Menuju konten utama

Ekspektasi Tinggi Membuat Milenial Kerap Dilanda Burnout

Kaum milenial disebut sebagai generasi burnout. Penyebabnya: tertekan dengan ekspektasi orangtua dan bayangan hidup enak serta kaya raya.

Ekspektasi Tinggi Membuat Milenial Kerap Dilanda Burnout
Ilustrasi lelah bekerja. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tahun ini World Health Organisation (WHO) memasukkan burnout sebagai salah satu jenis gangguan mental yang terdaftar dalam International Classification of Diseases.

Menurut WHO, burnout adalah gangguan psikologis yang disebabkan situasi lingkungan kerja yang tidak kondusif sehingga mengakibatkan rasa lelah berkepanjangan, perasaan sinis, pola pikir negatif, serta ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan dengan optimal.

Tim WHO memandang burnout sebagai gangguan yang cukup serius setelah melihat sebagian besar kalangan milenial berusia 22 hingga 38 tahun di berbagai benua besar seperti AS, Eropa, dan Asia kerap mengalami hal tersebut.

Sampai saat ini, sejumlah institusi riset besar seperti Boston Consulting Group atau Pew Research memang belum melansir data soal jumlah pekerja milenial yang mengalami burnout. Akan tetapi, kisah-kisah soal penderitaan individu yang mengalami gangguan tersebut terus tersebar sejak awal 2019.

BBC pernah menampung “curhat” Rhian, pria 28 tahun asal Inggris yang mengaku menganggap pekerjaan adalah segalanya. Baginya, membuka dan membalas email kantor setiap saat atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah hingga larut malam, tak pernah jadi masalah.

“Aku tergolong pegawai kompeten dan kredibel, tapi kehidupan personalku kacau balau. Aku harus membuat catatan tentang hal-hal pribadi atau domestik yang harus kulakukan. Bahkan sampai bikin beberapa catatan untuk melakukan satu hal, seperti membuat makan siang demi menghemat pengeluaran. Hal yang ujung-ujungnya juga tidak sempat aku lakukan,” katanya.

Cerita itu hanya satu contoh dari banyak hal yang kerap kali gagal Ryan lakukan karena memilih untuk melakukan hal penting: bekerja mati-matian. Aktivitas lain yang biasa dikorbankan adalah agenda hangout bersama teman. Impian untuk bisa membagi waktu antara pekerjaan dan waktu santai bersama teman, keluarga, dan pacaran, nyaris mustahil terealisasikan.

Rentetan to do list yang tak terpenuhi itu akhirnya bikin Rhian stress. Ada masa di mana tubuhnya selalu berkeringat dan ia terus-menerus mengkhawatirkan kemampuan diri untuk melakukan urusan personal. Kepenatan dan ketidaknyamanan itu membuat Rhian berkonsultasi ke dokter.

Diagnosanya: Rhian mengalami burnout.

Tekanan Generasi Masa Lalu dan To do List Masa Kini

Januari 2019 lalu, Anne Helen Petersen, jurnalis Buzzfeed, membuat laporan panjang berjudul How Millennials Became The Burnout Generation. Dalam laporan tersebut, Petersen menyimpulkan bahwa salah satu penyebab para milenial merasa harus memiliki karier tertentu, jadi sukses, dan kaya raya--faktor pencetus burnout--adalah adanya tekanan (baik disadari maupun tidak) dari orangtua.

Banyak orang masih berpandangan, milenial bisa memiliki kualitas hidup yang sama seperti ketika orang tua mereka muda dulu. Padahal realitanya, situasi finansial, sosial, dan politik sudah sedemikian berubah sehingga para milenial saat ini sulit memiliki cara hidup yang sama seperti generasi sebelumnya.

“Kita tidak memiliki tabungan sebanyak mereka, lebih tidak stabil, dan punya lebih banyak utang,” kata Petersen. “Sekarang mustahil bila kita cuma punya gelar diploma tapi berharap bisa punya pekerjaan baik dan pensiun di usia 65,” lanjutnya.

Sementara itu, para orangtua dan mereka yang hidup pada generasi sebelumnya berpikir sebaliknya: generasi setelah mereka pasti punya masa depan yang jauh lebih cerah.

Maka yang terjadi adalah para milenial berusaha sangat keras untuk mendapat pekerjaan dalam bidang yang disukai di sebuah perusahaan besar, mendapat gaji yang baik, dan dipandang keren oleh teman-teman. Hal ini sulit dicapai para milenial Inggris, AS, dan Asia akibat kondisi perekonomian pasca-krisis 2008.

Naasnya, kondisi tersebut tidak serta merta berbanding lurus ketika seseorang sudah berkeluarga. Dalam hal ini, perempuan menjadi pihak utama yang dirugikan. Sebabnya, menurut Petersen, perempuan lebih berpotensi mengalami burnout karena harus mengurus pekerjaan di kantor sekaligus urusan domestik--termasuk mengurus anak.

Ia memberi contoh kasus seorang ibu dari dua anak balita yang tak bisa berhenti memikirkan berbagai hal yang masih harus dilakukan--seperti membayar tagihan, membeli tisu toilet, membetulkan benda-benda yang rusak--selagi ia bermain bersama anak.

“Zaman sekarang, menjadi dewasa berarti mampu memenuhi to do list yang tidak ada habisnya,” tulis Petersen. Dan itulah salah satu faktor utama penyebab burnout.

Hobi dan Aplikasi menjadi Solusi

Pekerjaan hanyalah salah satu pemicu burnout. Repotnya lagi, gangguan tersebut tidak bisa diatasi hanya dengan berlibur--seperti yang selama ini diyakini khalayak.

Pada 2018, American Psychological Association melakukan penelitian soal tingkat efektivitas liburan dalam menghilangkan stres. Hasilnya, pekerja justru harus menghadapi pekerjaan lebih banyak yang tak tersentuh saat liburan. Dan hal itu bikin seseorang kembali pada pola kerja semula yang membuat mereka burnout.

“Yang bisa dilakukan adalah mengevaluasi pekerjaan kita setiap hari sembari memperhatikan kondisi kesehatan mental dan fisik kita,” kata David Chang, seorang restaurateur dan bintang serial Ugly Delicious yang pernah mengalami burnout.

Ada pula korban burnout lain yang berusaha mencarikan solusi. Ling dan Emmett Shine membuat aplikasi The Pattern yang bertujuan memberi referensi beberapa aktivitas ‘ringan’ seperti jalan kaki dan memasak yang bisa dilakukan untuk mengurangi burnout.

Shine yakin aktivitas tersebut bisa membantu mengurangi kecemasan. Salah satu alasannya karena telah teruji menangani karyawan perusahaan lain milik Shine--bergerak pada bidang branding consultant--yang sebagian besar sempat dilanda burnout dalam kurun waktu nyaris bersamaan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh penulis The Attention Merchants: The Epic Struggle to Get Inside Our Heads, Tim Wu. Ia percaya, kegiatan bersifat hobi mampu membuat seseorang rileks dan terbebas dari burnout, karena hal itu dilakukan atas dasar suka dan kemauan diri sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.

Infografik Generasi Lelah Bekerja

Infografik Generasi Lelah Bekerja. tirto.id/Sabit

Sebetulnya beberapa aplikasi yang bertujuan untuk menenangkan diri, seperti aplikasi meditasi atau yoga, juga dibuat untuk membantu orang keluar dari berbagai kondisi tertekan. Seiring banyaknya kasus burnout, berbagai aplikasi tersebut menjadi sukses di pasaran hingga memiliki valuasi miliaran dolar dan akan terus berkembang hingga beberapa tahun ke depan.

Terlepas dari aspek negatif yang muncul mengenai burnout, Petersen tetap menilai bahwa kondisi tersebut memang harus dihadapi setiap milenial.

“Kita harus menyadari berbagai peran dalam hidup, bahwa kita ada dalam status quo. Punya banyak hutang, kerja lebih banyak tapi dibayar sedikit, berusaha keras untuk hidup enak seperti orang tua, punya kondisi psikis yang rentan,” katanya.

Di mata Petersen, solusi terbaiknya adalah jujur kepada diri sendiri dan menyadari betul alasan serta keperluan dari setiap tindakan yang ingin dilakukan.

Baca juga artikel terkait MILENIAL atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Eddward S Kennedy