Menuju konten utama

Cerita Pemuka Agama Perempuan Mengikis Dominasi Patriarki

Baik bikkhuni, pendeta hingga ulama perempuan kerap menghadapi tantangan. Padahal urgensi peran mereka amat mendesak terutama bagi pemberdayaan perempuan.

Cerita Pemuka Agama Perempuan Mengikis Dominasi Patriarki
Bhikkhuni Piyakanti Meilinah di Cetya yang ia bangun dan kelola. tirto.id/Fatimatuz Zahra

tirto.id - “Buddham sharanam gachhami, Dhammam sharanam gacchami.”

Anak-anak peserta sekolah Minggu khidmat menyenandungkan lagu Tisarana berbahasa Pali sembari dibimbing untuk menghapal gerakan oleh sang pengajar.

“Anak-anak tadi sudah berbuat baik dengan mengikuti sekolah minggu. Sekarang kita limpahkan perbuatan baiknya kepada semua leluhur yang membutuhkan pelimpahan jasa, semoga semua makhluk bahagia.”

Bhikkhuni Piyakanti menutup agenda sekolah minggu yang digelar di sebuah Cetya yang dikelolanya di Tangerang Selatan.

Perempuan bernama lahir Meilinah ini sudah memasuki tahun ketujuh menghidupi sebuah tempat ibadah umat Buddhis yang biasa disebut Cetya.

Namun, tak jarang ia juga ditugaskan untuk memimpin ibadah di lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya tersebut.

“Ada beberapa juga undangan di luar Tangerang seperti Rangkas, Cilegon atau ke luar daerah beberapa kali ke Medan, selebihnya ke daerah Kalimantan khususnya Kalimantan Timur. Itu untuk di Indonesia,” kata Piyakanti kepada Tirto, Minggu (2/10/2022).

Penyebabnya tak lain, karena minimnya jumlah pemuka agama Buddha di Indonesia.

“Wanita Tidak Boleh Menjadi Bhikkhuni”

Minggu siang itu, seperti biasa anak-anak Buddhis yang tinggal di sekitar Cetya menghadiri sekolah rohani dengan dibimbing oleh pengajar yang didatangkan dari luar Cetya. Kebetulan, mereka sedang mempersiapkan diri untuk tampil di sebuah acara keagamaan di Tangerang.

“Indonesia ini kan, tidak terbiasa untuk orang tua itu melepas anak.”

Piyakanti mengawali ceritanya kepada saya siang itu. Keputusannya menapaki jalan menjadi seorang petapa yang ditahbiskan sebagai Bhikkhuni, atau juga kerap disebut Ayya, agaknya bukanlah hal yang mudah diterima oleh orang-orang yang mengenalnya. Tak terkecuali keluarganya sendiri.

“Mereka (orang tua) ada penolakan meskipun tidak sampai harus tidak boleh. Hanya ketidaksetujuan.”

“Seperti seolah-olah ‘oh ya sudah lihat saja, betah atau nggak, nanti juga balik’," katanya menirukan ucapan orang tuanya saat mendengar keputusan yang ia ambil tersebut.

Namun demikian, melihat keteguhan hati anaknya, sang orang tua pun akhirnya luluh. Bahkan kini Piyakanti tinggal bersebelahan dengan rumah orang tuanya.

“Jadi sekarang kalau ditanya, sekarang kalau tidak diizinkan ya tidak mungkin saya tinggal bersebelahan. Dengan mama saya bolak balik ke sini. Saya juga bisa setiap saat melihat orang tua saya. Jadi sudah tidak ada masalah,” katanya.

Namun, respons tak suportif atas keputusan Piyakanti menjadi Bhikkhuni tak hanya datang dari pihak keluarga saja. Orang lain yang mengenalnya pun sedari awal secara terang-terangan menunjukkan respons negatif atas keputusan tersebut.

“Mereka benar-benar akan bilang ‘wanita tidak boleh menjadi Bhikkhuni’. Ketika berurusan dengan seperti itu, lalu saya akan bertanya apakah Sang Buddha mengatakan seperti itu? Bahwa jelas-jelas Agama Buddha ini mementingkan ekualitas. Semua sama. Sang Buddha dari awal itu menjelaskan bahwa tidak ada pria atau tidak ada wanita yang tidak bisa menjalankan ini,” katanya menegaskan.

Siapapun, lanjut Piyakanti, bisa mencapai kesucian, bukan karena dia pria atau dia wanita.

“Pernyataan bahwa wanita tidak bisa, menurut saya itu bertolak belakang dengan apa yang sang Buddha ajarkan,” imbuhnya.

Mengambil jalan sebagai Bhikkhuni memang dibutuhkan keberanian menghadapi kenyataan bahwa nantinya akan ada pihak-pihak yang tak sepakat dengan keputusan besar tersebut.

“Memang harus berani. Kalau tidak akan goyah,” tandasnya.

Pemuka Agama Perempuan di Indonesia

Bhikkhuni Piyakanti Meilinah sedang memimpin doa pasca sekolah minggu. tirto.id/Fatimatuz Zahra

Jalan Biksu Perempuan Lebih Terjal

Di Indonesia terdapat 3 mazhab besar dalam Agama Buddha yaitu Teravada, Mahayana dan Tantrayana yang masing-masing dapat menahbiskan Bhikkhu maupun Bhikkhuni.

"Saya termasuk salah satu di mazhab Teravada. Tapi ada juga pilihan untuk tidak memilih, Indonesia mengatakan independen," ujar Piyakanti.

Mazhab Teravada sempat lenyap pada abad ke-11, salah satu penyebabnya lantaran perang. Namun, ajaran ini muncul kembali pada 2000 di Bodhgaya, sebuah situs agama Buddha di timur laut India.

Sementara itu, pada 21 Juni 2015 silsilah bikkhuni mazhab Teravada bangkit kembali melalui peristiwa luar biasa yakni upacara Upasampada Bikkhuni Teravada, upacara penahbisan bikkhuni pertama di Indonesia dan di dunia setelah seribu tahun.

Upacara ini menjadi titik terang bagi para upasika, umat Buddhis wanita, yang hendak memilih jalan hidup selibat sebagai bikkhuni. Peristiwa ini pulalah, yang secara tak langsung, membuka jalan bagi Piyakanti memilih hidupnya seperti sekarang.

Namun, keputusan untuk menjadi petapa, diakui Piyakanti, adalah keputusan yang berat. Khususnya jika keputusan itu diambil oleh seorang perempuan. Kekhususan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam perjalanan seorang perempuan menjadi Bhikkhuni jika dibandingkan dengan perjalanan laki-laki menjadi Bhikkhu.

Pertama adalah aturan pendidikan sebelum ditahbiskan. Perempuan diwajibkan berada lingkungan vihara atau menjadi viharawati untuk mengikuti pendidikan, minimal 2 tahun sebelum penahbisan. Sementara untuk laki-laki, tidak ada batas minimum yang mengikat layaknya perempuan.

“Bhikkhu tidak ada ketentuan itu. Jadi semua tergantung kebijakan gurunya. Ketika gurunya menyatakan siap dalam waktu seminggu, sepuluh hari atau sepuluh tahun. Tapi kalau Bhikkhuni tidak bisa ketemu gurunya seminggu langsung ditahbiskan itu tidak bisa. Jadi gurunya minta (calon Bhikkhuni) bersabar minimal 2 tahun,” kata Piyakanti.

Selain itu, perbedaan paling signifikan, menurutnya, adalah ketentuan yang memperbolehkan Biksu laki-laki lepas jubah (melepas status Biksunya) maksimal sebanyak tujuh kali.

Sementara Biksu perempuan hanya punya satu kali kesempatan dalam hidupnya untuk menjadi Biksu. Jika Biksu perempuan memutuskan untuk lepas jubah, maka ia tak akan dapat kembali menjadi Biksu selamanya.

“Yang paling mendasar perbedaan Bhikkhu dan Bhikkhuni yang harus diketahui adalah menjadi Bhikkhuni itu keputusan besar bagi seorang wanita. Karena ketika dia memutuskan untuk menjadi Bhikkhuni, peraturan sudah ditetapkan bahwa hanya 1 kali dalam seumur hidup. Kalau Bhikkhu masih ada batasan untuk 7 kali (lepas jubah). Kalau Bhikkhuni tidak bisa. Sekali keluar tidak boleh kembali lagi,” kata Piyakanti menerangkan.

Pun, ketika telah memantapkan hati menjadi Bhikkhuni, eksistensinya kerap kali masih diperdebatkan. Keabsahan dirinya sebagai pemuka agama perempuan, tak hanya sekali dua kali dipertanyakan. Piyakanti kemudian menceritakan pengalaman pribadinya ditanya oleh audience tentang eksistensi Bhikkhuni di Indonesia

Ayya, saya mau tanya, emang Bhikkhuni sudah ada?”

Piyakanti pun dengan lugas menjawab, “yang berkata di depan kamu ini sekarang seorang apa? Kok masih ditanya?”

Namun, pertanyaan sejenis, kata Piyakanti, kerap kali dimaksudkan untuk mempertanyakan keabsahan Bhikkhuni sebagai pemuka agama.

“Bhikkhuni sah atau tidak, ada jalur-jalurnya. Coba saja mungkin minta dia punya kartu rohaniawan atau tidak? Yang terdaftar di departemen agama. Apakah itu tidak cukup? Tapi ternyata bagi mereka itu tidak cukup. Harus punya yayasan, harus punya organisasi. Kebanyakan. Saya tidak bisa menuruti begitu banyak hal,” ujarnya bercerita.

Namun, segala jenis badai tersebut nyatanya tak membuat nyalinya ciut. Bagi Piyakanti, tak ada jalan mundur ketika telah memutuskan menjadi Bhikkhuni.

Jumlah Bhikkhuni yang tak sampai 15 orang di Indonesia, menurut Piyakanti, membuatnya selalu meneguhkan hati untuk tetap membawakan ajaran Dhamma.

“Jadi pilihannya hanya maju, bertahan, atasi. Itu saran saya mungkin untuk yang mau menjadi Bhikkhuni harus punya kesiapan,” katanya.

Seperti nama baptisnya, Piyakanti, yang dalam bahasa Pali berarti penyuka kesabaran. Hidup Bhikkhuni Piyakanti barangkali memang sudah didedikasikan untuk mencintai hal-hal yang membuatnya menemui arti namanya.

Kesabarannya tersebut nampaknya mulai berbuah manis. Buah yang juga ikut dirasakan oleh umat Buddhis di sekitarnya. Seperti yang diceritakan oleh Elsa, asisten pribadinya. Elsa mengatakan keberadaan Bhikkhuni di dekatnya mempermudah banyak hal dalam hidupnya terutama berkaitan dengan kebutuhan rohaninya.

“Saya sangat senang dengan keberadaan Bhikkhuni Piyakanti dekat dengan kita, karena sebelumnya kan hampir tidak mungkin jumpa dengan Bhikkhuni, karena Bhikkhuni nya jarang. Dan lokasi mereka tinggal juga sangat jauh. Seingat saya, (yang terdekat) adanya di Maribaya Bandung,” kata Elsa bercerita.

Elsa menyebut semenjak Bhikkhuni Piyakanti mendirikan Cetya, Ia memiliki keleluasaan untuk sekadar berdiskusi terkait permasalahannya sehari-hari dari sudut pandang agama.

“Bhikkhuni Piyakanti selain tinggal di sini, juga mendirikan tempat ibadah, meskipun tidak luas, tapi cukup bagi kami untuk kumpul berdoa bersama, atau sekadar datang dan makan, atau diskusi Dhamma mengenai permasalahan hari hari kami. Karena Bhikkhuninya juga enak dan santai untuk diajak sharing,” kata Elsa.

Pendeta Perempuan Ditolak Berkati Pernikahan

“Saya sudah pernah mengalami saat saya hendak menikahkan sepasang pengantin keluarganya tidak ingin diberkati atau dinikahkan seorang perempuan.”

Ialah Pendeta Minar Ardelina Hutapea, STh. Seorang pendeta perempuan yang bertugas di Gereja HKBP Ressort Onan Runggu Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Ia telah menjalani tugas sebagai pendeta selama 22 tahun sejak ditahbiskan pada tahun 2000 silam.

Ketika ditanya tentang alasannya memilih jalan hidup sebagai pendeta, ia menyebut 2 hal. Yang pertama adalah keinginan ayahnya supaya salah satu dari anaknya menjadi pendeta. Yang kedua adalah pendeta di Gereja tempatnya beribadah berlaku baik dan menginspirasi dirinya.

“Saat itu papa saya ingin salah satu di antara kami (anaknya) kalau boleh menjadi pendeta. Beliau berharap anak laki-laki (yang menjadi pendeta). Tapi semua tidak berminat. Saya mencobanya dan saya lulus.”

“Saya menjadi pendeta juga tidak lepas dari awal simpati saya kepada seorang pendeta tua yang memimpin gereja kami saat ini begitu lembut, ramah dan penuh humor. Rasa simpati itu mengantarkan saya ingin menjadi seperti beliau,” kata Ardelina.

Tak ayal, ketika putrinya akhirnya benar-benar menjadi pendeta, sang ayah berbangga, sekalipun sebenarnya yang diinginkannya adalah anak laki-lakinya yang menjadi pendeta. Namun, ternyata bahagia sang ayah tak disambut meriah oleh sang ibu. Ibunda Ardelina sempat memberikan reaksi cukup keras bahkan ketika anaknya sudah ditahbiskan menjadi pendeta.

“Tetapi mama saya tidak menyukai saya (menjadi) pendeta dengan alasan saya perempuan, nanti bagaimana kalau saya ditempatkan di daerah terpencil, bagaimana kalau saat itu saya sedang hamil. Beliau menentang keras. Bahkan supaya saya mundur, Mama selalu menakuti saya dengan keadaan pelayanan yang mengerikan yang masih banyak guna-guna dan lainnya. Tetapi karena saya lulus akhirnya beliau merelakan dan senantiasa berdoa. Secara jujur memang beliau masih suka mengatakan ‘enggak tukar profesi aja?’” Ujar Ardelina menirukan ucapan Ibunya.

Meski respons dari orang-orang terdekatnya beragam, Ardelina tak merasa hal tersebut merupakan hambatan besar bagi dirinya untuk melakukan tugas pelayanan sebagai pendeta.

Ia justru merasa hambatan terbesarnya adalah pemahaman primordial masyarakat Suku Batak yang menilai bahwa perempuan tidak layak memimpin. Hal itu juga yang membuat Ardelina sempat ditolak memberkati sebuah pernikahan.

“Tidak pantas seorang perempuan memberkati. Karena memang pemahaman Batak, perempuan itu pendamping bukan pemimpin,” tuturnya.

Selain itu, medan pelayanan juga menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi Ardelina. Pasalnya, sebagai seorang pendeta perempuan, ia kerap kali dianggap tak akan sanggup menuju tempat pelayanan khususnya yang berlokasi di pedalaman.

“Banyak yang menolak pendeta perempuan dengan alasan pasti tidak sanggup melewati medan pelayanan. Dikarenakan masih ada medan pelayanan lokasi di atas gunung, harus berlayar dengan perahu. Masih ada lokasi yang terpencil,” kata Ardelina.

Meski demikian, Ardelina merasa cukup diuntungkan karena dalam hierarki umat kristen, pendeta adalah golongan yang dianggap tinggi. Sehingga orang tak mudah menganggapnya remeh hanya karena ia seorang perempuan. Biasanya, kata Ardelina, orang menyangkal pendapatnya karena lebih mempercayai pendeta lain yang secara berbeda secara keilmuan.

“Meremehkan karena kadang lebih percaya dengan sumber yang dia dengar ketimbang dari apa yang saya paparkan. Karena terus terang walaupun sama pendeta tetapi belum tentu ilmunya sama. Ada pendeta yang tidak pernah menjalani perkuliahan seperti yang kami jalani. Tiga bulan belajar sudah menjadi pendeta bahkan ada yang turun temurun,” katanya.

Ia juga menyebut bahwa pada masa dirinya menempuh pendidikan, pendeta perempuan sudah cukup diterima dengan baik. Hanya saja, jemaat terkadang masih menilai bahwa kualitas pendeta perempuan dan laki-laki belum setara.

Padahal, menurut Ardelina, pendeta perempuan sama kuat dengan laki-laki. Hanya saja, terkadang kesempatan yang menghampiri perempuan untuk menjadi pendeta tak seluas yang dimiliki laki-laki.

“Yang perlu disuarakan adalah supaya umat atau jemaat melihat bahwa kami sama kuat dengan pendeta pria dalam segala hal. Kepemimpinan, ilmu dan lainnya kami juga miliki karena memang sudah banyak pendeta perempuan yang sampai jenjang Doktor (S3). Hanya kesempatan yang kami tidak punya, kadang,” katanya.

Ardelina bahkan menyebut bahwa kehadiran pendeta perempuan adalah suatu hal yang spesial, pasalnya, perempuan tak hanya memberi warna baru, tetapi juga dalam situasi tertentu, lebih bisa memahami keadaan.

“Kehadiran perempuan sebagai pendeta dapat memberikan warna yang berbeda karena dia hadir sebagai sosok ibu yang mungkin kadang lebih mengerti keadaan,” pungkasnya.

KUPI dan Misi Amplifikasi Suara Ulama Perempuan

“Berislam itu proses setiap detik sampai kita mati. Harapannya nanti kalau mati, bisa jadi jiwa yang tenang. Dan jiwa yang tenang itu hanya bisa diwujudkan jika kita menjalankan sebaik mungkin tugas sebagai khalifah fil ard, di manapun. Di rumah, maupun di luar rumah,” kata Nur Rofiah dalam sebuah pengajian online yang membahas tema KDRT.

Nur Rofiah adalah seorang dosen pascasarjana institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta. Selain menjadi dosen, Nur Rofiah banyak membuka kelas-kelas online gratis yang bertajuk Ngaji Keadilan Gender Islam, atau biasa disebut Ngaji KGI. Forum tersebut banyak membahas konsep gender dengan perspektif agama Islam.

Bersama sejumlah tokoh perempuan lainnya, ia menggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 silam. Kepada Tirto, Nur Rofiah bercerita bahwa kelahiran KUPI merupakan antitesis dari munculnya gerakan fundamentalisme agama yang mulai masif disuarakan di media sosial.

“Yang paling memicu secara eksternal ya, kan waktu itu gerakan fundamentalisme agama lagi naik. Tafsir agama yang bias gender kan kaya makin menjadi-jadi. Lalu ada fenomena medsos makin booming. Sementara yang di pesantren masih gagap kan. Jadi orang kalau mau googling tentang isu perempuan itu pasti bias, terus juga muncul fenomena hijrah dan lain-lain itu,” kata Nur Rofiah.

Selain itu, kelahiran KUPI juga lekat dengan momentum reuni angkatan sebuah pendidikan non formal bernama Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) yang digagas oleh organisasi Rahima. Dari gagasan reuni tersebut lalu jaringan organisasi lain seperti Alimat dan Fahmina menggagas adanya kongres pertama KUPI yang dilaksanakan pada tahun 2017 silam.

Pemuka Agama Perempuan di Indonesia

Nur Rofiah saat mengajar di kelas. tirto.id/Fatimatuz Zahra

Urgensi Keulamaan Perempuan

Menurut Nur Rofiah, upaya amplifikasi sura ulama perempuan penting sebab perempuan memiliki pengalaman biologis maupun sosial yang berbeda dari laki-laki. Hal tersebut yang membuat kebijakan agama maupun negara tak mempertimbangkan pengalaman perempuan jika hanya dipikirkan dan disuarakan oleh laki-laki

“Misal secara biologis, laki-laki tubuhnya cuma ngeluarin sperma durasinya menit bahkan detik dan itu nikmat dampaknya. Perempuan itu menstruasi mingguan, hamil bulanan, nifas bisa sampai 2 bulan, menyusui 2 tahun. Dan itu disebut Alquran sebagai pengalaman yang sakit atau ada’, burhan atau melelahkan, wahnan ala wahnin yaitu lelah dan sakit berlipat, berturut-turut, berulang-ulang. Berarti bukan sakit kaleng-kaleng."

Laki-laki enggak mengalami maka tidak tahu sakitnya kayak apa. Mungkin lihat tapi kan tidak merasakan. Karena tidak mengalami, kecenderungan besarnya tidak tahu. Karena tidak tahu menganggap enggak ada, enggak dipertimbangkan baik dalam agama, kebijakan negara, kearifan sosial dan lain-lain,” kata Nur Rofiah menjelaskan.

Selain itu, menurut Nur Rofiah, sistem patriarki membuat perempuan rentan mengalami ketidakadilan hanya karena menjadi perempuan misalnya seperti: stigma, marginalisasi, kekerasan, subordinasi.

“Laki-laki enggak punya kerentanan ini. Jadi tidak mempertimbangkan. Karenanya kehadiran ulama perempuan itu adalah untuk memastikan ini. Memberi tahu laki-laki, memberi tahu perempuan yang mengalami tapi tidak peduli. Yang gini-gini harus disuarakan perempuan,” ujarnya.

Nur Rofiah menyebut, dominasi ulama laki-laki yang tidak memiliki pengalaman perempuan tersebut dapat mempengaruhi cara pandang terhadap teks-teks keislaman.

“Misal memahami poligami itu target antara, bukan tujuan final karena di ayat yang sama ada pesan monogami. Tapi karena juru bicara tuhannya laki-laki, yang bagian poligami jauh lebih populer. Alquran itu turun di tengah masyarakat yang menganggap perempuan sebagai benda. Dikubur hidup-hidup waktu lahir, diwariskan. Sementara cita-citanya, perempuan adalah manusia seutuhnya seperti laki-laki. Berakal berhati nurani,” ujar Nur Rofiah.

Namun demikian, misi amplifikasi suara ulama perempuan tersebut bukan tanpa hambatan. Hambatan datang baik dari internal maupun eksternal ulama perempuan.

Dari internal ulama perempuan, Nur Rofiah bercerita bahwa para ulama perempuan yang tergabung dalam KUPI masih merasa inferior dan enggan mengidentifikasi dirinya sebagai ulama perempuan meskipun memiliki kapabilitas yang layak.

“Teman-teman di KUPI malah pada enggak mau disebut ulama perempuan. Ada psikologi yang enggak enak gitu. Karena kita juga dididik bahwa ulama itu laki-laki. Jadi kaya alam bawah sadar kita itu ditampilkan yang disebut ulama itu harus laki-laki terus. Itu mengalami lho. Semuanya tidak mau. Kecuali satu orang, Prof Nina yang dia sudah mengatasi rasa inferiornya. Tapi yang lain pada enggak mau,” kata Nur Rofiah.

Selain itu, secara eksternal Nur Rofiah menyebut bahwa KUPI sebagai sebuah perkumpulan sempat mendapat serangan dan resistensi dari masyarakat. Hal tersebut menurut Nur Rofiah terjadi karena KUPI banyak bersuara terkait isu perempuan yang kerap dianggap sensitif masih ditambah dengan perspektif agama, yang juga lekat dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.

“KUPI-nya ada (serangan). Karena kan isu perempuan itu selalu sensitif apalagi perspektif agama. Menjelaskan pengalaman perempuan aja laki-laki susah paham. Yang kedua perspektif agama yang adil dengan mempertimbangkan itu (pengalaman perempuan), ndak lazim. Nah itu tantangannya,” katanya.

Tak jauh berbeda dengan pengalaman Nur Rofiah, Aktivis dan Tokoh GusDurian yang juga bagian dari KUPI, Alissa Wahid menyebut bahwa kuatnya sistem patriarki masih menjadi tantangan utama dalam misi amplifikasi ulama perempuan tersebut.

Ia bahkan menyebut posisinya sekarang yang banyak berkiprah dalam organisasi keislaman tak lepas dari privilege yang ia dapat sebagai anak dari tokoh ulama sekaligus mantan Presiden RI, Gus Dur.

“Tentu masih besarnya, masih kuatnya sistem yang patriarkal ya. Itu jelas ada dampaknya. Saya merasa salah satu modal terbesar saya itu ya karena saya putrinya Gus Dur sehingga lebih mudah didengar, lebih mudah diterima. Tapi kalau bukan putrinya Gus Dur, barangkali saya juga enggak akan gampang loh untuk didengarkan. Apalagi dalam konteks agama, hal yang sifatnya terkait dengan perspektif agama,” ujar Alissa.

Kuatnya sistem patriarkal tersebut juga tercermin dari bagaimana sebuah teks keagamaan dibawakan dan dijelaskan. Salah satu contohnya adalah ketika kepemimpinan perempuan kerap kali dibenturkan dengan dalil yang menyebut bahwa laki-laki yang seharusnya menjadi pemimpin.

“Saya ingat sekali Kiai Imam Nakhoi dalam sebuah pertemuan menjelaskan bahwa bukan ayatnya tapi tafsir terhadap ayatnya yang kemudian membentuk praktik yang ada, kultur yang berkembang. Misalnya, ayat laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan itu sebenarnya kan ada konteksnya, ada tafsir komprehensifnya tapi yang sering menjebak adalah ayat itu ditambahi dengan (frasa) "oleh karena itu" (dalam) pemaknaannya,” ujar Alissa.

Alissa kemudian menceritakan pengalamannya menguji frasa “oleh karena itu” yang kerap membawa sebuah ayat bernapas sesuai oleh pembawanya.

“Kemarin baru aja di sebuah workshop saya nanya, kalau ada ayat arrijalu qawwamuna alannisa (Qs Annisa Ayat 34 yang artinya: Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan). Saya tanya ke audiens "oleh karena itu..." yang bapak-bapak bilang ‘ya perempuan harus nurut kepada laki-laki’,” kata Alissa bercerita.

Namun ketika pertanyaan yang sama dilemparkan kepada audiens perempuan, Alissa mendapati jawabannya berbeda.

“Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena itu? ‘Laki-laki harus menunjukkan kualitas dirinya sebagai pemimpin,’ jawab perempuan peserta,” ujar Alissa.

Alissa menyebut pemaknaan ayat yang kerap kali tercampur dengan bias gender tersebut saat ini turut menjadi basis perjuangan ulama perempuan melalui KUPI.

“Pemaknaan itu, tafsir itu yang sebetulnya membentuk bagaimana praktik kita. Nah ini yang jadi perjuangan adalah bahwa pada saat kita membangun kultur, menafsirkan sebuah dalil, tafsir itu juga harus disesuaikan dengan hukum-hukum dasar dengan ushul fiqihnya. Enggak dibedakan tuh dia laki-laki atau perempuan, enggak dibedakan dari sukunya apa, pekerjaannya apa, tapi dari ketaqwaan.

Dan juga misalnya konsep kemaslahatan, basisnya perlindungan pada hak-hak dasar manusia. Hifdzul khomsah itu ya. Itu tidak kemudian mendefinisikan laki-laki lebih tinggi atau perempuan lebih tinggi kan tidak. Itu kan pemaknaan yang kita lekatkan,” kata Alissa.

Namun di tengah tantangan tersebut, baik Alissa maupun Nur Rofiah sepakat bahwa di kemudian hari akan lahir lebih banyak ulama perempuan. Terlebih dengan hadirnya KUPI yang tengah menyongsong kongres keduanya pada tahun ini.

Kongres tersebut diharapkan dapat menjangkau dan mengkonsolidasi lebih banyak lagi ulama perempuan dari berbagai kalangan untuk bersama-sama membahas isu-isu krusial serta merumuskan hasil pemikiran para ulama perempuan.

Kongres kedua KUPI rencananya akan digelar pada 23-26 November 2022 mendatang. Beberapa tema yang akan menjadi pokok pembahasan dalam musyawarah keagamaan KUPI antara lain adalah: 1) peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstrimisme; 2) pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; 3) perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; 4) perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; 5) perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.

“Memang kita lagi mendorong itu (lahirnya ulama-ulama perempuan). Kemarin aja kita (merumuskan) ada ulama grassroot yaitu para dai daiyah. Akademisi yaitu dosen peneliti, rektor. Ulama politisi yaitu mereka yang bergerak di advokasi kebijakan. Ada ulama aktivis yang bergerak di LSM. Keragaman itu sudah dipertimbangkan. Tidak hanya pesantren,” pungkas Nur Rofiah.

-----------

Adendum:

Pada artikel ini per Selasa, 11 Oktober 2022 pukul 11.59 WIB, Redaksi memberikan sedikit konteks di bagian mazhab Budha.

Baca juga artikel terkait PEMBERDAYAAN PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Humaniora
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Restu Diantina Putri