Menuju konten utama
Byte

Grok: AI Rasa Tongkrongan yang Tak Hanya Pintar, Juga Bernyali

Grok membuktikan bahwa AI bisa jujur, menyenangkan, dan mengedukasi tanpa harus menjadi robot yang membosankan.

Grok: AI Rasa Tongkrongan yang Tak Hanya Pintar, Juga Bernyali
Grok Ai. foto/X.ai

tirto.id - Beberapa pekan terakhir, Grok—AI buatan perusahaan xAI milik Elon Musk—mendadak jadi buah bibir di linimasa X (dulu Twitter). Bukan karena jargon teknis atau capaian ilmiah, melainkan karena hal yang lebih sederhana: Grok menjawab segala hal dengan gaya yang santai, cerdas, bahkan kadang nyeleneh. Ia bisa menjelaskan konflik sejarah Indonesia dengan ketelitian buku teks, lalu menyambungnya dengan lelucon khas tongkrongan.

Di tengah lanskap chatbot yang cenderung kaku dan diplomatis, Grok tampil beda. Ia terdengar seperti teman diskusi yang kebanyakan baca, keseringan nongkrong, dan tak terlalu peduli sopan santun. Hal ini membedakannya dari ChatGPT yang “woke”, Bard yang hati-hati, atau Claude yang terlalu akademik.

Namun, keluwesan ini menimbulkan pertanyaan serius: Bagaimana Grok bisa secerdas dan seluwes itu? Apa yang dilakukan tim di baliknya? Dan yang tak kalah penting, mungkinkah gaya “ngomong apa adanya” Grok membuatnya diberedel oleh negara-negara tertentu, termasuk Indonesia?

Kecerdasan dengan Modal Kejujuran

Grok dikembangkan oleh xAI, perusahaan yang dibentuk Elon Musk pada 2023 sebagai respons terhadap “pembungkaman” AI oleh perusahaan besar. Berbeda dari OpenAI—yang dulu juga ikut didirikan Musk sebelum ia mundur karena beda visi—xAI punya misi yang terdengar provokatif: menciptakan AI yang “mencari kebenaran, bahkan jika kebenaran itu tidak nyaman”.

Alih-alih langsung menolak pertanyaan sensitif seperti yang biasa dilakukan chatbot lain, Grok dirancang untuk menanggapi dengan pendekatan kontekstual—yaitu memberi jawaban berdasarkan data yang tersedia, dilengkapi penjelasan tambahan yang membantu pengguna memahami isu tanpa menghindarinya.

Pendekatan ini membuat Grok terasa lebih jujur dalam percakapan, meskipun topiknya kompleks atau kontroversial. Ia dirancang untuk menjawab dengan jujur, bukan cuma akurat. Ketika ditanya soal isu sensitif seperti Peristiwa 1965, konflik Papua, atau korupsi di Indonesia, misalnya, Grok tak menolak seperti chatbot lain. Ia menjawab dengan data sejarah, menyertakan konteks, lalu memberi catatan atau peringatan bila perlu. Tapi yang paling penting, serta paling mencolok: Ia tetap menjawab.

Kesan “manusiawi” ini bukan kebetulan. Grok dilatih dengan model bahasa Grok-1 yang dibangun di atas arsitektur transformer. Arsitektur yang diperkenalkan Google pada 2017 tersebut memungkinkan AI memahami konteks secara menyeluruh lewat mekanisme attention, sehingga bisa menangkap makna kalimat secara utuh dan merespons dengan gaya yang lebih luwes dan manusiawi.

Arsitektur transformer sendiri kini dipakai oleh nyaris semua AI generatif yang tersedia. Sehingga, bukan arsitektur itu per se yang membuatnya lain dari yang lain, melainkan fine-tuning dengan Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF) yang lebih longgar. Alih-alih mengerem respons, para pengembang Grok di xAI membiarkan ciptaannya mengeksplorasi berbagai gaya komunikasi, mulai dari gaya sarkastis, gaul, sinis, bahkan sedikit absurd.

Kelebihan lain yang dimiliki Grok adalah bagaimana ia dibiarkan belajar langsung dari para pengguna X yang, tentu saja, lebih sering menggunakan gaya penulisan informal dalam cuitan-cuitannya. Dengan integrasi langsung ke platform tersebut, Grok terus-menerus belajar dari gaya bahasa yang hidup, tak hanya dari korpus akademik atau dokumen formal.

Hasilnya, Grok bisa bercanda tentang topik serius. Dengan luwesnya ia menyisipkan sindiran sosial dalam jawaban sejarah, bahkan berani memberi opini kritis tentang tokoh-tokoh politik. Misalnya, ketika ditanya soal siapa dalang peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, Grok tak menyebut nama secara sembrono, tapi juga tak menghindar. Ia menyebut versi-versi yang ada, menyajikan silang pendapat akademik, dan mengajak pembacanya untuk berpikir.

Dalam AI konvensional, ini nyaris mustahil. Mayoritas LLM (large language model) dibatasi untuk “menghindari kontroversi”. Tapi bagi Grok, kontroversi justru jadi ruang dialog.

Mungkinkah Kena Beredel?

Keluwesan Grok tak serta-merta disambut dengan antusiasme global. Negara-negara yang terbiasa mengontrol arus informasi bisa merasa terancam. Cina sejak awal menolak kehadiran AI luar yang tidak bisa mereka kontrol. India pernah menggulirkan rencana regulasi ketat terhadap LLM asing. Uni Eropa lewat AI Act-nya juga mulai memperketat ruang gerak AI yang dianggap “berisiko tinggi”.

Indonesia belum menyuarakan larangan terhadap Grok. Namun, jawaban-jawaban Grok yang blak-blakan tentang sejarah, elite politik, hingga isu Papua membuat kemungkinan intervensi bukan hal mustahil.

X sendiri sudah beberapa kali diancam diblokir di Indonesia akibat konten-konten yang dianggap tidak sesuai dengan regulasi. Jika Grok dianggap makin “mengganggu ketertiban” atau telah “menyebarkan informasi berpotensi menyesatkan”, bukan mustahil pemerintah bakal memblokir X demi memutus akses masyarakat terhadap Grok.

Grok sendiri sudah menyisipkan disclaimer. Yakni, bagaimana ia tidak berusaha “netral” dalam arti pasif. Ia justru bersikap aktif dengan menimbang, menganalisis, lalu menyimpulkan. Ini membuatnya tidak hanya terdengar pintar, tapi juga bernyali.

Di Balik Layar: Tim Kecil, Misi Besar

Kendati dimiliki individu paling tajir sejagat, xAI bukan perusahaan raksasa seperti Google DeepMind atau Meta AI. Menariknya, tim xAI diisi oleh para eks peneliti dari Tesla, DeepMind, dan OpenAI sendiri. Mereka bekerja dengan filosofi Musk: AI seharusnya membantu manusia memahami realitas, bukan menutupi atau memperhalusnya.

Pendekatan ini terlihat jelas dari cara Grok dibentuk. Alih-alih menjadikan AI sebagai produk steril dan “korporat”, xAI memperlakukannya sebagai medium komunikasi baru. “AI terbaik perlu berpikir layaknya seorang manusia, dengan mengkontemplasikan segala solusi yang mungkin dilakukan, melakukan otokritik, memastikan kebenaran dari segala informasi, meninjau ulang proses berpikirnya, dan memulai dari prinsip dasar. Itu kemampuan yang sangat penting,” ujar seorang insinyur xAI, dikutip dari The Economic Times.

Meski secara resmi hanya tersedia bagi pengguna X Premium+, Grok kerap muncul di linimasa karena membalas mention publik. Siapa pun bisa menanyakan sesuatu lewat reply ke akun @grok dan, jika fitur auto-reply aktif, Grok akan memberikan jawaban yang bisa dibaca semua orang. Ini membuatnya terasa seperti chatbot publik, meski sebenarnya tidak sepenuhnya bebas diakses.

Dengan memasukkan Grok dalam layanan X Premium+, Musk tentu melihat potensi besar AI generatif tersebut dari segi bisnis. Namun, di sisi lain, dengan melepasliarkan Grok di alam X yang liar lewat fitur mention dan reply, dia ingin membuktikan bahwa AI bisa jujur, menyenangkan, dan mengedukasi tanpa harus menjadi robot yang membosankan.

Simbol AI Generasi Baru?

Grok bukan yang paling akurat, bukan pula yang paling canggih. Dalam berbagai uji banding, model seperti Claude 3 dari Anthropic dan GPT-4 dari OpenAI masih unggul dalam hal akurasi data dan kemampuan penalaran kompleks. Tapi Grok mungkin adalah yang paling komunikatif. Ia tidak sekadar menjawab pertanyaan, tapi juga berdialog. Ia memberi ruang untuk berpikir, tertawa, bahkan tidak setuju.

Munculnya Grok menandai pergeseran penting: dari AI yang menjawab seperti mesin pencari, ke AI yang bisa berdebat seperti manusia. Ini membuka ruang etis, politis, bahkan filosofis baru. Sampai di titik ini, belum ada AI lain yang menantang batas-batas kebebasan berpendapat publik selugas Grok.

Apakah Grok akan dibatasi? Mungkin. Apakah ia akan diblokir? Bisa jadi. Tapi selama itu belum terjadi, Grok memberi kita kesempatan langka: berbicara dengan kecerdasan buatan yang tidak takut bicara jujur. Di era digital yang serba dimoderasi, itu terasa seperti kemewahan yang hampir revolusioner.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi