Menuju konten utama

Mengenal Micro-retirement, Tren Jeda Karier di Usia Produktif

Micro-retirement sedang banyak dilakukan oleh pekerja di seluruh dunia. Apa saja risiko yang harus dipahami sebelum ikut tren ini?

Mengenal Micro-retirement, Tren Jeda Karier di Usia Produktif
Ilustrasi Anak muda bekerja di kantor modern. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Menurut gue, kita masih di umur-umur yang tanggung, nggak muda, nggak tua, jadi sayang saja kalau umur dihabiskan untuk kerja kantoran yang memakan banyak waktu,” cerita Jasmine. Perempuan 30 tahun ini menghabiskan sekitar satu tahun terakhir untuk mengambil gap year.

Adult gap year atau yang belakangan populer dengan sebutan “micro-retirement” atau "mini-retirement", merujuk ke fenomena kelompok karyawan muda mengambil jeda dari karier mereka selama beberapa bulan. Bahkan, dapat mengambil jeda selama beberapa tahun untuk mengatasi burnout atau kejenuhan kerja di lingkungan korporat.

“Pengalaman di kerjaan kemarin memang lumayan overwhelm ya, karena walaupun sebenarnya (jam kerjanya) eight to five, tapi culture-nya itu kebanyakan, setelah jam lima juga masih menyelesaikan pekerjaan yang belum tuntas. Kemudian masih ada arrange meeting, jadi panitia event kantor, segala macam,” tambah Jasmine. Semua kesibukannya di kantor tersebut membuatnya kesulitan mengalokasikan waktu untuk olahraga, sesuatu yang menjadi prioritas dalam hidupnya.

“Gue benar-benar merasa hidup itu rumah-kantor, rumah-kantor saja,” tutur Jasmine lagi. Kondisi tersebut membuatnya merasa tidak bisa mengembangkan diri dan merasa tersangkut dengan pekerjaan yang sekarang.

Akhirnya setelah melakukan perhitungan dan menimbang segala risiko, Jasmine memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan mengambil micro-retirement. “Gue butuh waktu untuk diri sendiri, untuk memikirkan sebenarnya gue mau apa. Karena gue yakin dan sadar, perjalanan karier di company yang kemarin itu, gue nggak mau stuck di situ,” tambah dia lagi.

Meski mungkin belum lazim di Indonesia, fenomena micro-retirement menjadi kata-kata populer baru di dunia kerja internasional. Hal ini mencerminkan metode lainnya yang viral lewat media sosial, terkait keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance) di kalangan anak muda.

Sebelumnya tren seperti “great resignation,” “quiet quitting,” dan, “coffee badging” sempat menjadi terma baru terkait dunia kerja.

Salah seorang pendiri Konsultan Sumber Daya Manusia The Rise Journey, Jes Osrow, mengatakan bahwa micro-retirement adalah, "konsep fleksibel yang bervariasi tergantung pada siapa yang Anda tanyai," sebutnya kepada Business Insider.

Bagi sebagian orang, menurut dia, ini adalah kesempatan untuk melawan kejenuhan dan mengejar "hasrat pribadi" di luar kantor. Sementara bagi orang lainnya, ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk memulai pekerjaan sampingan baru.

Berbagai tren dan upaya mencapai work-life balance, seperti micro-retirement yang populer belakangan ini adalah dampak dari burnout, masalah kelelahan bekerja yang sempat naik daun saat pandemi COVID-19.

Survei yang terangkum dalam SHRM’s Employee Mental Health 2024, menyebut 44 persen responden mengaku merasakan burnout di pekerjaannya. Survei terhadap 1.405 orang pekerja di Amerika Serikat juga menyebut 45 persen juga mengaku merasa terkuras secara emosional oleh pekerjaan mereka.

Sementara di dalam negeri, survei dari Lembaga Penelitian Kesehatan Mental menunjukkan sekitar 60 persen pekerja mengalami burnout. Hal ini ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan kinerja.

Tren Micro-retirement di Indonesia

Namun di Indonesia, tren ini diperkirakan tidak akan meledak. Founder and Managing Director PT Headhunter Indonesia, Haryo U Suryosumarto, mengatakan rasanya tidak akan banyak anak muda yang berani mengambil langkah seperti itu di kondisi saat ini.

“Saya mengamatinya micro-retirement ini tidak akan semasif quiet quitting beberapa tahun yang lalu. Karena saat ini kan kecenderungannya Millennial dan Gen Z menyadari kalau kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian, PHK di mana-mana, dan relatif sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat mereka mungkin belum berani melakukan micro-retirement,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (8/1/2025).

Dia mengatakan perlu persiapan dan pertimbangan yang matang untuk berani mengambil micro-retirement. Langkah untuk kembali dunia kerjanya akan semakin sulit. “Kekhawatirannya adalah kembali ke dunia kerja akan menjadi jauh lebih menantang,” terangnya.

“Sebab ada (rekruter) yang menyikapinya sebagai hal yang biasa saja dan wajar dilakukan, tapi ada juga rekruter yang overthinking, lalu menyimpulkan kalau orang ini mentalnya kurang tangguh,” terangnya.

Celakanya, persepsi rekruter tersebut di luar kendali, sehingga terlepas selogis apa pun menjelaskan alasan dan manfaat micro-retirement, bisa saja masih mendapat anggapan miring.

Jasmine, sebagai pelaku micro-retirement juga menyetujui hal ini. Menurut dia lingkungan di masyarakat sekitar saat ini masih menaruh stempel buruk terhadap mereka yang mengambil gap-year.

“Menurut gue, lingkungan kita terlalu menaruh pemikiran negatif terhadap (orang yang) menganggur. Lingkungan kita itu terlalu hustling culture, sehingga kalau tau ada orang yang pengangguran, nggak ngapa-ngapain langsung mendapat prasangka buruk,” tuturnya.

Menurut Jasmine selama masa micro-retirement-nya ada hal positif yang dia dapat. Dia yang selama ini cenderung bingung dengan arah hidupnya, jadi bisa mencoba banyak hal. “Gue jadi tahu apa yang benar-benar inginkan dalam hidup. Gue jadi menemukan apa yang gue suka,” ceritanya.

Jasmine bercerita satu waktu sempat mengambil sertifikasi untuk menjadi pelatih bersepeda, dan di kesempatan lain dia sempat mencoba belajar data analytics. Hal-hal tersebut tidak terbayang akan dia dapatkan jika masih bekerja kantoran. Dia mengaku jadi punya banyak skill baru. Selain itu dia juga mengaku jadi punya lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama keluarga.

“Negatifnya paling, ya gue nggak punya income aja sih jadinya. Setiap hari menggali tabungan dan menjadi khawatir dengan keuangan,” ujarnya.

Jasmine sendiri bukannya tanpa perhitungan. Sebelum yakin mengambil gap year, dia telah mengalokasikan dana cukup besar dan menabung di beberapa tempat untuk menjamin hidupnya. Kini, setelah mulai merasa menemukan jati dirinya, Jasmine berencana kembali mencari pekerjaan.

“(Tapi) kayaknya sudah nggak mungkin ke kerjaan korporat sih. Gue bakal fokus cari kerjaan yang remote yang bisa punya waktu cukup untuk mengembangkan diri di banyak sisi,” ujarnya.

Sementara itu, Haryo dari Headhunter Indonesia mengatakan, yang berbahaya dari tren macam ini adalah orang-orang yang mengambil keputusan untuk sekadar ikut-ikutan tren.

“Mengetahui tren terbaru yang muncul di kalangan pekerja melalui medsos menurut saya bukan hal yang salah, tapi sekedar menirunya tanpa sadar apa alasannya, kenapa dilakukan, dan apa konsekuensinya, justru akan merugikan diri kita sendiri,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PEKERJA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang