Menuju konten utama

Plus Minus e-Voting untuk Pilkada Indonesia

Di negara-negara maju, e-voting menuai beragam hasil. Ada yang sukses, ada yang kapok seperti Belanda dan Jerman.  Indonesia sendiri baru tahap rencana untuk menerapkan e-voting secara nasional. Pelaksanaannya menunggu kesiapan finalisasi e-KTP.

Plus Minus e-Voting untuk Pilkada Indonesia
Sejumlah orang mengikuti acara Sosialisasi Pilkada DKI Jakarta di kawasan Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

tirto.id - Hingar bingar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah dimulai, meski pelaksanaannya secara serentak baru dilakukan pada 2017. Untuk proses pemilihannya, KPU sejauh ini belum memutuskan apakah Pilkada secara serempak akan menerapkan e-voting atau tidak.

Namun, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta Sumarno mengatakan Jakarta memungkinkan untuk melakukan pemungutan suara dalam jaringan atau "e-voting" untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

"Jakarta sangat dimungkinkan untuk melakukan itu tapi ini kalau ada political will dari pemerintah dan juga dari KPU pusat," kata Sumarno.

Namun, Sumarno menuturkan pelaksanaan e-voting juga perlu ketetapan dari KPU Pusat.

"Kalau misalnya KPU Pusat sudah membolehkan melakukan e-voting, Jakarta saya kira sebagai pilot project (proyek percontohan) sangat memungkinkan untuk itu. Infrastruktur kita memadai, SDM (sumber daya manusia) kita memadai, dari kemampuan dana juga ada, pemerintah juga bisa menyediakan itu, secara geografis juga mudah itu, paling kita yang agak susah kan di Kepulauan Seribu itu," katanya.

E-voting memang tak hanya bicara teknologi canggih, efisiensi biaya, efektivitas demi sebuah status demokrasi digital, tapi lebih jauh dari itu soal kepercayaan publik. Sistem yang mengandalkan pendataan, pengambilan, dan penghitungan suara dengan cara elektronik ini memang masih meninggalkan jejak kelemahan, selain beberapa dampak positif.

Tantangan ini juga dialami Filipina yang belum lama ini menggelar Pilpres dengan sistem elektronik. Filipina perlahan tapi pasti mengikuti jejak India dan Brazil yang lebih dulu menggunakan e-voting. Bagaimana kans penerapannya di Indonesia?

Belajar dari Filipina

Filipina merupakan negara ASEAN yang sudah menerapkan e-voting secara nasional sejak Pemilu enam tahun silam. E-voting diberlakukan karena Filipina punya sejarah kelam dalam kecurangan Pemilu. Pada Pemilu 1986 penguasa diktator Ferdinand Marcos terbukti melakukan kecurangan, yang berhasil dibongkar oleh lembaga pemantau Pemilu yang disegani, National Citizen Movement for Free Election (Namfrel).

Mulai 2010, Filipina menggunakan sebuah alat bernama Automated Election System (AES). Negara kepulauan ini sudah memakai alat e-counting untuk tiga Pemilu dari 2010, 2013, dan 2016. Alat AES memungkinkan negara dengan populasi 98 juta jiwa ini melakukan perhitungan suara lebih cepat daripada cara manual. Langkah ini penting karena Filipina terdiri dari 7.107 pulau.

Mesin ini juga sering disebut sebagai Scan Paper Ballots atau nama populernya Electronic Counting Machine (ECM). Alat ini berfungsi memindai secara elektronik kertas suara yang sudah ditandai dengan alat tulis layaknya lembaran ujian. Sistem ini disebut semi e-voting, yaitu menggabungkan antara proses manual pemberian suara yang dikombinasikan dengan sistem otomatis penghitungan suara pemilih. Cara ini memang tak memberikan kecepatan waktu seperti alat electronic voting machine (EVM) sebagai alat e-voting murni berbasis online.

Sistem Pemilu dengan elektronik berdampak positif bagi Filipina. Partisipasi pemilih meningkat sehingga makin memperkuat legitimasi. Pada 2010 partisipasi suara mencapai 74,99 persen, lalu naik jadi 77,57 persen pada 2013.

Ketua KPU Filipina, atau Commission on Election (Comelec), Juan Andres Bautista pada hari pemilihan 9 Mei mengumumkan kabar gembira, 81,62 persen dari 54,4 juta daftar pemilih menggunakan hak suaranya. Pemilu 2016 Filipina jadi rekor sejarah dalam hal partisipasi publik. Prestasi ini jauh lebih baik dari Pilpres Indonesia di 2014 yang hanya menorehkan angka 70 persen.

Partisipasi pemilih Filipina dalam Pemilu naik berkat e-voting. Namun, capaian paling gemilang dari demokrasi digital Filipina soal kecepatan penghitungan suara. Di 2010, hasil tidak resmi Pilpres dapat diketahui hanya 2 jam setelah TPS ditutup. Tahun ini, masyarakat Filipina sudah dapat mengetahui Rodrigo Duterte sebagai pemenang Pemilu kurang dari 2 jam. Saat masih pakai cara manual, hasil Pilpres 2004 baru diketahui setelah 40 hari.

Kecepatan penghitungan suara mampu meredam ketegangan di masyarakat. Pasca Pemilu 2010, Philippine National Police (PNP) mencatat insiden terkait Pemilu turun hingga 50 persen dibandingkan Pemilu 2004 dan turun 65 persen dibandingkan Pemilu 2007. Pada Pemilu 2010 memang masih ada 391 insiden, lalu turun hanya 196 insiden pada 2013.

Filipina menuai banyak kesuksesan dengan e-voting. Namun, itu tidak berarti pelaksanaannya berjalan mulus. “Negeri Lumbung Padi” ini juga menuai kritikan terutama soal keamanan sistem. Filipina memang baru sebatas sistem semi e-voting yang relatif “lebih aman” dari sistem e-voting murni dengan menggunakan EVM. Tapi tetap saja Comelec sempat dibuat khawatir karena 2 bulan menjelang Pemilu, situs KPU Filipina ini sempat dibajak sampai dua kali.

Selain keamanan, persoalan transparansi juga masih jadi isu besar di Filipina. Muncul desakan agar ada upaya verifikasi data suara. Akhirnya, jalan tengah diambil. Comelec memberikan ruang keterbukaan untuk verifikasi data suara pemilih dengan membuka 30 persen rekapitulasi pengambilan suara di TPS ke publik.

Di Indonesia, pola semacam ini sudah ada, yaitu adanya proses scan formulir C1 saat Pemilu 2014 lalu. Pemilu Filipina juga tak terbebas dari kendala teknis, laporan beberapa kasus alat e-counting yang tak berfungsi.

E-Voting Indonesia

Bagaimana e-voting di Indonesia? Yang pasti, Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk e-voting. Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 5 merupakan landasan hukum e-voting. Sayangnya, dalam UU ini tak dibahas khusus soal skema sebuah sistem Pemilu e-voting.

Selain itu ada juga pasal 85 Perppu No 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Tersurat jelas dalam Perppu, bahwa suara bisa melalui peralatan suara secara elektronik, selain dengan memberi tanda. Juga ada putusan MK No 147/PUU-VII/2009 yang membahas soal e-voting dalam Pilkada. E-voting boleh dipakai asalkan tetap mengacu pada azas LUBER dan JURDIL dan harus ada kesiapan dari penyelenggara Pemilu di daerah.

Untuk urusan demokrasi digital, Indonesia tidak nol-nol amat. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah memperkenalkan sistem tersebut. Sistem e-voting BPPT ini bahkan sudah diuji coba dalam skala lebih kecil yaitu pemilihan kepala desa (Pilkades) di beberapa kabupaten di Indonesia sejak 2010.

Pada Pemilu 2004, KPU juga sudah mencoba sistem yang diberi nama real count atau e-counting sebagai mekanisme hitungan elektronik rekapitulasi suara yang menjadi pembanding atau opini kedua dari hitungan manual yang jadi sumber resmi KPU.

Langkah BPPT mendapat dukungan pemerintah baru. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo termasuk yang bersemangat mendorong e-voting di Indonesia. Tjahjo bahkan sesumbar, sistem ini akan diterapkan dalam Pemilu kepala daerah jilid II pada 2017 nanti.

“Saya ingin mulai tahun 2017 Pilkada serentak tahap dua, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019 sudah menggunakan e-voting,” kata Tjahjo dikutip dari Antara.

Untuk memuluskan pelaksanaan e-voting ini, pemerintah bergegas menuntaskan KTP elektronik atau e-KTP.

Penerapan e-voting di Indonesia pertama kali berlangsung saat Pilkades di Jembrana, Bali pada 2010. Pada 2013, BPPT melakukan uji coba dengan verifikasi pemilih menggunakan e-KTP di Desa Mendoyo Dangin Tukad, Jembrana. Masyarakat cukup membawa E-KTP sebagai alat verifikasi pemilih lalu mendapatkan kartu token. Kartu token untuk mengaktifkan “kertas suara” di bilik suara. Pemilih cukup menggunakan jari pada layar sentuh, tanpa perlu mencari paku untuk mencoblos.

Alat yang dikembangkan BPPT ini bisa disebut masih semi e-voting, karena alat tak terkoneksi dengan internet saat pengambilan suara. Proses koneksi dengan internet baru akan terjadi ketika akan mengirim data ke pusat data KPU, dengan modem dari lokasi TPS. Sistem e-voting buatan BPPT ini memangkas perhitungan suara berjenjang yang berlaku selama ini. Rencananya, form C1 juga tetap ada, scan form C1 akan dikirim ke KPU dan Bawaslu sebagai sebuah keterbukaan untuk proses verifikasi hasil rekapitulasi.

Tantangan

BPPT rupanya melangkah lebih jauh. Selain uji coba, mereka juga melakukan survei. Istilahnya, semacam tes pasar kepada para pemilih. Hasilnya cukup menarik, dari responden yang mereka wawancarai, 99 persen mengaku masih buta dengan e-voting. Namun, yang lebih menarik lagi, 99 persen dari mereka juga setuju dengan sistem Pemilu dengan e-voting.

Namun, hasil dari BPPT ini bukan berarti e-voting bisa langsung diterapkan di Indonesia. Untuk menggelar Pemilu era digital, Indonesia harus punya bank data kependudukan yang mumpuni. Sampai saat ini program KTP elektronik atau E-KTP belum tuntas 100 persen.

Kendala lainnya adalah soal kemampuan Indonesia untuk dapat mendistribusikan perangkat-perangkat untuk mekanisme e-voting serentak. Selain itu, alat e-voting butuh dukungan infrastruktur dasar seperti listrik dan jaringan internet. Persoalan besar ketika alat ini dibawa ke wilayah-wilayah terpencil. Meskipun persoalan semacam ini sudah bisa diatasi di India, Negeri Hindustan itu menggunakan alat yang sudah menggunakan baterai.

Pemilu digital tak melulu dikenang buruk. Swiss dan Estonia jadi contoh negara yang sukses menyelenggarakan Pemilu e-voting. Kedua negara sempat dihadapkan dengan persoalan rendahnya partisipasi pemilih. Sistem Pemilu e-voting jadi jawabannya. Estonia dengan 1,32 juta jiwa berhasil menggelar Pemilu secara online untuk Pemilu pemimpin kota pada 2005. Berselang dua tahun, negara ini sukses menggelar Pemilu parlemen secara online, tercatat sebagai yang pertama di dunia.

Kunci sukses mereka karena sudah punya modal jangkauan internet yang luas, sistem administrasi Pemilu yang modern termasuk data identitas penduduk skala nasional yang sudah mapan, melibatkan para ahli, dan konsensus politik yang kuat.

Estonia dan Swiss setidaknya menjawab keraguan publik soal keamanan Pemilu digital. Perusahaan perangkat keamanan digital McAfee, pernah melakukan studi yang mengungkapkan bahwa Pemilu secara online memang tak populer karena persoalan kepercayaan yang rendah dari publik. Namun, dengan perkembangan teknologi canggih transaksi keuangan secara online saat ini, masalah keamanan penerapan Pemilu online bisa diatasi.

Di atas kertas maupun pengalaman nyata, sistem Pemilu dengan e-voting membuahkan efisiensi waktu yang lebih cepat dalam proses pengambilan suara, penghitungan, hingga tahap pengumuman. Sistem e-voting bisa diterapkan di Indonesia. Desain besarnya sudah ada, 2010 dipakai Pilkades, 2017 Pilkada, dan 2019 Pilpres.

Uji coba e-voting Pilkades 2010-2014 jadi sebuah miniatur untuk tangga Pilkada. Bila e-voting sukses di Pilkada, maka tak mustahil pada 2019, bakal ada presiden pertama dalam sejarah yang terpilih lewat pemilihan dari tombol atau layar sentuh saja.

Pengalaman Filipina bisa diambil hikmahnya. Mereka memang masih berbenah untuk sebuah sistem Pemilu baru. Benang merahnya, Indonesia dan Filipina sejajar untuk urusan teknologi informasi, tapi Filipina berani mengambil langkah besar dengan demokrasi digital ala mereka.

Indonesia hanya perlu membenahi persoalan infrastruktur dasar khususnya jaringan internet yang belum merata. Indonesia punya bekal pengalaman e-voting Pilkades, teknologi dari BPPT, payung hukum yang sudah ada, kemauan politik sang penguasa, dan masyarakat yang akrab dengan teknologi. Jalan e-voting hanya tinggal menunggu pengesahan dari KPU.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Politik
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti