Menuju konten utama

Saat Generasi Muda Lebih Pilih Balas Chat daripada Jawab Telepon

Survei Uswitch mengungkap generasi milenial dan Gen Z lebih memilih membalas chat daripada angkat telepon. Apa alasannya?

Saat Generasi Muda Lebih Pilih Balas Chat daripada Jawab Telepon
Ilustrasi Komunikasi via Chat. foto/istockphoto

tirto.id - Cara berkomunikasi menggunakan telepon nampaknya mulai dianggap kuno atau ketinggalan zaman. Hal ini setidaknya tercermin dari survei yang dilakukan perusahaan asal Inggris, Uswitch, yang mengungkap hampir satu dari empat orang anak muda berusia 18-34 tahun tidak pernah menjawab panggilan telepon yang masuk.

Detailnya, survei menunjukkan 23 persen responden di kelompok usia tersebut menjawab setuju atau sangat setuju ketika ditanya tidak pernah mengangkat panggilan telepon. Angkanya jauh lebih tinggi dibanding jawaban serupa dari kelompok responden 35-44 tahun (9 persen), dan kelompok di atas 55 tahun (8 persen).

Ini menunjukkan kecenderungan kelompok muda mengabaikan panggilan telepon masuk. Mereka lebih memilih membalas melalui pesan teks atau mencari nomor tersebut secara daring jika tidak mengenalinya.

Survei terhadap 2.000 responden pada April 2024, itu juga menunjukkan mereka yang berada di kelompok usia 18-34 tahun, kebanyakan (48 persen) memilih berkomunikasi via pesan teks. Wujud pesan teks sendiri bisa dalam bentuk percakapan via pesan singkat, ataupun unggahan media sosial.

Panggilan telepon secara tiba-tiba dari kerabat atau keluarga, secara umum diasosiasikan oleh mayoritas responden (43 persen), dengan kabar buruk. Secara khusus di kelompok usia 18-34 tahun, asosiasi ini dipilih mayoritas responden (56 persen).

Meski merupakan hasil survei di Inggris, tren anak muda menghindari panggilan telepon nampaknya juga terjadi di belah dunia lain, termasuk Indonesia. Tirto sempat menghimpun beberapa perspektif anak muda di kelompok usia 18-34 di Indonesia pada Kamis (9/1/2025) dan mendapat gambaran serupa.

Zelan (21), mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi juga mengaku lebih nyaman berkomunikasi via pesan singkat. “Kalau ditelepon suka cemas. Karena biasanya kalau orang telepon tuh urusannya pasti penting, jadi ada rasa cemas, takut ada peristiwa buruk” ujarnya menjawab pertanyaan Tirto.

Hal senada diungkapkan Peni (26). Ia juga memilih model komunikasi via teks ketimbang audio atau telepon. Apalagi jika berkomunikasi dengan orang yang dia rasa belum terlalu dekat.

“Aku preferchat dulu sebelum ditelepon. Biar aku siap, sekiranya kalau ditelepon mau ngomong apa,” tambah dia.

Situasi ini juga tergambar dari survei Uswitch. Di kelompok responden 18-34 tersebut, sebanyak 68 persen mengaku lebih memilih diinformasikan terlebih dahulu jika akan ditelepon.

“Takut salah salah ngomong sih, karena kalau berinteraksi lewat call itu berasa lebih intens,” tutur Kevin (30) dari kelompok milenial muda, yang juga mengaku lebih senang berkomunikasi via pesan singkat.

Menurut dia, komunikasi via aplikasi pengiriman pesan teks cenderung lebih aman. “Karena kalau chat bisa dipikir dan dihapus sebelum dikirim kan,” ujarnya.

Dari tiga orang anak muda yang kami ajak bicara itu, juga semua menyebut sempat mendapat telepon yang mengarah ke penipuan. Hal ini membuat mereka semakin ragu untuk mengangkat telepon, apalagi dari nomor yang tidak terdaftar di kontak.

Hal ini juga sejalan dengan survei Uswitch yang menyebut mayoritas responden (63 persen), tanpa memandang umur, menyebut alasan tidak mempedulikan telepon masuk sebab khawatir dengan penipuan ataupun telepon yang bersifat spam.

Terkait Kebiasaan yang Terbentuk Juga Kemungkinan Phone Anxiety

Menanggapi fenomena perpindahan kebiasaan berkomunikasi via telepon ke pesan singkat, Psikolog Klinis, Veronica Adesla, beranggapan, hal ini terkait dengan kebiasaan di generasi muda.

“Generasi ini tumbuh di era komunikasi digital, di mana mengirimkan pesan teks instan merupakan cara yang sehari-hari mereka gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain,” ujarnya ketika dihubungi Tirto, Rabu (8/1/2025).

Dia juga menyebut, komunikasi pesan teks, memberi kendali bagi orang yang berkomunikasi untuk menyusun rangkaian kata yang tepat sebelum menyampaikan kepada orang yang dituju.

“Selain itu mengirimkan pesan teks juga bersifat fleksibel waktu, dalam arti orang yang dituju dapat membaca pesan tersebut sesuai dengan ketersediaan waktu dan preferensi waktunya,” ujar perempuan yang juga Co-founder of Ohana Space ini.

Dia juga menyebut sejumlah kebiasaan berkomunikasi via pesan singkat ini sebagai karakteristik Gen Z dan Milenial yang yang menghabiskan masa kecil/remajanya berkomunikasi tidak langsung via chat.

“Sementara itu survei Robert Walters (lembaga rekrutmen global di Amerika Serikat), pada 2024, juga menyebutkan bahwa 59 persen Gen Z dan Milenial lebih nyaman berkomunikasi via email/chat. Disebut juga 84 persen menganggap telpon itu kurang efektif waktu,” kata Veronica.

Veronica menambahkan, “Perbedaan era di generasi ini tentu membentuk perbedaan preferensi kenyamanan dan kebiasaan dalam berkomunikasi.”

Lebih lanjut, dia juga menerangkan adanya fenomena phone anxiety, yakni kondisi kecemasan berlebihan terhadap komunikasi lewat telepon. Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Face for Business pada 2019, menyebut 76 persen Milenial merasakan kecemasan saat mendengar bunyi telepon di tempat kerja. Nilainya hampir dua kali lipat dibanding generasi Baby Boomers (40 persen).

Menurut Veronica, terdapat beberapa hal yang dapat berkontribusi menimbulkan kecemasan saat mendengar dering telepon. Pertama terkait dengan rasa tidak nyaman, harus berkomunikasi secara langsung dan spontan.

“Sehingga merasa canggung, tidak percaya diri, tidak berani, takut salah bicara, ataupun cemas tidak yakin harus berbicara apa ataupun merespons bagaimana,” terangnya.

Kemudian asosiasi telepon dengan datangnya kabar buruk juga bisa menjadi penyebab kecemasan. Dewasa ini, telepon dari orang yang dikenal memang lebih umum terkait dengan hal yang darurat atau mendesak. Dalam beberapa kasus hal ini juga memicu rasa cemas karena mengantisipasi hal buruk yang akan didengar.

Berbicara via telepon juga bisa memberi tekanan yang kadang berujung kesulitan berpikir dan kesulitan menolak. “Termasuk menghadapi penilaian orang tersebut, isi percakapan orang tersebut, gaya bicara orang tersebut, tuntutan orang tersebut,” tambah dia lagi.

Terakhir, terkait dengan pengalaman buruk, seperti pernah menjadi korban penipuan atau pemerasan juga menjadi salah satu sebab kuatnya.

Baca juga artikel terkait CHAT atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Abdul Aziz