Menuju konten utama
Gamer Girl

Love and Deepspace dan Persoalan Ruang Aman Gamer Perempuan

Apakah gamer laki-laki merasa dirugikan dengan kebahagiaan dan keamanan yang dirasakan gamer perempuan saat bermain Love and Deepspace?

Love and Deepspace dan Persoalan Ruang Aman Gamer Perempuan
Header diajeng Gamer Girls. tirto.id/Quita

tirto.id - Love and Deepspace (LADs), dirilis oleh developer asal Cina Papergames pada awal 2024 silam, menjadi salah satu game interaktif yang digemari banyak gamer perempuan.

Game berbasis cerita romantis yang dikenal juga sebagai permainan simulasi kencan ini melibatkan tokoh utama gamer perempuan dan karakter laki-laki fiktif.

Baru-baru ini, LADs merilis fitur period trackeratau pelacak menstruasi.

Dengan mengaktifkan fitur tersebut, gamer akan diingatkan oleh karakter laki-laki di dalam game tentang kapan terakhir kali menstruasi atau hal-hal penting lain yang berkaitan dengan siklus reproduksinya.

Fitur tersebut disindir oleh Tectone, YouTuber dan online streamer.

Dalam unggahan di X pada Februari silam, Tectone menyebut LADs telah dibuat sedemikian rupa untuk memupuk hubungan parasosial—semacam ikatan emosional yang dirasakan oleh gamer dengan tokoh fiktif dalam game.

Pendek kata, Tectone menyindir LADs sebagai game yang membuat perempuan ‘halu’ alias kehilangan pegangan dari kenyataan.

Yang jadi pertanyaan kemudian, salahkah apabila perempuan memiliki ruang ‘pelarian’ yang aman dan menghibur?

Apakah Tectone atau gamer laki-laki lainnya dirugikan dengan kebahagiaan dan keamanan yang dirasakan gamer perempuan saat berinteraksi dengan karakter-karakter fiktif di LADs?

Berpijak dari situ, maka dapat dipahami reaksi yang muncul dari kalangan gamer perempuan ketika Zach Aguilar, pengisi suara dari AS untuk beberapa anime dan video game Jepang, mengumumkan rencananya untuk melakukan streaming LADs.

Tidak sedikit perempuan yang meminta Aguilar membatalkan ide tersebut karena mereka, sebagai pemain LADs, sudah jengah menerima perlakukan misoginis dan perundungan dari gamer laki-laki.

“Tidak, terima kasih. Kamu hanya akan memperburuk situasi karena laki-laki tidak tahu harus bersikap seperti apa jika menyangkut otomegame dan perempuan secara keseluruhan,” pinta salah satu akun.

“Tolong, jangan. Kamu tidak salah, tapi ini tentang laki-laki kekanak-kanakan dan kasar yang telah merusak ruang aman perempuan. Kami sudah diserang dan diejek karena period tracker oleh mereka karena tampaknya perempuan dilarang memiliki apapun (yang menyenangkan)," tambah yang lain.

Ada alasan tertentu mengapa sejumlah gamer girls bersikap defensif dengan upaya gamer boys memasuki arena yang didominasi perempuan.

Upaya untuk mengerdilkan peran dan partisipasi perempuan di dunia gaming sudah terjadi sedari lama lama.

Kejadian satu dekade lalu, melibatkan seorang gamer perempuan asal AS bernama Zoe Quinn, menjadi puncak pertama yang membuat publik tersadar betapa toksiknya industri satu ini.

Persisnya pada 2013, Zoe merilis game interaktif bernama Depression Quest.

Ketika game tersebut muncul di Steam—sebuah digital store untuk game—banyak pengguna yang menganggap Depression Quest tidak pantas berada di platform besar tersebut.

Masalah menjadi semakin pelik ketika mantan pacar Zoe menuding Zoe punya kedekatan intim dengan jurnalis yang membuat ulasan tentang Depression Quest.

Cerita selanjutnya, Zoe harus mengalami doxing, menerima kekerasan daring bahkan ancaman pembunuhan.

Bersamaan dengan itu muncullah GamerGate, sebuah kampanye atau seruan perundungan di ruang digital yang menyasar perempuan di industri gaming.

Kampanye ini, merangkum Britannica, digerakkan oleh gamer laki-laki kulit putih berhaluan politik sayap kanan untuk perempuan-perempuan di industri game, atau lebih tepatnya terhadap kebangkitan perempuan dan feminisme di dunia game.

Dalam kasus Zoe, FBI bahkan turun tangan untuk menyelidiki perundungan dan ancaman yang dialaminya.

Zoe tidak sendiri. Anita Sarkeesian mengalami hal serupa karena pernah mengkritik sebuah game.

"Seksualisasi tubuh perempuan [dalam game] acap kali berperan ganda: sebagai alat permainan seksual dan korban kekerasan laki-laki," tutur Sarkeesian mengkritik game populer Assassin's Creed, dikutip dari NPR pada 2014 silam.

Sarkeesian mendapatkan serangan balik. Ketika tagar GamerGate naik, dia sampai meminta bantuan pihak berwenang karena ketakutan untuk bisa keluar rumahnya dengan aman.

Gamer lain bersaksi bagaimana banyak dari mereka yang memutuskan untuk diam karena takut menjadi target perundungan selanjutnya.

Akhirnya, semakin banyak gamer perempuan yang menyadari bahwa lelucon seksis dan toksik terhadap mereka adalah bentuk dari kerapuhan laki-laki usai perempuan masuk ke dalam ruang yang sedari lama menjadi ikon maskulinitas ini.

Hal tersebut pernah ditekankan oleh Amanda C. Cote dalam buku Gaming Sexism (2020).

"Ketika game mulai memperkenalkan keberagaman, beberapa anggota yang terdiri dari audiens sempit [laki-laki muda] menjadi takut kehilangan posisi privilese [sebagai konsumen utama]. Hasilnya, reaksi keras muncul untuk menjaga dunia gaming tetap kecil dan eksklusif… seksisme dan misogini, sayangnya, adalah mekanisme yang muncul dari upaya tersebut,” papar Cote.

Di Amerika Serikat, upaya menciptakan ruang aman bagi gamer perempuan telah diusahakan sejak tahun 1990-an oleh sejumlah pengembang dan aktivis feminis.

Masih melansir Gaming Sexism, kolaborasi tersebut menghasilkan game yang dianggap lebih dekat dengan pengalaman sehari-hari perempuan.

Namun, usaha tersebut juga bisa disebut salah arah.

Membedakan girl games dengan games itu sendiri bukan tidak mungkin berpotensi melebarkan kesenjangan sekaligus menebalkan maskulinitas yang sudah ada.

Pada tahun 2023, muncul situs bernama Femme Gaming, sebuah organisasi yang mendedikasikan diri untuk menyediakan ruang aman bagi semua lapisan orang yang ingin terjun di dunia game.

"Kami bertujuan menciptakan ruang yang aman bagi semua orang, apa pun gendernya, agar dapat merasa aman, mendapatlan dukungan, dan berdaya dalam menunjukkan bakat mereka di dunia game dan esports,” demikian motto yang diusung Femme Gaming.

Pertanyaannya, apakah organisasi dan kampanye semacam ini cukup ampuh untuk mengusir gamer misoginis yang tidak suka perempuan terjun di dunia gaming?

Protes dan kritik mengenai perlakuan tidak setara dan tidak adil mungkin memang tidak akan memperbaiki ekosistem toksik yang sudah mengakar kuat.

Meski begitu, suara-suara ini bisa jadi langkah awal yang baik untuk mengkampanyekan ruang aman bagi semua orang, di industri mana pun. Setuju?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih