukas Enembe Berhadapan dengan Hukum Selaku Gubernur, Bukan Tokoh Adat
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengingatkan pengacara Lukas Enembe bahwa kliennya saat ini berhadapan dengan hukum sebagai seorang gubernur dan bukan sebagai tokoh adat.
“Pengacara saudara Lukas juga harus memahami bahwa KPK saat ini sedang mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh gubernur, bukan seorang kepala suku. Jadi tidak ada kaitan apa pun proses hukum adat dengan mekanisme pidana yang saat ini sedang dijalankan oleh KPK,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis, Rabu (12/10/2022).
Kurnia bahkan menyarankan kepada tim pengacara Lukas Enembe untuk mempelajari kembali alur penanganan perkara.
“ICW berharap pengacara saudara Lukas Enembe segera bergegas membeli buku tentang hukum pidana dan membacanya secara perlahan agar kemudian dapat memahami secara utuh bagaimana alur penanganan suatu perkara," kata Kurnia.
Saran tersebut dalam rangka mengingatkan tim pengacara Lukas Enembe bahwa proses penyidikan hanya dapat diberhentikan karena kondisi-kondisi tertentu, misalnya tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, atau penyidikan dihentikan demi hukum. Keseluruhan ini diatur secara rinci dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
“Karena perkara ini diusut oleh KPK, pengacara saudara Lukas juga harus menambah referensi dengan membaca ketentuan Pasal 40 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK dapat menghentikan penyidikan jika penanganannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Dua regulasi itu sama sekali tidak menyebutkan alasan penghentian penyidikan karena seseorang diangkat sebagai kepala suku," imbuh Kurnia.
ICW mendesak KPK agar segera menangkap dan menahan Lukas Enembe serta mempertimbangkan untuk mengeluarkan surat perintah penyelidikan atas dugaan obstruction of justice terhadap pihak-pihak yang berupaya menghalang-halangi proses hukum dalam perkara tersebut.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan, pernyataan pengacara Lukas Enembe perlu dihormati sebagai aspirasi. Akan tetapi dalam hal penegakan hukum, KPK juga memiliki SOP yang harus dipatuhi.
“Ya nggak apa-apa pernyataan Lukas Enembe maupun pengacaranya, kita hormati sebagai aspirasi, tapi kalau dari sisi hukum, kan, KPK punya SOP sendiri dan berdasarkan ketentuan UU yang berlaku," kata Boyamin saat dihubungi reporter Tirto.
Boyamin juga menyebut bahwa sebelumnya KPK sudah sempat melakukan upaya pemanggilan di Mako Brimob Polda Papua, namun tak diindahkan oleh pihak Lukas Enembe.
“Pemeriksaan saksi dan pelaku itu, ya di kantor penyidiknya. Atau tempat lain yang ditentukan penyidik. Kemarin kan pernah di tempat Mako Brimob Polda Papua, tapi tidak datang. Ya sudah sekarang ketika KPK menentukan pemeriksaan di kantor KPK, ya harus diikuti itu,” kata dia.
Boyamin menyebut memang pernah ada model pidana adat untuk kasus korupsi. Akan tetapi pidana tersebut dijatuhkan karena kerugian dialami oleh lembaga adat. Sehingga hal serupa tak dapat diterapkan dalam kasus Lukas Enembe yang berhadapan dengan hukum dalam statusnya sebagai gubernur.
Penerapan hukum adat dalam kasus korupsi yang dimaksud Boyamin, tertulis dalam sebuah jurnal ilmiah berjudul “Pengenaan Sanksi Adat Bagi Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Wewenang Terhadap Keuangan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Tuwed Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana.” Jurnal tersebut ditulis oleh Kadek Mas Aditya Mahottama dkk, dari Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.
Dalam kasus dimaksud, para tersangka juga dijatuhi hukuman pidana selain mendapatkan sanksi dari lembaga adat.
Pengacara Lukas Harus Paham Konteks
Sementara itu, Pakar Komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, tim pengacara Lukas Enembe perlu memahami konteks persoalan. Pasalnya, menurut Emrus, persoalan penegakan hukum hendaknya juga diselesaikan melalui mekanisme penegakan hukum.
“Teman-teman pengacara LE (Lukas Enembe) ini harus melihat konteksnya. Karena ini, kan, konteks penegakan hukum di suatu negara, beda konteksnya kalau penyelesaian adat,” kata Emrus saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (12/10/2022).
Ia menyebut jika permasalahan Lukas Enembe diselesaikan menggunakan kearifan lokal, maka tak menutup kemungkinan nantinya akan ada kasus-kasus serupa yang juga meminta penyelesaian tanpa melewati proses hukum.
Karena itu, menurut Emrus, idealnya tim pengacara Lukas Enembe memberi saran yang sesuai dengan profesinya.
“Sebagai pengacara, kan, idealnya dia memberi saran sesuai kepengacaraannya, yaitu proses hukum. Bukan menyelesaikan secara adat, tapi mari kita hadapi bersama proses hukum ini di instansi hukum. Karena dia pengacara, penasihat hukum. Jadi dia harus memberikan saran sesuai posisi,” kata dia.
Kendati demikian, Emrus tak dapat memastikan apakah intensi dari permintaan pengacara Lukas Enembe tersebut akibat rasa takut atau bukan. “Apakah intensi dia ada ketakutan, harus dilakukan indepth interview atau penelitian secara kualitatif apakah ada ketakutan atau tidak," katanya.
Namun, Emrus menilai bahwa permintaan penyelesaian kasus Lukas Enembe secara adat adalah permintaan yang kurang tepat. Pasalnya kasus Lukas Enembe tak terkait dengan permasalahan adat tertentu.
“Ini, kan, bukan persoalan yang terkait dengan etnisitas antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam komunitas. Tapi ini persoalan menyangkut tentang penegakan hukum yang berlaku di suatu negara, sehingga penyelesaiannya harus diselesaikan secara hukum,” kata dia.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz