tirto.id - Saat membaca Lean In: Women, Work, and the Will to Lead pada 2014, Jia (39 tahun) memutuskan mengikuti saran sang penulis, Sheryl Sandberg. Buku laris itu benar-benar menginspirasinya.
“Aku yang baru saja lulus dari sekolah bisnis Ivy League sangat bersemangat dan menyukai gagasan untuk ‘menaklukkan tantangan’,” kata Jia, dikutip dari BBC.
“Belajar untuk mempromosikan diri terasa sangat memberdayakan, dan aku 100 persen siap untuk membuktikan bahwa aku adalah perempuan yang bisa mendapatkan semuanya: jadi perempuan karier yang berdaya tinggi maupun ibu yang hebat.”
Namun, sembilan tahun kemudian, konsultan yang berbasis di Manhattan itu mengubah pandangannya.
Ini terjadi setelah dia merasa diabaikan dalam promosi dan kenaikan gaji di tempat kerja karena jenis kelaminnya, terlebih setelah menjadi ibu tahun 2018. Di rumah, bebannya pun terasa berat karena harus bertanggung jawab mengasuh anak karena sang suami yang seorang bankir kerap bepergian.
Beban itu kian menumpuk saat Covid-19 datang. Tempat penitipan anak yang ditutup sejak Maret 2020 menjadikan Jia pengasuh utama sembari masih berusaha bertahan di tempat kerja.
“Aku kehilangan motivasi karena merasa seperti menghabiskan waktu berjam-jam berusaha untuk tidak terjatuh dari treadmill yang sedang melaju,” kata Jia.
“Tapi pada saat yang sama, aku merasa semakin tidak dipercaya bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Aku bisa merasakan karierku tergelincir dan sama sekali tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengatasinya.”
Kisah Jia mewakili ketidakseimbangan yang sudah mendarah daging dalam masyarakat, yang disoroti sekaligus diperburuk oleh pandemi kala itu.
“Banyak hal yang berkaitan dengan peran tradisional dalam hal pengasuhan dan tanggung jawab terhadap anak-anak di rumah,” kata Dr. Elizabeth Fitelson, direktur program wanita Department of Psychiatry, Columbia University.
Fitelson melanjutkan, “Banyak dari beban ini masih secara tidak proporsional menimpa perempuan, selain harus bekerja dan melakoni banyak peran lainnya.”
“Di dunia profesional, posisi perempuan telah berubah selama 50 tahun terakhir. Perempuan sekarang mencapai semua yang lelaki bisa. Mungkin apa yang belum perempuan kelola dengan baik adalah mengalihkan tanggung jawab untuk beberapa peran perempuan yang lebih tradisional. Sampai sekarang, meskipun mungkin unggul di tempat kerja, perempuan tetap menanggung tekanan di rumah yang akhirnya menyebabkan stres,” ujar Dr. Judith Mohring dari Priory’s Wellbeing Centre di London.
Pada lingkungan pekerja, perempuan juga sering memaksakan diri menahan emosi dengan tetap optimis, tenang, dan berempati, bahkan pada saat emosi mereka mengatakan yang sebaliknya.
Di bidang olahraga, kesenjangan gender yang mengakibatkan stres pada perempuan juga banyak ditemui.
Dr. Darren Britton, dosen psikologi olahraga di Solent University, meyakini bahwa atlet perempuan lebih cenderung mengalami stres saat bertanding terkait dengan seksisme dan isu-isu mengenai citra tubuh, serta faktor lainnya.
“Atlet perempuan juga mengalami penerimaan pendapatan yang lebih sedikit, kurang dalam fasilitas, dan mendapatkan tekanan akan pencapaian yang lebih besar,” ungkap Britton.
Selain faktor sosio-lingkungan, tingkat stres perempuan juga dipengaruhi oleh faktor biologis dan genetik.
Dari sisi biologis, hormon dalam tubuh perempuan dapat sangat berfluktuasi selama tahap pubertas, siklus menstruasi, kehamilan, pasca-melahirkan, dan menopause. Periode kehidupan yang signifikan ini sangat terkait dengan tingkat kecemasan yang lebih tinggi.
Dikutip dari laman UGM, Ketua Program Studi Pendidikan Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa FKKMK UGM, dr. Ronny Tri Wirasto, Sp.KJ., menjelaskan bahwa perempuan sebenarnya lebih mampu mengendalikan stres dibandingkan laki-laki. Hal ini berkat tingginya kadar hormon estrogen dalam tubuh perempuan yang berfungsi memblokir efek negatif stres di otak.
“Harusnya perempuan lebih tahan stres dibanding laki-laki, dibandingkan hormon laki-laki hormon mudah labil sehingga emosinya naik-turun. Namun, menariknya, perempuan yang semestinya stabil secara emosional justru menjadi lebih emosional,” urai psikiater di RSUP Dr. Sardjito itu.
Selain itu, Ronny menambahkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan lebih pemikir dibandingkan laki-laki. Perempuan sering memikirkan sesuatu secara berlebihan yang membuatnya rentan mengalami stres.
Dilansir dari The Telegraph, kadar kortisol—hormon stres yang mirip dengan sistem alarm bawaan tubuh—meningkat pada awal siklus menstruasi. Sementara sistem saraf, yang juga bereaksi saat stres terjadi, memiliki peran penting dalam menghadapi stres yang dialami.
Kortisol adalah hormon steroid yang dialirkan ke dalam darah sebagai respons terhadap rasa stres. Pada saat seseorang stres, tubuh akan memberikan respon dengan mengeluarkan hormon kortisol dan juga berpengaruh pada sistem saraf.
Hormon kortisol tidak akan memberikan pengaruh buruk bila masih dalam batas wajar. Bahkan hormon kortisol juga dapat membantu tubuh bekerja dalam tekanan.
Namun perempuan dan pria memang memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi stres.
Dr. Bernadette Dancy kepada The Telegraph menyampaikan, “Laki-laki mengalami aktivasi yang lebih cepat terhadap sistem saraf simpatik, melepaskan kortisol untuk menghadapi ancaman, dan cepat menonaktifkan stres, yang menunjukkan respons yang sehat terhadap stres.”
“Sistem saraf perempuan di sisi lain, tampaknya memiliki respons yang kurang terhadap stres dan lebih lambat kembali normal bila pemicu stres muncul. Secara teori, respons yang kurang terhadap stres ini akan berguna dengan peran utama perempuan sebagai pelindung dan pengasuh anak.”
Dukungan dari orang yang terpercaya juga sangat penting, termasuk dukungan profesional dari berbagai penyedia kesehatan dan kebugaran, jika stres semakin memuncak. Tahu untuk melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan rumah atau pekerjaan lainnya yang membuat stres juga penting, walau kadang sulit dilakukan.
Fokus pada penyebab stres menjadi faktor penting. Misalnya, bila selama ini stres hanya dikaitkan dengan pekerjaan kantor, mulai cari dengan terperinci faktor di kantor yang mana yang menyebabkan stres, apakah pekerjaan atau lebih ke kolega?
Dengan mengetahui secara detil sumber masalah, perempuan dapat lebih mudah mencari solusi dan terhindar dari stres.
Perempuan juga bisa meminta pasangan memberi waktu untuk mendengarkan bila ada permasalahan yang perlu dibagi. Kemudian, jangan lupa memperlakukan diri sendiri dengan penuh kasih sayang. Ini karena perempuan cenderung lebih kritis terhadap dirinya akibat ketidakmampuan mengendalikan emosi.
Memaafkan diri dan mengakui diri sendiri bukanlah sosok sempurna, adalah langkah tepat.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada tahun 28 September 2022. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.
Penulis: Petty Mahdi
Editor: Lilin Rosa Santi & Yemima Lintang