tirto.id - Penggunaan artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan semikin meningkat dalam berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali dalam penyelenggaraan pemilu. Penggunaan AI secara berlebihan dalam Pileg dan Pilpres 2024 bahkan sempat dipersoalkan dan digugat oleh Gugum Ridho Putra. Gugatan Gugum itu dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam amar Putusan MK Nomor 166/PUU-XXI/2023, MK menyebutkan bahwa rekayasa atau manipulasi berlebihan sepanjang berkaitan dengan foto/gambar peserta pemilu yang dipoles dan dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi AI menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan asas pemilu bebas, jujur, dan adil.
Pasalnya, informasi yang tidak benar dapat merusak loyalitas pemilih terhadap kandidat. Selain itu, hal demikian dapat merusak kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan secara berkualitas sehingga berdampak pada kerugian bagi pemilih secara individual dan merusak kualitas demokrasi.
Jika demikian, bagaimana mestinya AI dimanfaatkan dalam proses pemilu di Tanah Air?
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan bahwa peran AI sebenarnya bisa sangat strategis dalam pemilu di masa mendatang.AI punya kekuatan dalam mengolah data secara cepat, mengidentifikasi pola, serta meningkatkan efisiensi.
Semua potensi AI itu dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki berbagai aspek dalam proses pemilu, mulai dari pemantauan suara hingga memperkuat partisipasi masyarakat.
“AI [memang] semestinya digunakan secara optimal dalam penyelenggaraan pemilu, baik dari sisi penyelenggara maupun dari sisi peserta pemilu. AI bisa digunakan untuk deteksi disinformasi ataupun penyampaian informasi pemilu,” ujar Nailul kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Menurut Nailul, AI nantinya juga bisa untuk mendeteksi keaslian foto dan informasi pada formulir dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga kecamatan. Peserta pemilu pun bisamenggunakan AI sebagai penasihat kampanye ataupun marketing kampanye melalui chatbot dan sebagainya.
“Bagi pemilih pun, bantuan AI bisa lebih memperdalam informasi yang diterima. Jadi, yang dilakukan memang bisa untuk citra diri, tapi juga untuk memperluas informasi dan mempermudah akses informasi turun ke masyarakat yang lebih luas,” jelas Nailul.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty, mengamini bahwa pemanfaatan AI bisa berdampak positif bagi pemilu. Ke depan, AI dapat digunakan untuk memperkuat kerja pengawasan, baik dalam konteks pencegahan maupun penindakan.
Misalnya, AI yang mampu menganalisis data secara cepat bisa dimanfaatkan utk melakukan identifikasi kerawanan dalam pemilu.
“Contoh lain, misalnya, gambaran tentang partisipasi pemilih dapat dipetakan dengan lebih cepat, sehingga berbagai upaya edukasi yang dilakukan dapat lebih tepat sasaran,” jelas Lolly kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Meningkatkan Efisiensi dan Akurasi
Dalam hal pemanfaatan AI, Indonesia sebenarnya bisa belajar banyak dari negara-negara lain. Beberapa negara Afrika sudah menggunakan AI dalam pemilunya, misalnya di Afrika Selatan, Eswatini, Madagaskar, dan Nigeria.
Survei Yiaga Africa baru-baru ini terhadap komisi pemilihan umum di 22 negara Afrika mengungkapkan bahwa AI digunakan untuk manajemen daftar pemilih, chatbot otomatis untuk keterlibatan pemilih, autentikasi pemilih, dan deteksi ancaman siber.
AI dapat mengatasi tantangan campur tangan manusia dan inefisiensi dalam pemilu dengan memfasilitasi pengawasan dan mempercepat pengambilan keputusan. Analisis tingkat lanjut dan model pembelajaran mesin dapat pula mendeteksi anomali dan ketidakakuratan dalam data pemilu. Itu semua berguna untuk mencegah manipulasi pemilu.
Sementara itu, Elections in Digital Times: A Guide for Electoral Practitioners (2022, PDF) yang diterbitkan UNESCO menyebutkan bahwa AI juga berpotensi meningkatkan efisiensi dan akurasi pemilu. AI dalam hal ini dapat menjangkau pemilih dan melibatkan mereka secara lebih langsung melalui komunikasi yang dipersonalisasi dan disesuaikan dengan preferensi serta perilaku individu.
Chatbot bertenaga AI setidaknya dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi secara real time tentang lokasi pemungutan suara, data tentang kandidat, dan prosedur pemungutan suara. Dengan demikian, proses pemilu menjadi lebih mudah diakses dan transparan.
“AI memang dapat dimanfaatkan secara positif untuk edukasi pemilih. Perkembangan chatbot berbasis AI dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan masyarakat pemilih soal proses pemilu, lokasi tempat pemungutan suara, visi-misi kandidat sehingga ini lebih otomatis dan juga efisien,” ujar Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, kepada Tirto, Senin (1/6/2025).
Daniel Innerarity dalam Artificial Intelligence and Democracy(2024, PDF) menjelaskan bahwa AI dapat melibatkan pemilih secara individual dalam proses pemilihan melalui chatbot dan forum diskusi media sosial.
AI, menurutnya, dapat pula digunakan untuk mengumpulkan wawasan berharga dari komentar pengguna. Wawasan itu merupakan modal penting bagi para ahli strategi kampanye untuk menyesuaikan pendekatannyake publik.
“Dari sisi positif, kita melihat bahwa AI akan membantu partai politik atau para kandidat kepala daerah memahami apa yang menjadi preferensi kebutuhan pemilih. Sehingga, dengan analisis tersebut bisa menghasilkan strategi kampanye yang efektif dan juga relevan,” jelas Heru.
Menggunakan E-voting
Lebih lanjut, Heru menuturkan bahwa banyak negara sudah menggunakan teknologie-votingbertenaga AI. Penggunaan e-voting setidaknya dapat membantu mempercepat proses perhitungan suara dan meminimalisasi kesalahan yang diakibatkan oleh manusia.
“Kalau di Indonesia, sistem kan masih manual berjenjang. Tapi, paling tidak AI juga dapat digunakan untuk analisis data-data yang masuk, apakah terjadi penggelembungan suara atau tidak atau proses perhitungan suara secara lebih cepat,” jelas dia.
Seturut pemberitaan News24.com, beberapa negara anggota BRICS punya riwayat panjang melakukan pemilu dengan teknologi e-voting.Brasil dan India, misalnya, telah menggunakan e-voting selama hampir dua dekade.
Para ahli juga berpendapat bahwa e-voting dapat memperkuat kredibilitas pemilu dengan mengurangi risiko pemungutan suara ganda dan surat suara rusak. Kendati demikian, ada juga risiko peretasan yang dapat memengaruhi perhitungan perolehan suara.
Estonia, misalnya, menerapkan pemungutan suara melalui internet sejak 2005. Namun, pada 2007,ia mengalami serangan siber. Meski begitu, Estonia tidak mundur dan masih menggunakan pemungutan suara melalui internet.
Pada 2014, Namibia menjadi negara Afrika pertama yang menggunakan mesin pemungutan suara dalam pemilu. Lalu, negara tetangga Indonesia, Filipina, telah menggunakan mesin pemungutan suara sejak 2010.
Pada 2019, Brasil mulai menguji coba pemungutan suara melalui layar sentuh. Sementara itu, Amerika Serikat malah sudah menggunakan pemungutan suara elektronik sejak 1960-an. Saat ini, 90 persen pemungutan suara di Negara Adidaya dihitung secara elektronik dan hanya beberapa daerah yang masih menggunakan perhitungan manual.
Terlepas dari ragam cara pemanfaatan AI dalam pemilu tersebut, perlu diingat bahwa teknologi ini masih punya beberapa celah. Di antaranya ada risiko disinformasi dan ancaman keamanan siber. Pekerjaan rumah ini jelas harus dikelola dengan seksama untuk memaksimalkan potensi AI dalam pemilu.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa penggunaan AI berfungsi untuk memperkuat demokrasi, bukan merusaknya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi