Menuju konten utama

Jejak Jacinda Ardern dan Burnout pada Pekerja Perempuan

Isu Jacinda Ardern dialami banyak perempuan. Mereka burnout, mundur dari pekerjaan, sebab ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga.

Jejak Jacinda Ardern dan Burnout pada Pekerja Perempuan
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern berbicara selama KTT Satu Planet di New York, Rabu, 26 September 2018. Seth Wenig / AP

tirto.id - “Rasa bersalah.”

Demikian jawaban Jacinda Ardern ketika ditanya apa tantangan terbesar perempuan pekerja zaman sekarang. Saat diwawancarai oleh Forbeskala itu, tahun 2017, Ardern baru saja memulai mandat sebagai Perdana Menteri Selandia Baru.

Politikus dari Partai Buruh itu memaparkan lebih lanjut jawabannya: “Entah perasaan itu dibebankan kepada kita atau kita ciptakan sendiri, selalu ada semacam ekspektasi terus-menerus bahwa kita perlu melakukan lebih banyak dalam setiap elemen atau aspek kehidupan. Menjadi saudari yang lebih baik, anak perempuan lebih baik, pasangan lebih baik, lebih baik dalam pekerjaan, lebih baik dalam pengasuhan—semuanya. Menurut saya, kita memikul ekspektasi dan rasa bersalah terlalu banyak.”

Beberapa tahun silam, saat masih menjadi anggota parlemen, berkali-kali Ardern menegaskan dirinya tidak berminat pada jabatan perdana menteri. Alasannya? “Saya tahu betapa berat mengurus keluarga dengan peran tersebut.”

Meski demikian, Ardern membuktikan bahwa dia mampu menjalankan beragam peran, baik sebagai ibu atau kepala pemerintahan, dengan mengesankan. Feminis, progresif, optimistis, percaya diri, komunikatif, dan berempati adalah sekian banyak predikat yang melekat pada dirinya. Istilah “Jacindamania” muncul.

Ketika mulai menjabat PM, usia Ardern baru 37. Ini membuatnya menjadi pemimpin perempuan termuda di dunia (dua tahun kemudian rekor tersebut digeser oleh PM Finlandia Sanna Marin). Ardern dan beberapa politikus muda yang muncul berbarengan seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan PM Kanada Justin Trudeau dipandang mencerminkan pemimpin generasi baru yang diharapkan bisa menantang tatanan dunia sempit yang digaungkan angkatan lebih tua seperti diwakili presiden baru Amerika Serikat kala itu, Donald Trump.

Pada tahun pertama menjabat, Ardern membentuk koalisi pemerintahan sembari mengandung anak pertama—suatu pengalaman langka di jajaran pemimpin perempuan dunia. Sebelum Ardern, PM Pakistan Benazir Bhutto sudah pernah mengandung dan melahirkan selagi menakhodai pemerintahan.

Setelah mengambil cuti melahirkan selama enam minggu, Ardern bergegas kembali ke kantor. Ketika diundang untuk berpidato dalam Konferensi Perdamaian Nelson Mandela di hadapan Majelis Umum PBB di New York, Ardern membawa serta bayinya yang berusia tiga bulan. Saat itu Ardern didampingi sang partner, Clarke Gayford, yang memutuskan untuk menjadi bapak rumah tangga.

Kala itu Ardern dan Gayford mengaku tidak mempekerjakan pengasuh. “Saya punya privilese, saya sungguh amat beruntung... punya partner yang bisa mendampingi, yang ikut mengambil porsi besar dari tanggung jawab bersama [untuk membesarkan anak] karena dia juga orang tua,” kata Ardern sembari menegaskan tidak banyak perempuan seberuntung dirinya. Ardern juga mensyukuri bantuan dari ibu dan ibu mertua dalam pengasuhan sang cucu.

Rekam Jejak Ardern

Ardern beberapa kali berhadapan dengan awak media laki-laki yang berpandangan seksis dan meremehkan. Ini terjadi bahkan sebelum Ardern dipilih jadi orang nomor satu di Negeri Kiwi, tepatnya saat diangkat sebagai Ketua Partai Buruh sekitar dua bulan sebelum pemilu.

Hanya tujuh jam setelah menjadi ketua partai, presenter TV Mark Richardson bertanya padanya: “Tidak apa-apakah apabila perdana menteri ambil cuti melahirkan selama menjabat?” Menurut Richardson, perusahaan berhak mengetahui apakah calon pekerja perempuan ingin punya anak dan akan cuti melahirkan atau tidak. Richardson lalu mengatakan itu sama seperti warga yang juga berhak mengetahui rencana berkeluarga pada bakal calon pemimpinnya.

Ardern marah. Menurutnya keputusan untuk punya anak atau tidak adalah privasi—bebas mau disampaikan ke publik atau tidak. Keputusan itu tidak boleh dijadikan dasar merekrut atau menolak siapa pun karena diskriminatif.

Cerita menyebalkan lain datang dari presenter TV senior Charles Wooley dari TV Australia. Wawancara tak lama berlangsung setelah Ardern terpilih jadi perdana menteri. Wooley mengaitkan hari perkiraan lahir (HPL) bayi Ardern dengan waktu pembuahannya pada masa kampanye. Wooley sedang mengungkit aktivitas seks seorang pemimpin di tengah kesibukan berkampanye. Sangat mustahil pertanyaan serupa diajukan kepada laki-laki.

Akhir tahun lalu, seorang reporter bertanya pada Ardern dan PM Finlandia Sanna Marin tentang kecocokan mereka karena sama-sama muda dan punya minat pada hal-hal yang sama—pertanyaan yang mustahil ditanyakan kepada pejabat laki-laki.

Segelintir kaum misoginis memang meremehkan Ardern. Tapi dia bisa melewatinya dengan baik, termasuk serangkaian krisis yang muncul.

Ketika teroris supremasi kulit kulit putih menembak mati 51 orang Islam di Masjid Christchurch pada 2019 lalu, Ardern memberikan empati besar kepada keluarga korban. Dia kemudian dielu-elukan sebagai simbol solidaritas korban terorisme. Administrasinya juga dipuji karena langsung memperketat aturan kepemilikan senjata dengan membeli kembali senjata semi-otomatis militer dari publik. Hasilnya, 60 ribuan unit senjata berhasil ditarik dari peredaran.

Kesigapan Ardern juga tercermin ketika dia mengevakuasi warga saat terjadi erupsi gunung berapi Whakaari yang menewaskan 21 orang termasuk turis asing. Demikian pula ketika krisis Covid-19 melanda. Sanjungan kembali bertaburan untuknya yang cepat memutuskan lockdown sehingga korban jiwa pada awal masa pandemi dapat ditekan.

Atas itu semua, tak heran jika Partai Buruh kembali memenangkan pemilu pada 2020 dan Ardern meneruskan periode kedua dengan mantap di negara dengan lima juta populasi jiwa itu.

Ardern juga dikenal sebagai advokat hak-hak minoritas, dari kaum perempuan, LGBTQ, sampai penduduk suku asli. Kabinetnya di periode kedua disebut-sebut paling “beragam” dalam sejarah Selandia Baru: terdiri dari 5 menteri orang Maori, 8 perempuan, dan menteri keuangan sekaligus wakil perdana menteri yang gay.

Salah satu momen yang kembali mengingatkan publik bahwa Ardern juga masih menjalani keseharian sebagai ibu terjadi pada akhir 2021 lalu. Ketika itu dia menyampaikan informasi terkait kebijakan Covid-19 via Facebook Live setelah menidurkan anaknya. Ternyata si balita belum tidur dan berkali-kali memanggil sehingga Ardern pamit lebih cepat. Peristiwa itu mencerminkan tantangan kaum ibu yang selama pandemi bekerja dari rumah sekaligus mengingatkan bahkan perempuan selevel perdana menteri pun tidak terhindar dari dinamika dalam mengimbangi urusan kerja dan pengasuhan anak.

Di luar beragam sanjungan, Ardern juga dihadapkan pada hater. Pembencinya meliputi orang bodoh yang keberatan dengan kewajiban vaksinasi Covid-19 dan pemakai senjata yang menentang kebijakan penarikan senjata sejak aksi terorisme kulit putih di Masjid Christchurch.

Tindakan mereka bahkan kadang kebablasan. Menurut polisi, ancaman yang ditujukan untuk Ardern meningkat nyaris tiga kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Dari 18 ancaman pada 2019, 32 kasus pada 2020, jadi 50 kasus tahun 2021.

Tahun lalu, seorang laki-laki pendukung antivaksin bahkan sempat diadili karena mengancam membunuh Ardern. Dia tiba-tiba hilang dan jadi buron. Laki-laki lain pernah menulis di Reddit hendak membunuh Ardern. Akibatnya dia dijatuhi hukuman pengawasan ketat selama 18 bulan. Ada juga laki-laki yang mengirim email ancaman “memusnahkannya dari bumi”. Dia dijatuhi penjara satu tahun.

Kepemimpinan Ardern mencetak rekor tingkat pengangguran terendah, juga kenaikan upah untuk pekerja, penambahan masa cuti pasca-melahirkan dari 22 minggu menjadi 26 minggu, serta cuti berbayar karena sakit.

Meski begitu, tetap saja pemerintahan Ardern tidaklah sempurna. Situasi ekonomi secara makro tidak kunjung membaik. Tahun lalu, inflasi menembus tujuh persen alias tertinggi dalam tiga dekade—dan sekarang Selandia Baru mulai mengalami resesi.

Janji administrasi Ardern untuk mengatasi krisis perumahan juga gagal terpenuhi. Program bertajuk KiwiBuild senilai Rp19 triliun ditargetkan dapat menyediakan seratus ribu rumah terjangkau selama satu dekade. Realisasinya hanya terwujud 1.365 bangunan rumah selama lima tahun. Seiring itu, harga properti meroket sampai 50 persen selama 2019-2021.

Akhirnya, menurut survei awal tahun ini, tingkat dukungan untuk Partai Buruh jatuh ke titik terendah sejak Ardern berkuasa, tak sampai 32 persen.

Waktunya Berhenti—dan Ardern Tidak Sendiri

Setelah lima tahun menjabat, Ardern akhirnya memutuskan akan mengundurkan diri selambat-lambatnya tanggal 7 Februari nanti. Ardern tidak menampik bahwa sikap dari pihak-pihak yang memusuhinya di lanskap politik, entah oposisi atau para hater, turut memengaruhi keputusan ini. Namun dia mengatakan itu bukan alasan utama.

Menurutnya menjadi seorang pemimpin berarti harus siap memikul tanggung jawab besar dan dia mengaku sudah tidak punya energi lagi untuk itu. “Sesederhana itu,” katanya.

Ardern bisa dibilang merasakan burnout, kondisi stres kronis karena tekanan kerja tinggi.

Tidak mengherankan aktivitas yang ingin Ardern lakukan setelah pensiun terdengar sangat lumrah dan manusiawi: menyambut persiapan anak masuk sekolah tahun ini dan meresmikan hubungan dengan sang partner dalam ikatan pernikahan.

Keputusan untuk mundur karena burnout bukanlah pengalaman unik bagi perempuan, terutama yang berada di level manajemen atas atau yang melibatkan kerja fisik dengan intensitas tinggi.

Mari tengok temuan dari McKinsey & Company and LeanIn.org berjudul Women in the Workplace 2022. Dalam laporan yang melibatkan 810 perusahaan dan 40 ribu responden sepanjang 2015 sampai 2022 itu, mereka mendapati bahwa persentase pemimpin perempuan yang merasakan burnout jauh lebih tinggi daripada laki-laki di posisi pekerjaan sama, yaitu 43 persen versus 31 persen.

Ditemukan pula bahwa pemimpin perempuan yang mengundurkan diri atau pindah perusahaan sejak 2017 persentasenya mencapai 10 persen pada 2021. Pola demikian tidak terlihat pada pemimpin laki-laki. Kesulitan menapaki tangga karier, kerja ekstra tapi cenderung tidak diakui, serta kolega yang meremehkan kualifikasi disinyalir menjadi faktor pendorong perempuan undur diri.

Beban tentu juga datang dari rumah tangga. McKinsey menemukan bahwa perempuan, apa pun level jabatannya, cenderung menanggung segala urusan rumah dan pengasuhan anak lebih banyak dibanding laki-laki. Menariknya, ketimpangan ini semakin melebar ketika menyangkut perempuan pada jabatan atas. Di tingkat pekerja pemula (level-entry), terdapat 30 persen laki-laki yang masih menanggung banyak urusan domestik, sementara pekerja perempuan 58 persen. Sedangkan di level manajer senior, laki-laki yang melakukannya hanya 13 persen, jauh di bawah perempuan yang sampai 52 persen.

Hasil penelitian lain dari Deloitte, berjudul Women @ Work 2022: A Global Outlook, membahas burnout pada pekerja perempuan baik di posisi non-manajerial, manajemen menengah-atas, sampai tingkat eksekutif C-level—terutama selama pandemi Covid-19. Hasilnya kurang lebih sama.

Sebanyak 46 persen responden—5 ribu pekerja di 10 negara—merasakan burnout. Sebanyak 53 persen responden juga mengaku lebih stres dibanding tahun sebelumnya namun hanya 33 persen responden yang sempat meluangkan waktu beristirahat karena burnout.

Burnout menjadi alasan yang paling banyak disebut oleh responden, sebanyak 38 persen, untuk meninggalkan pekerjaannya suatu hari nanti. Di bawahnya, sebanyak 27 persen responden, ingin mengundurkan diri karena gaji tidak cukup tinggi dan 13 persen karena tidak dapat ruang untuk berkembang.

Banyak pekerja meragukan manfaat dari pengaturan jam kerja fleksibel. Sebanyak 90 persen responden sanksi apakah beban kerja akan disesuaikan dengan jam kerja fleksibel atau tidak, sementara 93 persen responden menilai kerja fleksibel berpotensi menghambat kenaikan jabatan.

Infografik Jacinda Ardern PM Selandia Baru

Infografik Jacinda Ardern PM Selandia Baru. tirto.id/Ecun

Tekanan kerja yang berujung pada burnout dan kegalauan mengatasi dinamika dunia kerja vs keluarga tidak hanya dialami oleh pekerja perempuan yang berkecimpung di sektor korporat atau institusi pemerintah.

Beberapa waktu silam, jawara tujuh kali turnamen tenis Wimbledon, Serena Williams, mengumumkan akan mengakhiri karier yang sudah ditekuninya sedari kanak-kanak. Tidak berbeda dari Jacinda Ardern, alasan Williams berkaitan dengan keinginan untuk lebih terlibat dalam tumbuh kembang sang anak.

Williams mendeskripsikan secara rinci betapa perasaan galaunya adalah pengalaman khas dari perempuan. “Percayalah, saya tidak pernah mau memilih antara tenis atau keluarga. Itu tidak adil. Kalau saya laki-laki, saya tidak mungkin menulis artikel ini karena saya bakal bermain tenis di luar sana dan memenangkan turnamen, sementara istri saya melakukan pekerjaan fisik untuk mengembangkan keluarga kami,” demikian tulis Williams di Vogue, Agustus silam.

Atlet berusia 41 tahun ini menjabarkan bahwa keputusan pensiun merupakan “hal terberat yang pernah dibayangkan” dan membuatnya “merasa sangat kesakitan.” Kata Williams, dia “benci harus berada di persimpangan” dan “terkoyak-koyak” karena sebenarnya “tidak ingin mengakhiri karier olahraga namun pada waktu sama merasa siap untuk melangkah pada jenjang lain.”

Di samping ingin dekat dengan anaknya dan membangun keluarga, Williams ternyata sangat bersemangat untuk mencoba petualangan baru sebagai pengusaha investor di firma yang sudah dikembangkannya beberapa waktu silam, Serena Ventures.

Sebagian besar perempuan, bagaimanapun, tetap tidak punya keistimewaan seperti Williams dan Ardern. Stresnya sama, jalan keluarnya tidak.

Baca juga artikel terkait BURNOUT atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino