Menuju konten utama

Nasib Female Breadwinners: Beban Ganda dan Diskriminasi

Female breadwinners terus bertambah, namun para perempuan pencari nafkah utama ini masih terus menghadapi beban ganda dan kesenjangan ekonomi. Mengapa?

Nasib Female Breadwinners: Beban Ganda dan Diskriminasi
Aktivis Simpul Pembebasan Perempuan mengikuti aksi Hari Perempuan Internasional 2025 di Dago, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (8/3/2025)\ ANTARA FOTO/Novrian Arbi/rwa.

tirto.id - Di tengah masih kentalnya ideologi gender tradisional di Indonesia, fenomena female breadwinners kini kian mencolok. Realita ini seolah mendobrak tatanan gender normatif dan menuju perempuan berdaya secara finansial. Namun, layaknya tumbuhan yang bersemi di tanah yang kering, sistem sosial dan budaya kita sepertinya belum sepenuhnya siap menopang peran ini secara ideal.

Publikasi teranyar seri "Cerita Data Statistik untuk Indonesia" Maret 2025 dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap satu dari sepuluh pekerja, alias sebanyak 14,37 persen buruh di Indonesia pada 2024 adalah female breadwinners. Istilah itu menggambarkan perempuan yang bekerja dan menerima pendapatan terbesar, menjadi pencari upah utama, atau bahkan menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam rumah tangga.

Karakteristik paling menonjol dari pekerjaan female breadwinners yakni berstatus “berusaha”, utamanya usaha perorangan. Sayang, jenis pekerjaan ini berdampak pada rendahnya perlindungan jaminan kesehatan dan sosial di tempat kerja.

Dalam konteks jaminan kesehatan, menurut BPS, ada sebanyak 73,42 persen female breadwinners yang mengaku belum memiliki jaminan kesehatan itu. Sementara 76,94 persen female breadwinners juga bilang mereka tidak memperoleh jaminan kecelakaan kerja.

Belum lagi para female breadwinners juga menghadapi beban ganda dan kesenjangan ekonomi. Dengan kata lain, mereka tidak hanya bertanggung jawab atas ekonomi keluarga, tetapi juga masih dibebani kerja domestik dan pengasuhan.

ILUSTRASI PEKERJA PEREMPUAN

Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Lalu di dunia kerja, perempuan masih harus menghadapi diskriminasi gender, kesenjangan upah, dan keterbatasan akses terhadap pekerjaan yang stabil dan layak. Melongok data BPS pada Februari 2024 misalnya, diketahui rerata upah selama sebulan buruh/karyawan laki laki lebih tinggi dibanding perempuan. Perempuan hanya bisa mengantongi gaji Rp2,57 juta, sementara laki-laki 28,40 persen lebih tinggi yakni di level Rp3,30 juta.

Ketimpangan ini perlu menjadi sorotan mengingat upah yang setara dalam pekerjaan yang sama adalah hak setiap buruh. Di sisi lain, kesenjangan seperti ini tentu semakin mempersulit para female breadwinners yang menjadi tulang punggung keluarga.

Padahal, pendapatan female breadwinners memegang peran penting dalam ekonomi rumah tangga. Laporan BPS yang sama menunjukkan, sekitar 47,65 persen dari mereka menyumbang 90-100 persen dari total pendapatan keluarga, menjadikan mereka satu-satunya sumber nafkah.

Tantangan female breadwinners ini rupanya tak hanya dijumpai di Indonesia. Kondisi yang mirip-mirip juga ditemui di negara maju. Studi Pew Research Center tahun 2023 di kalangan orang yang sudah menikah di Amerika Serikat (AS) menunjukkan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam membagi waktu dalam rumah tangga.

Menurut riset tersebut, meskipun kontribusi finansial setara dalam rumah tangga, perempuan tetap memikul beban lebih berat dalam hal pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab mengasuh. Sementara laki-laki lebih leluasa menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja dan bersantai.

Di AS, meski laki-laki tetap menjadi pencari nafkah utama dalam mayoritas pernikahan heteroseksual, porsi perempuan yang berpenghasilan sama atau jauh lebih tinggi daripada suami meningkat sekitar tiga kali lipat, dalam 50 tahun terakhir.

Penghasilan perempuan maupun laki-laki hampir sama dalam 29 persen pernikahan di AS pada 2022. Sementara 55 persen pernikahan memiliki suami yang menjadi pencari nafkah utama atau satu-satunya, dan 16 persen memiliki istri pencari nafkah (baik nafkah utama maupun tunggal).

Persentase perkawinan AS di mana istri merupakan pencari nafkah tunggal atau utama tersebut telah merangkak naik, dari 5 persen pada tahun 1972 menjadi 16 persen lima dekade setelahnya.

"Meskipun kontribusi finansial setara dalam rumah tangga, perempuan tetap memikul beban lebih berat dalam hal pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab mengasuh."

Tantangan Bukan Hanya Bersifat Ekonomi

Female breadwinners yang menghadapi tantangan bukan hanya di Indonesia membuktikan permasalahan ini bukan hanya bersifat ekonomi, tetapi struktural. Peneliti Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Dyah Ayu Febrian, mengungkap bagaimana perempuan sering sekali dianggap tidak lebih kompeten daripada laki-laki.

Padahal, menurut Dyah, apabila akses bagi perempuan dalam mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan di sektor digital, ekonomi, maupun perdagangan ditingkatkan dan diperhatikan, maka bisa diprediksi bahwa pendapatan domestik di satu negara akan mengalami kenaikan karena produktivitas yang tinggi.

“Menurut McKinsey dan juga ILO itu sendiri, dan menurutku ini juga harus banyak dipertimbangkan pemerintah terutama melalui pelayanan publik yang aman untuk gender, yang gender perspektifnya diimplementasikan seperti itu,” kata Dyah di ujung telepon, Senin (14/4/2025).

Dengan begitu, perlu adanya restrukturisasi dalam kebijakan, sehingga perempuan punya akses yang setara dalam mencapai pekerjaan yang layak. Sebab, mayoritas female breadwinner yang bekerja di sektor informal bisa dilihat sebagai segregasi pekerjaan perempuan yang terkonsentrasi di sektor-sektor minim proteksi.

“Jadi ini harus adanya pemerintah membuat diversifikasi. Lebih terkonsentrasi kepada perempuan, meningkatkan. Upskilling, reskilling kayak gitu. Disesuaikan dengan sektor-sektor utama untuk menuju Indonesia emas 2045,” ujar Dyah.

PEKERJA KASAR PEREMPUAN

Dua orang perempuan memecah batu untuk dijual sebagai bahan baku bangunan di Desa Surat, Kediri, Jawa Timur, Senin (17/4). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/ama/17

Pendapat senada juga diutarakan Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute, Made Natasya Restu Dewi Pratiwi. Ia mengungkap bahwa semakin kentaranya female breadwinner menunjukkan signifikansi kontribusi ekonomi dan pemberdayaan ekonomi perempuan di Indonesia.

Namun, penting untuk mengidentifikasi lebih dalam terkait data terpilah dari angka tersebut soal partisipasi perempuan di sektor formal maupun informal. Di lain sisi, penting pula untuk melihat tantangan-tantangan yang dihadapi female breadwinners.

“Peningkatan kontribusi ekonomi dari female breadwinners makin mempertegas urgensi diperlukannya kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan female breadwinners. Terdapat beragam tantangan yang menanti female breadwinners apabila kebijakan publik yang memadai tidak segera dirilis pemerintah untuk mendukung hak pekerjaan yang adil dan layak bagi mereka,” kata Natasya saat dihubungi reporter Tirto, Senin (14/4/2025).

Tantangan dimaksud antara lain, akses female breadwinners yang terbatas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak karena standar rekrutmen yang bias gender bahkan seringkali meremehkan kemampuan para perempuan. Kemudian, adanya potensi pelecehan maupun kekerasan seksual yang menghambat female breadwinners untuk memiliki kinerja memadai di tempat kerja. Tantangan terakhir, kurangnya akses pendidikan formal hingga pelatihan vokasional.

“Selain itu, berdasarkan laporan BPS 2024, female breadwinners masih mendapatkan upah kerja yang murah karena mayoritas dari mereka masih bekerja di sektor informal tanpa upah dan proteksi sosial yang memadai. Hal ini menunjukkan gender pay gap yang masih dihadapi perempuan,” katanya.

Perlu Diiringi Kebijakan Responsif Gender

Jika pertumbuhan dengan kontribusi ekonomi female breadwinners tidak diiringi dengan kebijakan publik yang memadai dan mengarusutamakan gender serta kebebasan ekonomi setiap perempuan, bukan tidak mungkin kesempatan female breadwinners untuk mendapatkan peluang yang setara dalam berkarya, mengakses kebutuhan dasar yang berkualitas, dan keluar dari kemiskinan makin sulit mereka dapatkan.

Menurut Natasya, dalam jangka panjang, hal ini juga dapat memengaruhi penurunan kontribusi ekonomi dari female breadwinners yang ikut berimplikasi negatif pada pertumbuhan ekonomi, bahkan memperburuk kondisi kemiskinan ekstrem di Indonesia, yang kerap berwajah perempuan. Natasya menggarisbawahi soal perlunya peningkatan angka female breadwinners di Indonesia diiringi dengan komitmen pemerintah untuk membuat kebijakan publik yang responsif gender dan berbasis data.

“Hal ini sangat esensial untuk mewujudkan ekosistem yang dapat melindungi dan memberdayakan female breadwinners di Indonesia, sehingga mereka akan semakin berdaya dan mendapatkan akses kesempatan yang merata, jaminan akan kebebasan individu dan kebebasan ekonomi, serta mendapatkan haknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan peluang yang setara dalam aktivitas ekonomi,” ujar Natasya.

Aspek pemberdayaan female breadwinners juga tidak bisa dilakukan setengah hati, alias perlu dilakukan menyeluruh, dari mulai aspek sosial, ekonomi, hingga kesehatan, dengan melibatkan peran multi sektor agar solusi yang ditawarkan dapat menyeluruh dan berkelanjutan. Itu lantaran secara sosial, female breadwinners sering menghadapi tantangan untuk mengakses pekerjaan layak secara adil karena norma sosial yang masih bias gender.

Belum lagi karena akses pendidikan terbatas dibandingkan laki-laki ketika dibesarkan di lingkungan yang patriarki. Female breadwinners juga masih sering mengalami beban ganda karena beban kerja domestik yang masih dibebankan secara tidak proporsional pada perempuan.

Jika perempuan bekerja sudah semakin bisa dianggap lumrah di negeri ini, sudah semestinya kerja domestik tidak diyakini sebagai “pekerjaan perempuan” saja. Kehidupan rumah tangga pada akhirnya bukan tentang gender itu sendiri, tapi bagaimana caranya bisa melakukan pembagian secara adil dan meyakini bahwa pekerjaan rumah tangga adalah skill mendasar seseorang.

Pemerintah perlu memastikan adanya peraturan yang menegakkan hukum dengan tegas dan dapat melindungi hak pekerja female breadwinners agar sistem rekrutmen tidak bias dan menutup kesempatan bagi perempuan untuk mandiri secara finansial.

Lebih jauh, Natasya bilang, secara ekonomi dan kesehatan, female breadwinners berhak mendapatkan pendidikan formal maupun pelatihan vokasional, hingga pemberian modal usaha untuk meningkatkan kompetensi mereka yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Hari Perempuan Internasional

Ratusan buruh dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan aktivis perempuan dari berbagai organisasi, LSM, dan komunitas, melakukan aksi damai dalam rangka perayaan Hari Perempuan Internasional di kawasan Monuman Nasional, Jakarta Pusat, Rabu, (8/3). Dalam aksinya mereka menuntut Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi ILO No.183 tentang Perlindungan Maternitas, dan menghapus segala bentuk aturan yang mendiskriminasi kaum perempuan. Tirto.id/Andrey Gromico

“Hal ini penting dilakukan untuk memberdayakan dan meningkatkan partisipasi perempuan, termasuk female breadwinners, secara adil di pasar tenaga kerja dan memberikan mereka otonomi atas kehidupan ekonominya,” ujar Natasya.

Selain itu, perluasan jaminan sosial perlu dilakukan secara komprehensif untuk mengakomodir hak female breadwinners secara layak, seperti dengan pemberian hak cuti sesuai dengan peraturan yang berlaku, penyediaan akses layanan penitipan anak yang terjangkau, penyediaan layanan kesehatan reproduksi, hingga layanan kesehatan mental.

Jadi, ke depannya, Indonesia perlu bersinergi dan berkolaborasi lintas pihak untuk memberikan investasi yang serius dalam menunjang terciptanya pasar kerja terbuka yang inklusif agar female breadwinners memiliki peluang setara untuk berkarya, sejahtera, serta dapat mengakses kebutuhan dasar yang berkualitas, dan tidak terjebak dalam kemiskinan.

Baca juga artikel terkait PEKERJA PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Rina Nurjanah